Jakarta Selatan adalah salah satu kawasan di DKI Jakarta yang bisa dibilang punya peradaban yang cukup modern. Yah setidaknya nggak jomplang-jomplang amatlah sama Jakarta Pusat. Saya pun menuliskan artikel khusus di Terminal Mojok tentang bagaimana Jakarta Selatan bisa jadi opsi ideal bagi perantau. Tapi tulisan itu hanya fokus perihal aspek tempat tinggal. Lalu bagaimana soal pekerjaan?
Kalau soal pekerjaan, saya pribadi punya pandangan yang sedikit bertolak belakang dengan tulisan saya sebelumnya. Pasalnya, memilih tempat tinggal dan tempat bekerja itu dua perkara yang berbeda. Apa yang saya sebut ideal dari kaca mata tempat tinggal, tidak otomatis ideal secara tempat kerja. Nah bagi saya, Jakarta Selatan bukanlah kawasan ideal untuk mencari pekerjaan. Saya akan ulas satu per satu alasannya.
Gaji nggak sebanding dengan biaya hidup di Jakarta Selatan
Jakarta Selatan itu diisi banyak sekali perusahaan swasta tingkat lokal, NGO, dan startup kemarin sore yang kebanyakan dari mereka memberi gaji di bawah UMR. Gaji UMR yang kalian harapkan itu hanya berlaku di kawasan tertentu seperti SCBD dan Kuningan, selebihnya ya harus siap-siap menerima gaji seadanya kalau memaksa kerja di kawasan Jaksel.
Lebih parah kalau kerjanya di startup atau agensi baru yang sistemnya “exposure dulu, cuan belakangan”. Bersiaplah untuk kerja keras bagai kuda. Banyak yang jual mimpi tentang “kerja seru, fleksibel, ngantor di coworking space, free coffee” tapi aslinya mah slip gajinya nominalnya tipis, setipis tempe goreng yang dijual di Jakarta.
Jam kerja yang nggak ngotak dengan budaya hustle yang toxic
Jam kerja yang keliwat nggak normal di Jaksel biasanya ada di agensi kreatif. Labelingnya sih kerja fleksibel, tapi implisitnya overtime. Bayangkan ada teman saya yang kerja dari pagi, kemudian lanjut meeting berkedok nongkrong tiap malam. Pada akhirnya itu membuat perantau yang niat kerjanya buat survive, jadi kelelahan secara mental karena ritme kerjanya yang nggak memberikan jeda ke para pekerja.
Kerja dari pagi sampe magrib aja udah capek loh. Ini masih ditambah meeting sama klien yang permintaannya suka di luar nalar. Sudah begitu, uang lemburnya sangat minimalis untuk sebuah tempat kerja yang katanya berorientasi pada kreativitas.
Budaya kerja Jakarta Selatan yang konsumtif
Karena brandingnya Jaksel itu glamor, modern, dan hedon, hal itu kemudian terbawa juga pada budaya kerja yang konsumtif. Maksudnya gimana tuh? Jadi Banyak jenis pengeluaran yang nggak perlu saat bekerja karena untuk mengimbangi stress atas tekanan kerja berat. Bagi para perantau yang datang dari daerah, nggak jarang mereka kesulitan beradaptasi dengan standar gengsi yang nggak semua nyaman untuk diikuti. Budaya ngafe, kongkow-kongkow, dan belanja kelengkapan outfit yang nggak perlu-perlu amat sering kali jadi pengeluaran yang nggak bisa dikontrol. Kalau nggak ikut arus, malah sering dianggap nggak nyambung sama lingkungan kantor.
Jenjang karier yang nggak jelas
Saya tekankan sekali lagi, pekerjaan di Jaksel itu kebanyakan datang dari perusahaan swasta lokal, LSM, startup kemarin sore, dan agensi kreatif. Sektor-sektor ini tuh bisnis modelnya mayoritas belum stabil. Seseorang karyawan bisa menanggung banyak sekali pekerjaan di luar jobdesknya, sudah begitu kebanyakan tidak menawarkan jenjang karier yang jelas.
Ada seorang kawan yang sesama Jawa Tengah, pernah dibebankan pekerjaan lintas tanggung jawab, tapi gajinya telat sampe sebulan. Sudah begitu, statusnya masih tetap aja staf karyawan kontrak biasa. Padahal sudah hampir 4 tahun dia bekerja di sana.
Selain itu, banyak fenomena di sebuah Perusahaan terjadi pergantian posisi yang mendadak, tiba-tiba lay-off karyawan, dan perusahaan tiba-tiba tutup atau pivot tanpa kejelasan nasib para stafnya. Mengharap kepastian karier di daerah Jaksel seperti berharap janji kampanye para pejabat, heboh waktu awal, hilang waktu butuh kepastian.
Rute dan akses ke tempat kerja bisa menyiksa
Meskipun akses transportasi publik di Jakarta Selatan itu mudah dan banyak pilihan, tapi tetap saja menyiksa, apalagi saat waktu-waktu padat seperti berangkat dan pulang kerja. Kondisi berdesak-desakan di KRL, Trans Jakarta pada pagi dan sore hari akhirnya membuat fisik dan mental jadi bisa ngedrop kapan saja. Bagi para perantau baru, situasi seperti ini sangat menguras tenaga dan pikiran.
Di sisi lain, walaupun Jaksel punya beberapa stasiun induk MRT dan KRL, umumnya area perkantoran tetap butuh ojol lagi untuk menuju ke sana. Kondisi itu tentu bikin rute perjalanan jadi lebih panjang. Ambil contoh ketika seseorang kerja di TB Simatupang atau area Blok M, kalau kost-nya jauh dikit aja, bisa habis waktu 1,5-2 jam di jalan untuk pulang-pergi.
Itulah beberapa hal yang menurut saya membuat Jakarta Selatan jadi nggak ideal untuk para perantau yang mencari tempat kerja. Mungkin Jaksel itu ideal bagi mereka yang sudah siap secara mental, finansial, value, dan jaringan. Tapi buat perantau yang baru mulai dari bawah, bahkan dari dasar jurang, yang minim koneksi dan pengalaman, Jakarta Selatan adalah kubangan masalah yang penuh tekanan mental dan finansial.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Melihat Sisi Gelap Jakarta Selatan yang Terkenal Berkelas dan Elite




















