Dalam wacana pembangunan transportasi publik, wilayah yang selalu dinarasikan membutuhkannya hanya perkotaan. Kita sangat jarang membahas pembangunan transportasi publik berkelanjutan di wilayah bukan perkotaan, seperti kabupaten-kabupaten yang jauh dari pusat pemerintahan provinsi. Memang jumlah penduduk di perkotaan sangat besar dan mobilitasnya juga lebih banyak dibandingkan daerah nonperkotaan. Namun, kita juga mesti sadar bahwa daerah nonperkotaan besar juga memiliki kebutuhan terkait transportasi publik.
Daerah Madiun Raya, khususnya wilayah Ponorogo, menurut saya adalah salah satu daerah yang perlu pembangunan transportasi publik. Seperti yang kita ketahui, Ponorogo merupakan Kabupaten yang berada di utara Madiun. Waktu tempuh Madiun-Ponorogo paling cepat 45 menit. Jika dari Yogyakarta memerlukan waktu sekitar empat jam. Waktu ini adalah estimasi jika mengendarai kendaraan roda dua.
Daerah Ponorogo ini memiliki berbagai wisata alam misal Telaga Ngebel dan wisata religi seperti Masjid Tegalsari. Wilayah ini juga dikenal dengan daerah yang kental dengan budaya lokalnya. Selain itu, juga memiliki banyak pondok pesantren yang santrinya datang dari berbagai penjuru Indonesia. Ditambah lagi kabupaten ini juga memiliki beberapa universitas seperti Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Universitas Merdeka Ponorogo, Poltekkes Malang Kampus Ponorogo, hingga IAIN yang kabarnya statusnya akan naik menjadi UIN.
Tentunya faktor-faktor di atas akan sangat mendukung perkembangan wilayah ini. Namun, saya sangat menyayangkan akses ke Kabupaten Ponorogo yang masih terbatas. Saat ini, satu-satunya transportasi publik yang dapat diandalkan untuk berkunjung ke Ponorogo hanya bus. Otomatis hanya moda transportasi publik inilah yang menjadi andalan utama ke wilayah Kota Reog ini.
Jika Anda ingin naik kereta, Anda bisa turun Stasiun Madiun lalu naik bus. Sebetulnya ada trayek Damri dari Stasiun Madiun ke Ponorogo, tetapi sangat terbatas. Saya pun tidak belum pernah naik Damri meskipun hampir setiap bulan balik Ponorogo. Alternatif lainnya adalah naik ojek (opang ataupun jekon) dari stasiun ke terminal.
Daftar Isi
Perkara kendaraan pribadi, warga Ponorogo juaranya
Di dalam kabupaten ini, transportasi yang paling diandalkan adalah transportasi pribadi. Memang warga Ponorogo adalah juaranya soal kendaraan pribadi. Banyak masyarakat yang memiliki lebih dari satu motor dalam rumah. Tak heran jika Anda bepergian ke Ponorogo pasti akan menemukan setidaknya satu motor baru yang platnya belum terpasang.
Terdapat bus ataupun angkot/angkodes yang catnya berwarna kuning untuk transportasi publik di Ponorogo. Meskipun demikian, kondisinya bisa dibilang kurang nyaman. Angkot sendiri jumlahnya juga tidak banyak. Hal ini mungkin disebabkan suburnya jumlah kendaraan pribadi warga Ponorogo. Saya menduga karena pertimbangan ketepatan waktu dan kenyamanan sehingga transportasi publik di Ponorogo kurang mendapatkan antusias warganya.
Meski masih terkategorikan aman dari kemacetan, saya mulai waswas dengan perkembangan lalu lintas Ponorogo ke depannya. Beberapa waktu ini saya merasakan jalanan Ponorogo di jam-jam tertentu mulai padat. Tak jarang saya mendapatkan dua kali lampu merah. Salah satu hal yang selama dua puluh empat tahun hampir tidak pernah saya rasakan di Kota Reog. Selain itu, ancaman pemanasan global akibat tingginya penggunaan transportasi pribadi juga tidak boleh dilupakan.
