Periplus Mengajari Saya untuk Lebih Menghargai Buku dan Penulis

Periplus Mengajari Saya untuk Lebih Menghargai Buku dan Penulis

Periplus Mengajari Saya untuk Lebih Menghargai Buku dan Penulis (Pixabay.com)

Bagi saya yang belum pernah beli buku impor, Periplus adalah toko buku yang mahal. Maka dari itu, saya cukup heran melihat banyak teman saya yang menggemari karya sastra luar macam Harry Potter begitu menggilai Periplus. Mereka rela menabung dan menahan jajan agar bisa belanja di toko buku tersebut.

Tapi, Periplus lah yang bikin saya menghargai kerja keras penulis dan buku.

Saya memang hendak membeli buku yang sudah lama saya incar, apalagi buku tersebut belum ada versi terjemahannya. Saya paham harga buku di Periplus bisa empat kali lipat dari buku versi terjemahannya yang terjual di pasaran. Namun dari testimoni beberapa teman saya, buku impor di Periplus paling murah dari pada membeli buku impor di toko buku lain.

Akhirnya, saya pun mengunjungi gerai toko Periplus Galaxy Mall, Surabaya. Sebagai informasi, Periplus tidak seperti toko buku Gramedia atau Togamas yang memiliki gedung sendiri. Umumnya, Periplus berada dalam mall atau di bandara.

Kesan pertama masuk Periplus

Saat pertama masuk Periplus, kesan pertama yang saya dapatkan adalah fokus. Gerai tokonya tak terlalu besar, jarak antara pintu masuk dengan rak buku pun dekat. Tidak ada tempat penitipan tas dan barang, bahkan satpam. Untuk keamanan, toko ini mengandalkan sensor alarm yang biasa terdapat di dekat kasir supermarket yang terletak di depan gerai toko.

Tak terlalu banyak rak buku berbaris model domino. Hampir semua rak menempel di dinding, sehingga memudahkan pengunjung untuk langsung melihat cover buku. Walau tak banyak rak buku, penataan buku di Periplus rapi, sesuai kategori dan mudah dijangkau.

Dengan mudahnya, saya menemukan buku yang saya incar. Tanpa perlu muter-muter dulu, tanpa tanya ke karyawan toko atau cari di katalog online di komputer yang disediakan. Setelah mendapat buku yang saya incar, saya pun berkeliling. Saya tak melihat ada area alat tulis apalagi jual sepeda, sepatu, alat musik, mainan sampai alat pijat elektronik. Namun kalau dilihat di website-nya sih, mereka jual.

Di toko ini juga tidak ada tempat duduk. Pinggul saya yang rada jompo ini ingin sekali duduk untuk membaca buku yang judulnya menarik mata. Tapi kalau dipikir-pikir, andai ada tempat duduk kayaknya bakal sumpek nih tempat.

Cari buku terbuka segelnya? You wish

Kita juga nggak bisa leluasa membaca buku di sini. Ingat, ini toko buku, bukan perpustakaan. Semua buku tersegel di sini, tidak ada buku yang segelnya. Ketika berada di toko buku lain saya dengan mudah menemukan buku yang tidak tersegel untuk dibaca. Bahkan melihat orang dengan leluasa membuka segel buku. Tapi, hal itu tidak terjadi di Periplus.

Sepengetahuan saya di toko buku mayor yang biasa saya datangi, ada beberapa buku yang sengaja dibuka, sengaja disediakan sampel bukunya oleh pihak toko hingga boleh membuka segel buku dengan seizin karyawan toko. Ada juga yang secara diam-diam membuka segel dan dibaca di tempat. Saya pun akhirnya bertanya ke karyawan Periplus,

“Mas di sini nggak boleh dibuka segelnya, ya? Saya lihat dari tadi nggak ada buku yang segelnya dibuka apalagi yang nggak tersegel.” Saya mending bertanya, ketimbang penasaran sampai rumah dan tidak bisa berak, eh, tidur.

“Boleh kok, Kak. Tapi mohon maaf, kami mempunyai syarat dan ketentuan yakni tidak boleh membuka segel secara full dan maksimal buka plastik segel hanya tiga buku saja.” ungkap salah satu karyawan Periplus.

Belajar menghargai buku

Setelah mendengar penjelasan karyawan Periplus tersebut, saya pun jadi lebih menghargai fisik sebuah buku. Ketika melihat buku yang telah terbuka segelnya di toko buku lain, ada perasaan bersalah. Udah segelnya kebuka, nggak jadi dibeli lagi. Siapa yang mau beli buku yang segelnya kebuka coba? Kalau mau cari tau soal bukunya, bisa dicek aja beberapa review-nya secara online.

Untungnya, semua buku impor di Periplus dapat dibaca review-nya via Goodreads atau Amazon. Sebuah tips bagi yang ingin membaca dan membeli buku di era digital saat ini adalah perbanyaklah membaca review buku. Review buku nggak hanya bisa didapat dari Goodreads atau Amazon ada banyak penerbit buku. Reviewer buku dengan hastag #bookstagram di media sosial sampai komunitas buku yang bisa jadi wadah untuk mengenal buku yang sedang menarik minat untuk dimiliki. Daripada cuman dibuka segelnya, cover bukunya udah melengkung lagi tapi nggak jadi dibeli, gimana coba?

Pada akhirnya saya pun menyadari bahwa ke toko buku tuh baiknya memang begini, fokus sama pengalaman kita dengan bukunya. Bagi saya yang baru konsisten membaca buku, membaca buku membutuhkan waktu untuk bisa fokus dan merasa dekat dengan sebuah buku. Dan Periplus, jelas memberikan pengalaman tersebut, serta menghargai penulis dan bukunya, dengan cara tidak membuka segelnya, lalu nggak jadi beli.

Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sari Ilmu, Toko Buku Tertua di Yogya yang Mencoba Bertahan Hidup

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version