Pertengkaran Keluarga Kadang Justru karena Satu sama Lain Punya Persamaan 

sudah bersih-bersih tapi orang tua tetap mengomel pertengkaran keluarga anak kecil marah mojok.co

pertengkaran keluarga anak kecil marah mojok.co

Setiap keluarga pasti memiliki masalahnya masing-masing, berikut penyebabnya. Penyebab permasalahan keluarga juga sangat beragam, berbeda antara keluarga satu dengan keluarga yang lain.

Keluarga adalah orang dan lingkungan terdekat, wajar jika apa saja dapat menjadi alasan pertengkaran. Menurut pengalaman pribadi, jangankan persoalan seputar perbedaan, persamaan-persamaan pun acap kali memicu pertengkaran dalam keluarga.

Saya merenung sesaat usai terjadi pertengkaran hebat di rumah. Lalu menyimpulkan bahwa terkadang, justru persamaan-persamaan yang menjadi pengantar menuju jurang perbedaan. Puncaknya, tinggal dirayakan dengan bertengkar.

Sama-sama salah paham

Alasan ini klasik. Tapi mau bagaimana lagi, jika sudah saling salah paham semuanya menjadi runyam. Orang-orang seperti sulit untuk menahan diri karena amarah sudah lama menumpuk-numpuk dan siap dilepaslandaskan.

Dalam keluarga, amarah itu adalah bom waktu kejengkelan yang tinggal menunggu kapan meledak. Karena setiap hari berinteraksi, potensi terjadi hal-hal yang menjengkelkan di antara anggota keluarga itu besar. Kejengkelan-kejengkelan yang ditahan, pada akhirnya akan keluar jika dipantik kasus lain yang meskipun tidak berhubungan sama sekali.

Suatu kali kakak saya mendapat kabar bahwa adik saya diduga bolos sekolah ramai-ramai bersama teman-temannya. Kakak saya mengetahuinya dari tetangga. Telanjur marah, kakak saya langsung melabrak adik saya tanpa bertanya dan konfirmasi sebelumnya.

Adik saya mengelak. Dia menjelaskan bahwa dia tidak terlibat bolos, meskipun sebelumnya di lain waktu pernah ikut. Kakak saya tidak menerima penjelasan itu, vonis telah dijatuhkan. Ia mengomel panjang sekali ditambah membahas kesalahan-kesalahan lain sehingga adik saya perlu sekali dua kali membantah.

Puluhan menit saling balas argumen, hingga tak sadar semua perdebatan sudah keluar dari topik awal. Akhirnya mereka jadi sama-sama salah paham. Kakak mengira adiknya kurang ajar, adiknya mengira kakaknya keterlaluan marah-marah tak jelas. Keduanya larut dalam kesalahpahaman tanpa mau meluruskan persoalan, bahkan setelah semuanya telah lama berlalu.

Sama-sama keras kepala

Kami sekeluarga semuanya keras kepala. Entah sifat ini turunan atau sudah suratan, saya juga tidak paham. Yang jelas, sejak kecil anak-anak ibu dan bapak saya sudah kelihatan tinggi ego. Orangnya nekat semua. Misalnya sudah dilarang main, tetap saja main. Dilarang tidur malam di musala, tetap nyolong kesempatan untuk keluar lewat pintu belakang.

Dalam istilah psikologi, keras kepala diartikan sebagai sikap kuat seseorang yang menolak untuk mengubah pendiriannya. Persis seperti yang pernah saya alami dalam keluarga, beberapa kali mendengar perkataan “sak karepku” (terserah saya) dan tak acuh ketika diberi nasihat.

Sifat keras kepala ini sebenarnya sangat berbahaya. Sudah dipastikan jika terjadi perdebatan, prosesnya akan selalu sengit. Jika ada pihak bernada tinggi, dibalas pula nada tinggi. Jika ada yang mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu, yang sana juga melakukannya. Satu sama lain saling mencari celah kesalahan dan kukuh menganggap diri benar.

Bisa dibayangkan, keras kepala bertemu keras kepala, jika saling hantam pasti runyam. Masalah sepele bisa menjadi bertele-tele. Masalah kecil sedikit, di hadapan sang keras kepala, mudah sekali membukit.

Sampai akhirnya masalah selesai dan lewat, keras kepala masih juga terlihat, yaitu saling keras kepala untuk tidak meminta maaf.

Sama-sama tidak peduli

Lama-lama berdebat juga melelahkan. Sekadar menegur, jika salah satu ada yang bersikap tidak tepat, rasanya pun enggan. Pada titik ini, saya pernah mengalaminya. Sudah memiliki persoalan sendiri, ditambah melihat masalah dalam keluarga, jadi jenuh sekali. Akhirnya diam menjadi pilihan.

Pernah berhari-hari saya dengan adik saya saling diam. Kalimat yang bisa menggambarkannya adalah “Hidupku terserah aku, hidupmu bukan urusanku”. Diam yang berlarut-larut ini pun ternyata bukan solusi sebenarnya. Akan ada masalah baru datang dan akan semakin hebat cekcoknya.

Kami saling mendiamkan dan tidak peduli apa yang masing-masing kami kerjakan. Suasana menjadi hampa, dingin, sekaligus menyesakkan dada. Menjadi tidak peduli ternyata tidak mudah. Alih-alih menghindari pertengkaran, tapi malah justru ketidakpedulian itu sendiri menjadi beban.

Setelah bisa tidak peduli, ketidaknyamanan yang lain lagi malah muncul. Saling tidak mengacuhkan bukanlah watak asli keluarga. Dan tidak cocok dengan kami karena sebelumnya berkumpul dan berbincang sudah menjadi kebiasaan.

Lebih menyusahkan lagi, setelah saling mendiamkan itu sudah berlarut-larut, ketika ingin mengakhiri kok rasanya sukar sekali. Gengsi kami memang sulit diceramahi. Setelah saling tidak peduli cukup lama, jarak antara kami ternyata begitu melebar meski sebelumnya kami akrab sekali.

Itulah persamaan-persamaan yang biasa menjadi bahan bakar pertengkaran dalam keluarga kami. Anugerah dari Tuhan, yang menyeimbangkan itu semua adalah peran orang tua yang semakin menua semakin bijak. Sabar menghadapi, tidak bosan menegur, dan selalu menerima kami walau betapa beratnya kesalahan kami.

BACA JUGA Bertengkar dengan Orang Tua Ternyata Jauh Lebih Capek Dibanding Sama Pacar dan tulisan Muhammad Khozin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version