Oleh karena faktor-faktor di atas, saya merasa sudah saatnya peningkatan transportasi publik di Ponorogo. Saya yakin peningkatan ini akan berdampak setidaknya pada tiga hal, meskipun tidak secara langsung. Pertama, peningkatan kualitas maupun kuantitas transportasi publik di Ponorogo akan meningkatkan kunjungan pelancong ke Ponorogo. Kedua, peningkatan ini akan mengurangi ancaman kemacetan dan mengurangi polusi udara. Ketiga, dan yang utama, memudahkan mobilitas masyarakat.
Wisata akan makin ramai
Dampak pertama tentunya akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perputaran uang di Ponorogo. Dengan berbagai kekayaan budaya, tradisi, dan objek wisata alam, maupun sejarah, Ponorogo memiliki peluang untuk menjadi destinasi alternatif di Jawa Timur. Sebagai gambaran saja, pada tahun baru 2023 pengunjung Telaga Ngebel mencapai 9475 dalam sehari.
Salah satu harapan saya dan banyak masyarakat Ponorogo umumnya, meskipun sulit terlaksana dalam waktu dekat, adalah reaktivasi kereta api Madiun-Ponorogo-Slahung. Soal reaktivasi ini sebenarnya merupakan isu sensitif utamanya bagi yang tinggal di sekitar lokasi rel. Pemangku kebijakan perlu melakukan pendekatan yang humanis agar ditemukan win-win solution.
Kereta api tersebut memiliki sejarah panjang. Pada awalnya jalur kereta api ini bukan saja bertujuan menghubungkan kedua kota melainkan juga direncanakan menghubungkan Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri. Tahu jalur kereta Batara Kresna yang menghubungkan Surakarta dan Wonogiri? Rencananya pada masa lalu jalur kereta ini akan terhubung hingga Ponorogo via Baturetno-Badegan sehingga membentuk jalur kereta api Yogyakarta–Wonogiri–Ponorogo–Trenggalek–Tulungagung. Sayang memang rencana ini belum terwujud hingga sekarang.
Jika alternatif reaktivasi kereta api memerlukan waktu yang tidak sebentar, alternatif lainnya adalah mengoptimalkan mode transportasi publik berbasis jalan raya. Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan Damri sebagai salah satu transportasi publik. Memperbanyak jadwal Damri dan peremajaan agar lebih menarik perlu dilakukan.
Memperbanyak jadwal Damri
Dengan memperbanyak jadwal Damri dari Madiun, peluang untuk membangun kesinambungan transportasi Madiun-Ponorogo-Pacitan akan terbuka. Dengan masifnya jalur dan promosi akan memudahkan mobilitas masyarakat di ketiga daerah. Apalagi warga Madiun dan Ponorogo yang ingin bepergian melancong ke Pacitan yang kaya akan wisata alam.
Selain Damri, saya juga berharap Bus Trans Jatim membuka trayek yang menghubungkan Madiun Raya. Memang bus ini baru diresmikan setahun yang lalu, tetapi antusiasnya di Surabaya Raya cukup baik. Akan lebih baik jika bus ini juga dibangun dan melayani transportasi di wilayah-wilayah eks karesidenan di Jatim. Lagipula bus ini bernama Trans Jatim, bukan? Pastinya akan melayani trayek lebih luas di Jatim nantinya.
Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada penyedia transportasi publik dari pihak swasta di wilayah lokal. Meskipun terkadang jadwal ngaret mereka tetap beroperasi. Beberapa penyedia ini dapat dikatakan hidup segan mati tak sudi. Saya pribadi tetap mendoakan mereka bisa bertahan dan melakukan perawatan sehingga mampu bertahan jikalau transportasi publik lainnya benar-benar terbangun dan terkoneksi.
Memang membangun transportasi publik memrlukan biaya mahal, tetapi dampaknya juga besar jika mampu dikelola dengan efektif. Mau banyak maupun sedikit penumpang, transportasi publik wajib ada karena transportasi publik adalah hak setiap orang.
Penulis: Arif Fadil
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ponorogo, Kota dengan Sejuta Julukan