Perempuan Menikah dan Pajaknya: Hakmu, Bukan Sekadar Ikut Suami

Perempuan Menikah dan Pajak: Hakmu, Bukan Sekadar Kolom “Ikut Suami”

Perempuan Menikah dan Pajaknya: Hakmu, Bukan Sekadar Kolom “Ikut Suami”

Perempuan yang sudah menikah dikategorikan sebagai “wanita kawin” di sistem perpajakan Indonesia. Kedengarannya resmi, tetapi bagi saya, perempuan yang lahir dan besar di Yogyakarta dan belajar pajak, ada sesuatu yang terasa agak berbeda.

Wanita dalam bahasa Sanskerta/Jawa Kuno, vanita berarti “yang diinginkan, yang dinikahi, atau yang menyenangkan hati laki-laki”, wanita dalam sejarah bias gender dipandang dari perspektif laki-laki, bukan sebagai individu yang berdiri sendiri. Kata wanita dari perspektif Jawa juga dikaitkan dengan frasa “wani ditata”, yang artinya berani diatur. Sedangkan kawin—mohon maaf—lebih sering digunakan untuk hewan.

Wanita secara tradisional mengandung makna kuat, berani, dan tertib. Pemaknaan ini sering menyempit dalam konteks modern menjadi “patuh dan manut”, sehingga kehilangan nuansa kekuatan, dan kesadaran diri yang asli. 

Saya lebih nyaman menggunakan kata “perempuan” untuk menekankan posisi aktif dan lebih inklusif. Perempuan berasal dari bahasa Sanskerta (ampu/empu) yang berarti “tuan, penguasa, yang mahir, atau yang memiliki keahlian”. Memberi ruang bagi identitas, kesadaran, dan subjek penuh yang memiliki kendali atas hidupnya. Saya menggunakan diksi ini tanpa meninggalkan konteks resmi bahasa hukum administratif yang presisi dan sah, “wanita kawin”.

Saya jelaskan soal istilah bukan untuk memperdebatkan bahasa, tapi supaya jelas kenapa saya memilih kata perempuan. Sekarang, kembali ke konteks pajak.

Perempuan dan Pajak

Status “wanita kawin” dan yang selanjutnya akan saya sebut “perempuan menikah” di artikel ini, menentukan hal-hal seperti penggabungan penghasilan dengan suami dalam pelaporan pajak atau hak potongan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Banyak perempuan menikah tidak tahu bahwa mereka punya hak perpajakannya sendiri. 

Nah, di sini saya mau beritahu kalau perempuan menikah boleh mempunyai NPWP sendiri lho, memilih lapor SPT sendiri, meminta restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) atas namanya sendiri, dan bisa pisah pajak dari suami lewat perjanjian tertulis, tanpa harus pisah rumah, atau cerai. Dasar hukum tersebut terdapat pada PP No. 74 Tahun 2011.

Di luar penelitian kampus—analisis pribadi—saya habis baca jurnal dari Janet Gale Stotsky, beliau menulis dengan judul Gender Bias in Tax Systems. Bias gender dalam sistem perpajakan sering muncul di beberapa negara—khususnya negara berkembang—karena hukum pajak dibangun di atas asumsi bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan hanya pelengkap. Banyak di antara mereka tidak sadar bahwa mereka memiliki hak perpajakan sendiri. 

Tapi, kenapa ini penting?

Apa kaitannya dengan perempuan, pajak, dan Indonesia? Apakah dari penggunaan diksi? Bukan, tapi dari unit pajaknya

Kita lihat dulu pada kasus negara asal Upin dan Ipin, Malaysia, sebelum tahun 1991 pernah menetapkan bahwa penghasilan perempuan menikah “otomatis” digabung dengan suaminya kecuali ia mengajukan pemisahan pajak. Sistem ini mirip dengan Indonesia sekarang, di mana “wanita kawin–ikut suami” berlaku otomatis setelah menikah. Informasi ini juga saya dapatkan dari penelitian Susi Diah Anggarsari yang berjudul Analisis Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Wanita Kawin—yang ternyata senior dan alumni kampus saya.

Setelah 1991, Malaysia mengubah mekanismenya bukan “penghasilan perempuan menikah digabung dengan suami” seperti yang menjadi default di beberapa sistem, termasuk di Indonesia. Model Malaysia sekarang lebih fleksibel dari model “otomatis digabung”. Mereka secara otomatis dianggap sebagai dua unit pajak terpisah (separate taxable units) begitu menikah. Meskipun begitu, pasangan boleh memilih untuk joint assessment kalau memang ingin.

