Perilaku Orang-orang di Angkringan Adalah Cerminan Pejabat Pemerintahan

Perilaku Rakyat di Angkringan Adalah Cerminan Pemerintah terminal mojok

Sebuah studi menyebutkan tingkat kesehatan, ekonomi, kemananan, dan hal baik lain bisa dijadikan sebagai indikator penilaian sebuah negara. Negara yang maju bisa dilihat dari kehidupan rakyatnya. Kalau negaranya punya kesehatan dan ekonomi yang baik, tentu rakyatnya bahagia sejahtera. Tapi, bagi saya, maju atau tidaknya sebuah negara bisa dilihat dari cara makan rakyatnya di warung. Jika mau melihat ke bawah sedikit, di sekitaran akar rumput, kita bisa memperhatikan tingkah laku orang-orang di angkringan yang menunjukkan cerminan pemerintahan sebuah negara.

Mengapa angkringan? Karena angkringan adalah manifesto dari tempat makan berbayar apa adanya. Tak perlu tedeng aling-aling dan saling menjaga image nggak penting. Angkringan itu ideal. Angkringan merupakan bukti nyata dari kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Oleh karenanya, perilaku orang-orang berikut harus kita waspadai dengan sebaik-baiknya.

Pertama, jika melihat orang jorok, kita harus waspada. Berkali-kali saya melihat orang yang tak membuang tusuk satenya, justru mengembalikan ke tempatnya semula bertumpuk lagi dengan makanan yang masih utuh. Bayangkan saja, dia melakukan itu terus-menerus, sehingga bisa dipastikan ada paparan liurnya di nampan sate. Ini tipikal orang yang nggak mau memikirkan orang lain! Lha, kalau dia terpapar Covid-19 gimana? Apa nggak membahayakan orang lain?

Belum lagi kalau orang-orang jadi nggak mau ambil sate, apa yang punya angkringan nggak rugi? Makanya orang-orang yang jorok seperti ini nggak perlu diberi jabatan. Ia bakal bertingkah seenaknya dan nggak memikirkan orang lain. Ia bakal lebih sering makan duluan, yang penting senang, tapi nggak sadar jika sudah mencemari sumber kehidupan orang lain.

Kedua, orang yang ambil banyak tapi nggak ngaku. Ini tipikal orang nggak ada akhlak tingkat kaffah. Sudah jelas orang semacam ini bahaya kalau jadi pejabat. Mentalnya nyolongan. Titik. Nggak perlu dijelaskan ndakik-ndakik, cukup jangan dibully. Nanti kalau dibully, mereka kesenengan dikasih keringanan. Intinya, mereka harus dibasmi dan dijauhkan.

Ketiga, orang yang justru menghilangkan makna dari angkringan itu sendiri dengan bikin restoran bertema angkringan. Ini adalah angkringan palsu dan menyebalkan. Sok fancy! Sudah merusak makna angkringan, malah makin menjamur. Jika tipe pengusaha angkringan begini disuruh menjabat, bakal rusak struktur bangsa kita.

Kalau tipe ketiga ini sampai menjabat di pemerintahan, segala budaya baik dan kearifan lokal kita hanya akan dijadikan semacam pajangan dan tempelan. Cover palsu dan penuh tipu daya. Budaya adat hanya diomongkan saat ada baju adat yang dipakai. Atribut budaya hanya serupa baju dan aksesori di acara festival, bukan pelestarian dan toleransi. Bajunya dipakai, hutannya dibabat, budayanya diinjak-injak, bahkan dijual!

Keempat, orang yang bersikap SKSD (sok kenal sok dekat) dan menggunakannya untuk melukai orang lain. Contohnya, orang yang WA duluan ke penjual biar disiapin makanan dan minuman sehingga nggak perlu antre. Atau booking tempat paling strategis dan makanan favorit di angkringan. Seharusnya semua orang punya kesempatan yang sama terlepas dari akrab atau nggak. Orang yang SKSD begini nggak bakal mikir dua kali untuk merampas hak orang lain lewat jalur privilese orang dalam. Pokoknya tipe keempat ini jangan dibiarkan menjabat di pemerintahan, deh, soalnya mereka curang dan zalim.

Soal bahagia, itu relatif. Tak perlu wagyu mahal, ada yang cukup bahagia dengan baceman tahu, ceker, sate usus, atau endas pitik. Angkringan sebenarnya menyajikan kemudahan dan kesederhanaan. Sayang, hal yang penuh kesederhanaan itu kerap diromantisasi dan dihubungkan dengan sikap nrimo ing pandum membabi buta. Memang nggak harus wagyu A5, tapi nggak perlu sok-sokan nyuruh nrimo ing pandum. Padahal banyak juga yang jajan di angkringan karena keterbatasan gaji dan UMK yang seadanya. Meski nikmat, kalau tiap hari, kan, bosen juga.

Kok ya tega menyelewengkan makna nrimo ing pandum sebagai kamuflase sikap sakpenake dewe pemimpin sama rakyatnya. Nrimo ing pandum adalah dialog sunyi antara Tuhan, manusia dan hatinya, jadi bukan urusan negara. Ini masih soal angkringan, belum lagi tentang warmindo dan warteg, saya sudah capek.

Sumber Gambar: Jordan Ling via Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version