Sebaiknya Permendikbud No. 70/2009 Tidak Usah Bawa Embel-embel Pendidikan Inklusif kalau Masih Meleset

Sebaiknya Permendikbud No. 70/2009 Tidak Usah Bawa Embel-embel Pendidikan Inklusif kalau Masih Meleset Semua

Sebaiknya Permendikbud No. 70/2009 Tidak Usah Bawa Embel-embel Pendidikan Inklusif kalau Masih Meleset Semua

Pada 2009, Mendiknas mengeluarkan sebuah kebijakan yang bermaksud untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia. Namun, nyatanya kebijakan ini justru menjadi bumerang sendiri bagi ranah pendidikan inklusif. Kok bisa?

Pendidikan inklusi telah diselenggarakan oleh banyak negara di seluruh dunia sebagai usaha untuk mencapai pendidikan tanpa diskriminasi. Menurut UNESCO, pendidikan inklusif ada dan ditujukan untuk mengatasi keberagaman kebutuhan semua pembelajar. Dengan meningkatkan partisipasi dalam pembelajaran, budaya dan masyarakat dan mengurangi diskriminasi dalam sistem pendidikan.

Sementara menurut Waitoller dan Kozleski, pendidikan inklusif harus berdasar pada redistribusi kesempatan pendidikan yang berkualitas bagi semua siswa, pengakuan pada perbedaan semua siswa dan menciptakan ruang bagi keluarga dan siswa untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi perjalanan belajar mereka. 

Peraturan menteri

Sejalan dengan komitmen dunia, Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan inklusif pada tahun 2009. Kebijakan itu adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Namun, seperti yang tertera pada titelnya, inklusivitas yang dimaksudkan peraturan ini agaknya bukanlah inklusivitas seperti yang dicita-citakan.

Permendiknas 70/2009  mengatur aspek-aspek sebagai berikut: 1) tujuan pendidikan inklusif, 2) jenis-jenis peserta didik yang memiliki kelainan, 3) penerimaan peserta didik, 4) jaminan pelaksanaan pendidikan inklusif oleh penyelenggaraan pendidikan inklusif oleh pemerintah dan pemerintah daerah, 5) kurikulum pendidikan inklusif, 6) proses pembelajaran pendidikan inklusif, 7) penilaian pendidikan inklusif. 8) penyediaan guru pembimbing khusus oleh pemerintah, 9) dukungan untuk pelaksanaan, supervisi, pengawasan, dan pemantauan pendidikan inklusif, dan 10) pemberian reward dan punishment dalam pelaksanaan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. 

Sebagaimana peraturan tersebut dinamai dan ditujukan, kita sudah bisa mengerti bahwa peraturan ini melabeli beberapa peserta didik dengan sebutan “memiliki kelainan”. Dari isinya sendiri kita dapat melihat pada Pasal 1:

“Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.”

“Normal” dan “tidak normal”

Pasal ini secara gamblang menegaskan keberadaan peserta didik yang “normal” dan “tidak normal” dalam peraturan. Selanjutnya pada Pasal 3 kita dapat melihat bahwa yang didefinisikan dengan peserta didik yang “memiliki kelainan” adalah peserta didik yang merupakan: 1) tunanetra; 2) tunarungu; 3) tunawicara; 4) tunagrahita; 5) tunadaksa; 6) tunalaras; 7) berkesulitan belajar; 8) lamban belajar; 9) autis; 10) memiliki gangguan motorik; 11) menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya; 12). memiliki kelainan lainnya; 13). tunaganda.

Alih-alih menciptakan situasi yang setara antar peserta didik, peraturan ini malah melabeli peserta didik berkebutuhan khusus dengan label “tidak normal”. Selain itu, dalam peraturan ini juga tidak disebut-sebut mengenai keberadaan peserta didik terpinggirkan. Atau dalam kondisi rentan dalam status gender, sosial, finansial, agama, etnis dan lainnya. Hal ini membuat saya mempertanyakan untuk apa sebetulnya embel-embel pendidikan inklusi yang diusung peraturan ini.

Apakah anak dalam posisi ekonomi sulit bukan bagian dari pendidikan inklusi? Apakah anak perempuan yang menjadi korban dari pernikahan di bawah umur tidak berhak mendapatkan pendidikan? Bappenas saja menyatakan bahwa angka putus sekolah didominasi oleh faktor kesulitan biaya sekolah (24,87 persen) dan keharusan bekerja untuk membantu mencari nafkah (21,64 persen). Disusul dengan faktor pernikahan dini dan menjadi ibu pada usia sekolah (10,07 persen), serta mengurus rumah tangga (4,49 persen).  

Definisi pendidikan inklusif yang… duh

Tidak hanya itu. Kecacatan lain pada peraturan ini dapat kita temukan pada hak belajar yang katanya ada untuk anak yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Dari keseluruhan 15 Pasal dalam peraturan nggak jelas ini, tidak ada satu pun yang menyebutkan kategori peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Lalu lagi-lagi kita dibikin bertanya-tanya mengenai keberadaan definisi yang layak.

Menurut saya, Permendiknas no. 70/2009 ini memiliki kesalahan besar. Dengan mempersempit definisi pendidikan inklusi yang hanya terbatas pada peserta didik dengan kebutuhan khusus saja. Lebih-lebih lagi, peraturan tersebut melabeli mereka dengan sebutan “memiliki kelainan”. 

Ada baiknya pemerintah mulai mempertimbangkan pandangan yang lebih luas akan pendidikan inklusif. Dengan melihat adanya perbedaan kelas, gender, ras dan kebutuhan lain dari peserta didik. Rekonseptualisasi dari definisi mengenai pendidikan inklusi akan menjadi langkah bagus untuk menciptakan partisipasi menyeluruh bagi peserta didik di Indonesia ini.

Penulis: Aulia Manulang
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 3 Sisi Suram Gerbang Belakang UNS yang Sebaiknya Diwaspadai Mahasiswa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version