Perubahan ini dilakukan untuk meningkatkan keadilan dan netralitas gender dalam sistem perpajakan. Model ini menarik karena kebalikan dari Indonesia, yang sistemnya masih menetapkan perempuan menikah otomatis ikut suami. Kecuali perempuan menikah di Indonesia tahu, dan berani meminta pisah pajak. Padahal secara hukum, hak itu sudah ada.

Apakah reformasi pajak Malaysia otomatis membuat perempuan menikah lebih melek pajak?

Saya dan teman-teman sempat mewawancarai salah satu dosen di kampus. Beliau bilang, upaya peningkatan literasi pajak dan kemandirian perempuan dalam sistem perpajakan dapat dilakukan melalui beberapa langkah strategis, “salah satunya” melakukan revisi terhadap aturan NPWP gabungan agar lebih fleksibel dan adaptif terhadap kondisi perempuan bekerja. Salah satu contoh praktik baik yang dapat dijadikan acuan adalah elective separate assessment system yang diterapkan di Malaysia.

Ketika perempuan menikah memiliki sistem yang terpisah, perempuan secara tidak langsung terdorong untuk belajar, dan memahami mekanisme perpajakan secara lebih dalam.

Perempuan menikah secara hukum di Indonesia bisa memiliki NPWP sendiri dan menjalankan hak perpajakannya secara mandiri. Tetapi struktur administrasi tersebut mengindikasikan sisa-sisa logika maskulin dalam sistem fiskal yang belum sepenuhnya sensitif gender. Formulir dan sistem administrasi pajak masih menampilkan status “wanita kawin–ikut suami” tanpa penjelasan mengenai hak perpajakan mandiri. Ya sudah, biarlah. Yang terpenting perempuan menikah sadar bahwa mereka memiliki hak untuk memilih ke depannya.

Saya belajar tentang tarif, formulir, potongan, dan peraturan di kampus. Saya dan teman-teman juga meneliti tingkat literasi perpajakan perempuan menikah di DKI Jakarta. Dalam pembelajaran tersebut, pajak perempuan menikah sangat penting, dari sana lahir kesadaran hukum. Saya pun juga setuju, terlebih lagi, menurut saya untuk perlindungan diri, dan kemandirian finansial.

Saya mewawancarai responden yang mengatakan bahwa bahasa teknis yang digunakan dalam sosialisasi maupun sistem daring membuatnya kesulitan memahami haknya, di samping intensitas sosialisasi yang kurang optimal. 

Wanita Kawin Bukan Sekadar Kata

“Wanita kawin” mencerminkan cara negara memandang rakyatnya. Sementara kata “perempuan menikah” memberi ruang untuk mengakui bahwa subjeknya tetap utuh, sadar akan hak, dan bisa mengelola kewajiban pajaknya sendiri. Ketika mekanisme otomatis seperti “wanita kawin-ikut suami” tetap digunakan, perempuan secara implisit diposisikan bukan sebagai subjek pajak yang aktif dan mandiri. 

Menurut saya, literasi pajak tidak hanya memerlukan intensitas sosialisasi yang lebih tinggi. Tetapi juga sistem perpajakan yang lebih inklusif gender. Agar perempuan dapat menjalankan hak perpajakannya secara setara. 

Tapi yang terpenting, kembali lagi, benang merah yang ingin disampaikan tetap sama

Keuntungan dan kekurangan dari NPWP terpisah apa saja?

Jika penghasilan perempuan menikah lebih tinggi dari pada suami, disarankan untuk melakukan NPWP terpisah karena dapat memanfaatkan PTKP secara mandiri. Hal tersebut lebih menguntungkan dan menciptakan beban pajak yang lebih adil. Karena jika perempuan berpenghasilan lebih tinggi daripada suami dan NPWP-nya digabung, total beban pajak yang dikenakan akan lebih besar. 

Kekurangannya? Pasangan harus melakukan perjanjian pisah harta secara sah dan resmi, sehingga administrasi lebih rumit.

Bagi setiap wanita kawin atau perempuan menikah yang pernah mengisi formulir dengan catatan “ikut suami”, penting untuk tahu bahwa hak dan kewajiban pajak bisa dijalankan secara mandiri dan mengerti bahwa ia memiliki pilihan, ikut suami, atau mengambil kendali atas finansialnya sendiri. 

(Catatan penting: Kelas kami di kampus tidak meneliti istilah ini. Pilihan menggunakan “perempuan menikah” di sini sepenuhnya merupakan refleksi pribadi saya.)

Penulis: Filda Kamila
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Panduan A-Z Sederhana Memahami Apa itu PPN dan Dampak Kenaikannya bagi Rakyat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version