Perempuan Di Zaman Nenekku Hingga Zaman Istriku Tentang Persalinan

persalinan

persalinan

Tiga bulan yang lalu saya menemani istri berjuang menjalani persalinan. Setiap kehamilan dan persalinan pastilah memiliki kisahnya masing-masing. Bukan kisah tentang proses bersalinnya yang akan saya tuliskan disini, biarlah para pembaca nanti akan merasakan pengalamannya sendiri. Sebab kehamilan dan persalinan adalah proses dan peristiwa yang unik dan berbeda satu dengan yang lain.

Saya menyoroti perjalanan menuju hari-H proses melahirkan. Menginjak trimester kedua kami semakin gemar mencari informasi tentang persalinan. Dari mulai beli berbagai macam buku, survey ke banyak tempat bersalin, dan tentu saja aktif bertanya pada orang-orang yang sudah pengalaman.

Kami cukup beruntung mendapat banyak informasi sehingga tidak sampai bertanya pada rumput yang bergoyang. Hahaha

Pada zaman nenek saya dahulu, melahirkan di rumah adalah hal yang lumrah. Alasannya, melahirkan merupakan peristiwa alami namun sakral. Orang akan cenderung memilih lingkungan yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari. Proses persalinan dipandang sebagai peristiwa yang normal, alami, dan bukan penyakit.

Dengan cara pandang demikian, seorang calon ibu akan mengandalkan kemapuan dirinya dalam melalui proses bersalin.

Di zaman ibu saya melahirkan dahulu, sudah mulai ramai yang bersalin di bidan, klinik bersalin, dan Puskesmas. Tapi masih tidak familiar apabila ada yang melahirkan di rumah sakit, kecuali memang ada resiko penyakit sehingga mengharuskan si ibu berobat dan melahirkan di rumah sakit.

Lah gimana, orang sekitar di zaman itu menganggap Rumah Sakit ya tempatnya orang sakit, bukan tempat melahirkan bayi.

Di zaman modern ini tentu beda lagi paradigmanya. Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan, para perempuan khususnya di daerah perkotaan akan lebih memlilih untuk melahirkan di fasilitas kesehatan yang serba lengkap, meski harus merogoh kocek lebih dalam.

Alasan yang saya kira juga logis. Karena memang penanganan secara medis memang diperlukan apabila tiba-tiba ada kejadian gawat darurat. Apalagi sekarang fasilitas kesehatan sudah banyak dimana-mana. Mau ke bidan, klinik bersalin, puskesmas, rumah sakit ibu dan anak, rumah sakit umum kelas A, B, C, D, semuanya tinggal dipilih.

Dengan cara pandang demikian, seorang calon ibu akan merasa aman jika bersalin di tempat yang fasilitas medisnya semakin lengkap. Meski terkadang calon ibu pada akhirnya semakin mudah menyerah untuk minta dilakukan intervensi medis.

Memilih tempat melahirkan memang tak sesulit memilih jodoh. Semuanya pasti ada plus minusnya. Tapi biasanya untuk kelahiran anak pertama, calon orang tua pasti mau yang terbaik untuk buah hatinya. Iya kan?

Siapa sih yang nggak pengen bersalin secara alami, lancar, bebas trauma, dan berlangsung menyenangkan? Saya rasa semua perempuan menginginkan hal demikian.

Semakin mendekati HPL (hari perkiraan lahir), semakin banyak informasi yang kami terima. Terlalu banyak informasi terkadang tak membuat kita semakin pintar, tapi justru semakin bingung dan overthinking. Overthinking is the biggest cause of unhappiness!

Apalagi ketika mendengar kabar rekan-rekan kerja istri saya yang melahirkan lebih dulu, rata-rata punya cerita menyeramkan yang berujung dengan cara operasi SC (Sectio Caesarea). Begitu juga dengan rekan-rekan saya di tempat yang lain, beberapa juga melahirkan secara Caesar. Biar bagaimanapun, kisah kelahiran di sekeliling kita mempengaruhi pola pikir kita terhadap proses persalinan, bukan begitu Ferguso?

