Penjelasan Ilmiah Perkara Sudah Minum Obat, tapi Masih Sakit

sudah minum obat tapi masih sakit mojok

sudah minum obat tapi masih sakit mojok

Masa pandemi memaksa sebagian besar orang untuk stay at home. Oleh karena sering berada di rumah, belakangan ini saya jadi sasaran curhat dan pertanyaan seputar keluhan sakit dan obat dari tetangga sekitar rumah, terutama perkara sudah minum obat, tapi masih sakit. Kalau gini terus bisa nih buka jasa konsultasi, lumayan dapat cuan. Hehehe.

Meski saya tidak bekerja di apotek, tapi status sebagai lulusan pendidikan apoteker membuat saya sering ditanya oleh tetangga seputar penyakit dan obat. Yang terbaru kemarin ada tetangga tiba-tiba curhat seperti ini:

“Mas, aku sudah minum obat parasetamol merek X, tapi sakit kepalaku kok muncul lagi dan muncul lagi. Nggak ada kah obat yang lebih canggih dari ini?”

Yang lebih canggih? Hm, mungkin maksudnya yang lebih manjur kali ya. Spontan saya jawab, “Yang lebih canggih banyak, yang lebih mahal juga banyak, tapi belum tentu cocok juga dengan sampeyan. Yang sampeyan butuhkan itu bukan obat yang canggih, tapi yang cocok.” Tentu saya jawab seperti ini dengan nada bercanda.

Saya tahu beliau tidak puas dengan jawaban tersebut. Oleh karenanya saya perlu sedikit menjelaskan tentang cara kerja obat-obatan, dan kenapa beda merek bisa beda kualitas meski kandungannya sama. Ini bisa menjawab penasaran Anda kenapa sudah minum obat, tapi masih sakit. Informasi ini mungkin berguna juga bagi pembaca Mojok yang mengalami hal serupa.

Jadi begini, ibarat Anda beli mi ayam, antara pedagang satu dengan yang lainnya pasti beda rasanya, padahal judulnya sama-sama “mi ayam”, sudah pasti komponen utamanya ada mi dan ayam. Tapi, tiap pedagang punya resep yang berbeda, punya ciri khas penampilan yang berbeda, embel-embel nama yang berbeda, dan berbagai pembeda lainnya untuk menarik perhatian.

Perbedaan itu sah-sah saja, asalkan produknya tetap layak disebut sebagai mii ayam.

Dalam produk obat juga begitu, khususnya buat produk obat yang bebas diperjualbelikan tanpa resep dari dokter, yang boleh ada di luar apotek, yang bisa dengan mudah ditemui di minimarket atau warung-warung terdekat, yang bahasa farmasinya disebut over the counter (OTC). Kalau untuk obat yang tidak bebas diperjualbelikan, kita bahas lain kali saja karena akan beda cerita.

Ada banyak produk obat OTC yang mengandung bahan aktif sama, tapi mereknya macam-macam. Saya ambil contoh parasetamol, saya yakin Anda bisa menyebut dengan mudah beberapa merek obat yang mengandung parasetamol.

Ada produk yang mengandung parasetamol 500 mg, ada yang 250 mg tapi ditambah bahan aktif lain. Beda merek dagang beda komposisi, ada juga yang komposisinya sama persis tapi beda tingkat kemanjurannya. Memilih obat yang cocok sudah kayak milih pasangan hidup, jodoh-jodohan.

Ada orang yang berjodoh dengan parasetamol merek “A”, tapi tidak berjodoh dengan merek “B”, padahal komposisi bahan aktifnya sama, dosisnya pun sama.

Tentu selain karena faktor sugesti dari diri sendiri dan kepercayaan yang sudah terbangun dengan salah satu merek. Ada faktor lain yang bisa dijelaskan secara logika mengapa obat dengan komposisi bahan aktif sama bisa punya potensi khasiat yang berbeda.

Yang pertama adalah pengaruh kualitas bahan baku, semakin baik kualitas bahan baku akan semakin baik pula khasiatnya. Bicara tentang kualitas bahan tentu tak bisa lepas dari struktur kimia, polimorfisme, kemurnian, stabilitas, dll. Apakah tidak ada regulasi yang mengatur standar kualitas bahan baku? Jawabannya ada. Tapi, itu kan spesifikasi umum, ada produk yang cukup puas dengan hanya lolos standar, ada juga yang punya level jauh lebih tinggi daripada nilai standar. Tapi, kita skip saja penjelasan istilah-istilah ini, terlalu panjang nanti.

