Perkenalkan Profesi Copywriter: Penyihir Kata-kata yang Membuatmu Ketagihan Belanja

copywriter

Copywriter itu apa sih?

Yang kerjanya ngedit berita di koran itu ya Mbak? Itu copy editor, Dik!

Yang sukanya ngopi sambil nulis senja-senja itu ya? Itu anak indie -_-

Terus apa dong? Tukang fotokopi ya? -____-

Saya sering kesusahan menjelaskan apa itu copywriter pada orang-orang awam. Bahkan, yang berkuliah Ilmu Komunikasi pun kadang masih mengerutkan dahi ketika mendengar istilah copywriter.

Saya pernah naik ojol yang kebetulan masnya mengaku lulusan FISIP. Beliau bertanya pekerjaan saya dan saya menjawab “copywriter”. Karena saya pikir beliau pasti paham apa itu copywriter. Ndilalah mungkin karena angin sepoi-sepoi yang aduhai beradu dengan bunyi klakson kendaraan di jalanan, masnya menanggapi, “Oh, kerja di restoran gitu ya Mbak?”

Saya bingung dong! Kok bisa restoran? Hoho… pasti abang ojol tadi dengernya “waiter”. Bukan “copywriter”. Saya ngakak dalam hati. Sampai akhirnya kehilangan mood untuk menjelaskan apa pekerjaan saya sebenarnya. Sejak saat itu setiap ditanya pekerjaan, saya menjawab, “kerja kantoran Buk,” atau “Sama aja lah kayak kamu, jadi buruh korporat, heuheu…”

Jadi, apa itu copywriter? Bagaimana bisa ia disebut penyihir kata-kata?

Singkatnya, copywriter adalah orang yang membuat teks copy/ iklan. Biasanya, para copywriter ini bekerja di sebuah agensi iklan. Namun, seiring meningkatnya kebutuhan promosi, kini banyak perusahaan yang mempekerjakan copywriter internal.

Kerjaannya cuma bikin iklan (((doang)))?

Nggak sesimpel itu Bambang!! Kenyatannya, pekerja yang dituntut menemukan ide-ide kreatif justru rentan mengalami stress. Sebab, menemukan ide iklan yang “wow” itu nggak cukup hanya dengan 1 kedipan kayak orang pertama jatuh cinta. Kalau ide belum ditemukan, copywriter bisa seharian dibayangi ide iklan apa yang mau dibuatnya. Gimana nggak rentan stress tuh?

Apalagi, copywriter dituntut menghasilkan iklan yang mampu membolak-balikkan hati calon pelanggan. Padahal kan, hanya Tuhan yang Maha membolak-balikkan hati. Pokoknya, copywriter dituntut agar orang yang tadinya ogah beli jadi merasa berdosa kalau nggak beli produk kita sekarang juga. Atau, pelanggan yang tadinya berniat beli 1 biji, jadi merasa rugi kalau nggak sekalian memborong 1 kodi.

Karena itulah, copywriter sering disebut the wizard of word alias penyihir kata-kata. Tulisan yang mereka hasilkan dalam bentuk jargon-jargon atau materi iklan harus mampu mempengaruhi pikiran calon pelanggan. Nggak heran kalau salah satu skill dasar yang wajib dimiliki seorang copywriter adalah merayu alias nggombal lewat kata-kata. Tapi tetep aja sih, kalau disuruh merayu masnya saya nggak mampu, uwuwuu~

Sekarang, perhatikan iklan-iklan yang bertebaran di TV atau internet. Semuanya bernada merayu! Ada yang merayu dengan kalimat-kalimat ilmiah. Ada juga yang menakut-nakuti target dengan berbagai resiko yang bikin cemas (yang mungkin saja suatu kebenaran/ bahkan cuma bualan).

Saya jadi ingat iklan B*skuat jaman saya masih TK dulu. Iklan tersebut mempertontonkan seorang bocah yang bisa lari dari kejaran seekor macan setelah makan sekeping biskuit gandum. Gila!! Sangat tidak masuk akal, tapi saya dulu mempercayainya. Bahkan, setiap saya sakit, saya lebih memilih minta dibelikan B*skuat daripada obat. Karena, saya pikir saya bisa segera pulih dan menjadi kuat layaknya bocah dalam iklan itu.

Gila kan? Gempuran iklan di media bisa begitu kuat pengaruhnya. Bahkan, kepada bocah ingusan yang belum lulus TK seperti saya dulu. Sebagai copywriter, mendengar iklan yang kita buat bisa meningkatkan banyak penjualan adalah sebuah berita bahagia. Namun, idealisme saya murka jika iklan-iklan yang dihasilkan copywriter ini berakibat pada tumbuhnya budaya hedon dan konsumerisme berlebihan.

Sekarang, perhatikan bagaimana kebiasaan kita berbelanja selama ini. Seringkali kita membeli suatu barang hanya karena kepincut iklan atau rekomendasi teman. Sebenarnya, kita tidak benar-benar membutuhkannya. Hanya karena hasutan iklan yang berkali-kali memborbardir alam bawah sadar, kemudian kita jadi merasa ‘perlu’ untuk segera membeli produk tersebut. Apalagi, kalau iklan itu tayang berkali-kali dan menghantui kita saat sedang baca berita, nonton video YouTube atau sekadar scroll Instagram.

Saya ambil contoh produk skin care. Awalnya, kita merasa fine-fine saja memiliki kulit kusam dan berjerawat. Namun, keyakinan itu goyah seiring gempuran iklan dan nyinyiran teman. Iklan mengatakan kulit cantik itu harus putih dan mengkilap. Bahkan, kebanyakan film yang kita tonton hanya menampilkan perempuan berkulit putih seolah semua perempuan memang harus tampil demikian. Apalagi, kalau ditambah dengan nyinyiran teman yang hobinya body shamming dari pagi hingga malam. Ih, kok nggak malu sih pasang selfie berjerawat kayak gitu? Nggak pernah dirawat ya? dst.. dst… Sampai akhirnya kamu merasa ‘perlu’ untuk segera membeli produk skin care.

Eh, sudah beli skin care A, masih disuruh beli lagi varian B, C, D, sampai Z biar hasilnya lebih cepat dan maksimal. It’s bullshit MyLov! Itu hanya ‘sihir kata’ yang dibuat copywriter biar kamu beli lagi, beli lagi, beli lagi… sampai kamu nggak sadar telah menjadi konsumtif.  Sesuatu yang awalnya sebatas ‘keinginan’, namun di tangan iklan dan propaganda media, semua produk  seolah menjadi hal yang sangat kita butuhkan.

Ingat MyLov, contohnya bukan produk skin care saja. Perhatikan semua daftar belanjaan kita setiap hari. Mulai dari koleksi baju, gadget, hingga pilihan jajan. Kira-kira, mana sih yang benar-benar urgent kita butuhkan? Jangan-jangan keputusan kita membeli selama ini hanya karena ‘lapar mata’ dan digombali iklan.

BACA JUGA Kelihatannya Aja Nyantai, Aslinya Content Writer itu Bukan Pekerjaan Santai dan tulisan Riris Aditia N. lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version