Pada zaman sekarang ini, semua orang ingin praktis dan suka yang instan. Bahkan tak jarang melahirkan pun ingin praktis. Kalau mau lihat data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet, jumlah wanita yang melahirkan lewat operasi caesar di 2015 meningkat dua kali lipat dibandingkan pada 2000. Pada 2000 sekitar 16 juta bayi lahir lewat operasi caesar, selang 15 tahun kemudian ada 30 juta bayi (21 persen dari total persalinan) yang lahir dengan cara tersebut di seluruh dunia. Dan angka tersebut terus meningkat hingga kini.

Kenyataan ini bisa diartikan positif dan negatif. Dari sisi positifnya, artinya kini semakin banyak perempuan yang melahirkan di bawah pengawasan tenaga kesehatan, sehingga mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Sedangkan dari sisi negatifnya, fakta ini menunjukkan seolah – olah perempuan kehilangan kemampuannya untuk melahirkan secara alami melalui vagina.

Operasi caesar sejatinya diperlukan apabila ada pertimbangan medis tertentu sehingga diperlukan operasi untuk menyelamatkan ibu dan janinnya. Jika memang ini alasannya, artinya kasus abnormal pada ibu hamil memang banyak.

Atau jangan-jangan ada kecenderungan para calon ibu ini memilih operasi Caesar tanpa alasan medis, karena takut melahirkan secara normal misalnya. Sebab memang stigma yang beredar adalah melahirkan normal itu sakitnya setengah mati.

Eh tapi bukankah dibalik sakit yang setengah mati itu ada pahala yang besar menanti. Sudah seperti jihad di jalan Allah. Apalagi sekarang banyak dijumpai pelatihan gentle birth, hypnobirthing, dll, yang dapat diikuti supaya lebih siap bersalin secara normal. Lalu apalagi yang ditakutkan untuk bersalin secara normal?

Masalah nanti takdirnya persalinan akan seperti apa dan dengan cara apa, manusia hanya bisa merencanakan, Tuhan lah yang menentukan.

Ngomong-ngomong soal ketentuan Tuhan, ada hal yang mengingatkanku akan kisah yang diabadikan di Al Qur’an. Kejadian itu saat momen pertama kali menyusui. Pada saat IMD (inisiasi menyusui dini) air susunya keluar hanya sedikit.

Saya lalu teringat akan kisah Siti Hajar dan bayi Ismail, yang mana Siti Hajar dan bayinya ditinggalkan oleh suaminya (nabi Ibrahim). Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk berdakwah ke tempat lain yang jauh dengan meninggalkan mereka di tengah padang gurun yang belum berpenghuni yang kini menjadi kota Mekkah.

Siti Hajar terus-menerus menyusui Nabi Ismail sampai tak terasa perbekalan air dan kurma hampir habis. Sampai pada akhirnya, air susunya tidak keluar lagi. Bayi Nabi Ismail pun mulai kehausan dan terus menangis dengan keras hingga memaksa Siti Hajar untuk berlarian naik turun bolak-balik ke bukit Shofa dan Marwah.

Aku bersyukur istriku tidak mengalami hal yang sulit itu sampai memaksanya berlarian naik turun bukit. Kan susah, sebab di tempat kami, Surabaya, tak ada bukit. Adanya gunung, gunung sari dan gunung anyar, itu pun nama daerah, bukan gunung betulan. Tapi jikalau kami diharuskan melalui hal-hal sulit, semoga Allah memampukan kami melaluinya dengan baik, sehingga Allah akan mengangkat derajat kami. Seperti kisah Siti Hajar tadi, ceritanya diabadikan dalam al qur’an dan dijadikan salah satu rukun ibadah haji. Subhanallah.

Exit mobile version