Peran Bupati Blora yang (Kelewat) Minim dalam Menangani Kekerasan Anak dan Perempuan Jadi Catatan Kelam

Peran Bupati Blora yang (Kelewat) Minim dalam Menangani Kekerasan Anak dan Perempuan Jadi Catatan Kelam

Peran Bupati Blora yang (Kelewat) Minim dalam Menangani Kekerasan Anak dan Perempuan Jadi Catatan Kelam

Proses penanganan terhadap kekerasan anak dan perempuan jadi salah satu dari banyak hal di Kabupaten Blora yang patut diberikan perhatian lebih. Ini semua lantaran korban kekerasan yang menyasar anak-anak dan kaum perempuan terus mengalami peningkatan. Lumrahnya, dan harusnya, hukum dan kontrol atas isu ini harusnya ditingkatkan.

Sayangnya, Bupati Blora memperlihatkan kepada publik bahwa persoalan ini tidak dipandang penting. Bahkan ada kesan menganggap persoalan kekerasan anak dan perempuan hanya persoalan remeh temeh.  Keengganan Bupati tercermin dari sikapnya dalam menanggapi kasus-kasus kekerasan anak yang sudah terjadi.

Minimnya peran Bupati jadi penghalang bagi terwujudnya Blora Mustika yang tertib dan aman. Asal tahu saja, Blora terkenal dengan slogan MUSTIKA—yang merupakan akronim dari “Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, dan Aman”.

Lengah sedikit, kasus kekerasan anak dan perempuan meningkat

Blora menempati urutan pertama sekeresidenan Pati dalam kasus kekerasan terhadap anak. Pada data yang disajikan BPS dalam kurun waktu 2020-2023 Kabupaten Blora menduduki peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap anak sebesar 73 kasus, peringkat kedua ditempati Kabupaten Pati sebesar 66 kasus, peringkat ketiga ditempati Kabupaten Kudus sebesar 55 kasus, peringkat keempat ditempati Kabupaten Rembang dengan 49 kasus, dan yang terakhir Kabupaten Jepara dengan 25 kasus.

Tentu peringkat pertama yang disandang Kabupaten Blora pada kasus kekerasan anak bukan sebuah prestasi. Hal ini menunjukan adanya kebobrokan pada sistem kebijakan yang dipilih oleh pemerintah kabupaten atau Bupati. Belum lagi angka kekerasan yang tak terekam karena tekanan-tekanan yang ada. Sehingga korban tidak memiliki daya untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialami.

Alternatif kebijakan dalam upaya memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat khususnya bagi anak-anak dan perempuan jadi tanggungjawab yang kudu dirampungkan. Meskipun terkesan lamban dalam penanganan hingga tidak ada perubahan signifikan.

Bupati tidak progresif dalam memberikan landasan hukum pencegahan kekerasan anak dan perempuan

Regulasi hukum Perda Kab. Blora Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan terbukti tidak berjalan efektif. Sebenarnya hal ini sudah diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Fatkhiah beserta koleganya dalam sebuah jurnal terbitan Universitas Muhammadiyah Magelang. Penelitian yang dilakukan pada 2022 tersebut menunjukan kasus kekerasan anak dan perempuan di Blora masih tinggi meskipun sudah ada regulasi perda.

Bahkan nasihat hasil penelitian yang ditujukan kepada pemangku kekuasaan daerah atau Bupati, demi terwujudnya penurunan tindak kekerasan anak dan perempuan di Blora seakan tak digubris. Jika Bupati sangat sibuk dan tak sempat membacanya, saya rangkum secara singkat kendala yang berhasil dirumuskan. Pertama, sarana dan fasilitas masih minim. Bahkan hasil penelitian menemukan bahwa petugas Dinsos P3A Kabupaten Blora harus menggunakan kendaraan pribadi saat memberikan edukasi dan penanganan tindak kekerasan anak dan perempuan. Kedua, Sumber Daya Manusia terbatas.

Bayangkan saja di Blora ada 16 kecamatan dan 271 desa, namun petugas PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) hanya berjumlah 2 orang. Bagiamana mungkin penanganan akan berjalan maksimal jika minim sumber daya manusia?

Kemudian faktor penghambat yang terakhir adalah lemahnya pengawasan. Tidak adanya pengawasan ke desa-desa terlebih program sosialisasi yang dilaksanakan hanya mengundang perwakilan dari setiap desa. Tentu implementasi Perda Kab. Blora Nomor 3 Tahun 2017 sangat bersifat formalitas dan tidak menyentuh akar permasalahan.

Blora belum aman dari tindak kekerasan anak dan perempuan

Dari berbagai runtutan data di atas, angka kekerasan anak dan perempuan di Blora menunjukan situasi yang sangat miris. Penanganan dari Bupati seperti hanya bualan yang bias tanpa adanya bukti nyata. Isu dalam upaya pengentasan angka kekerasan anak dan perempuan tidak menggugah kebijaksanaan Bupati selaku pemimpin. Bahkan Blora belum jadi daerah aman bagi anak dan perempuan dari bahaya.

Tanpa maksud mengkerdilkan usaha Bupati dalam penanganan kasus kekerasan anak dan perempuan. Tapi data di lapangan masih memberikan fakta jika kasus ini masih kerap terjadi dan jumlahnya meningkat. Saya memiliki asumsi bahwa jika saja ada kemauan untuk berinovasi dari Bupati Blora tentu reliasasi pencegahan kekerasan anak dan perempuan bisa berjalan optimal. Sehingga masyarakat juga dapat mempercayai bahwa bupati yang mereka amanahi memiliki kompeten yang mumpuni.

Tak dapat disangkal bahwa tanggung jawab seorang pemimpin adalah mampu memberikan kinerja optimal agar sebuah persoalan yang timbul di masyarakat dapat tuntas terselesaikan. Apalagi seorang pemimpin dibekali kewenangan dan kuasa untuk dapat memutuskan sebuah kebijakan. Dengan keunggulan tersebut sudah semestinya pemimpin dapat diandalkan oleh masyarakat. Bukan malah menyerah dan meminta maaf jika tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas.

Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 7 Dosa Bupati Blora yang Sulit Dimaafkan Warga

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version