Pengaruh berikutnya adalah dari bahan tambahan yang dicampur dan proses pembuatannya. Dalam sebuah tablet yang mengandung parasetamol 500 mg, sebenarnya ada bahan tambahan lain yang dicampur di dalamnya. Bahan tambahan tersebut bukan bahan aktif obat, tapi membantu dalam hal estetika dan penghantaran obat hingga dapat diserap oleh saluran cerna dengan baik.

Bahan tambahan ini mempengaruhi stabilitas obat, kemudahan hancur dalam saluran cerna, menutupi rasa yang tidak enak, dan bermacam tujuan baik lainnya.

Formula bahan tambahan dan cara pembuatan inilah yang bersifat rahasia. Tidak akan pernah sama antara pabrik A dengan yang lainnya. Ini juga yang menyebabkan tingkat kemanjuran yang berbeda dari obat yang berlainan merek. Pernah nyobain makanan dengan resep sama tapi yang masak beda orang? Rasanya akan beda. Seperti itulah kira-kira.

Itu baru penjelasan dari sisi merek obat, dari sisi cara kerja obat lain lagi ceritanya. Dalam kasus tetangga saya tadi, yang sudah minum parasetamol merek X, tapi sakit kepalanya muncul lagi muncul lagi. Sebaiknya perlu tahu juga tentang hal di bawah ini.

Secara farmakologis, dikenal ada dua macam cara kerja obat, yakni yang bersifat kausatif dan yang bekerja secara simptomatik.

Obat kausatif adalah jenis obat yang dipercaya mampu menuntaskan penyakit dari sumber penyebabnya. Misalnya ketika kulit seseorang belang karena panu, cara mengobatinya bukan dengan membuat gosong bagian kulit yang belang itu sehingga warnanya sama, tapi dengan mengatasi penyebabnya yaitu dengan obat anti-jamur.

Yang termasuk jenis obat kausatif umumnya adalah mereka yang punya sifat melawan mikroorganisme patogen (penyebab penyakit), termasuk antibiotik, antijamur, antivirus, dan antiparasit.

Sedangkan obat simptomatik dimaksudkan sebagai obat pemulih atas gejala-gejala penyakit. Yang termasuk jenis obat ini adalah obat penurun panas, pereda nyeri, penghilang rasa gatal, dan sebagainya. Jenis obat ini hanya mengatasi gejala, bukan penyebab sakitnya.

Memangnya apa bedanya gejala dengan penyakit?

Ya beda dong, gejala itu tanda atau respon tubuh yang ditimbulkan karena terjadi suatu perubahan yang lain dari biasanya. Gejala juga nggak mesti berkaitan dengan penyakit. Misalnya pada orang hamil, gejala kehamilan yang biasa muncul yaitu rasa mual dan ingin muntah, terutama di masa awal kehamilan.

Contoh lainnya ada pada kasus sakit kepala. Kita semua tahu kalau penyebab sakit kepala itu bisa bermacam-macam. Sakit kepala bisa karena kepala terbentur, capek mikirin hutang, atau karena sebab medis lain dalam diri kita. Nah, sakit kepala bisa jadi merupakan gejala, yang muncul karena ada penyebabnya.

Apap un sakit kepalanya, biasanya obatnya parasetamol. Bukan ngiklan yaaa!

Parasetamol memang bisa meredakan gejala sakit kepala, tapi jika penyebab sakit kepalanya tidak teratasi, ya saat efek obatnya habis bisa muncul lagi.

Lah, kalau nggak bisa mengatasi penyebab sakit, lalu kenapa harus ada obat simptomatik?

Gini lho, Ngab, sebenarnya tubuh kita sudah didesain untuk dapat memperbaiki diri sendiri apabila ada kerusakan yang ringan. Misalnya saat tubuhmu terinfeksi bakteri, sistem pertahanan tubuh akan berusaha melawannya. Terkadang dari mekanisme perlawanan tersebut muncul respon demam, yang sebenarnya itu respon alami yang otomatis hilang ketika infeksinya berhasil ditumpas. Tapi, kan tidak semua orang tahan dengan keadaan demam, oleh karena itu dibantu dengan obat yang meredakan gejala demam.

Biasanya obat kausatif dan simptomatik akan dikombinasikan supaya lebih cepat mengatasi penyakit. Meskipun ada kalanya mereka diberikan secara terpisah. Jadi kalau usai minum obat simptomatik ternyata lain waktu gejalanya muncul lagi, artinya ada penyebab yang harus diselesaikan terlebih dahulu. 

Nah, jadi kira-kira itu penjelasan kenapa sudah minum obat, tapi masih sakit. Jangan ngeluh lagi ya, pahami tubuhmu sendiri. Kalau sudah paham, sana ambil sepedanya.

BACA JUGA Vaksin Corona Tetap Dibutuhkan meskipun Kelak Obatnya Sudah Ada dan tulisan Abdulloh Suyuti lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version