Pemandangan pasangan orang tua muda di supermarket—si suami menggendong anaknya di depan dan istri mendorong troli penuh dengan belanjaan dan salah satunya popok pabrik kemasan besar—mungkin terlihat keren sekali. Jadi membayangkan Rei Mbayang dan Dinda Hauw, kan? Mereka kayak romantis banget gitu. Sayangnya, karena sekarang itu adalah hal biasa, jadinya nggak istimewa lagi.
Ngomong-ngomong soal popok, di awal bulan, supermarket biasanya punya strategi marketing dengan menaruh promo popok pabrik sekali pakai (pospak) dari beragam merek di dekat kasir. Akan tetapi, saya melihatnya sebagai budaya kapitalis yang bikin orang ngawur lantaran nggak memikirkan sampah dan efek pemakaiannya. Nyatanya, banyak oknum tak bertanggung jawab atas pospak bekas yang telah dipakai anaknya.
Popok kain, riwayatmu kini
Pada tahun 2000-an awal, penggunaan pospak mungkin masih terhitung langka. Harganya yang cukup menguras kantong dan stigma dari para kakek nenek membuat orang tua muda zaman itu mengurungkan niat memakaikan pospak pada anaknya. Yap, ada kesan malas yang dicapkan pada si ibu kalau anaknya mengenakan pospak. Selain malas, ucapan seperti, “Apa nggak kasihan sama anak?” juga sering dilontarkan. Kalau terpaksa memakai pospak, membuangnya pun harus dikubur, nggak boleh dibakar atau dibuang sembarangan karena pamali terhadap kesehatan si anak bayi. Makanya alih-alih pospak, popok kain sangat tenar pada masa itu.
Dulu, anak yang baru lahir biasanya akan sering sekali berganti popok kain. Makanya pemandangan jemuran popok kain adalah bukti nyata kalau ada penghuni baru di sebuah rumah pada masa itu. Saya dulu bahkan menghitung jumlah popok kain yang dipakai anak dalam satu hari untuk menghitung berapa kali ia pipis karena itu jadi indikator kecukupan ASI. Melihat popok kain di jemuran bisa sangat membahagiakan kala itu. Meski kerepotan ketika musim hujan tiba karena banyak yang nggak kering dan harus kejar tayang agar jumlah popok kain cukup, tetap saja itu hal yang menyenangkan.
Akan tetapi, orang tua yang berada di kota atau keluarga penganut no ribet-ribet club, mungkin nggak lagi menggunakan popok kain. Pospak ukuran new born adalah pilihan yang jauh lebih praktis. Meski harganya nggak bisa dibilang murah karena menggunakan bahan yang aman untuk sensitivitas pantat bayi baru lahir, tetap saja pospak ini diburu para orang tua baru. Bahkan, saat ini menjadikan pospak new born sebagai kado kelahiran bayi juga lazim ditemui, lho.
Setelah agak besar, si anak juga biasanya tetap dipakaikan pospak. Kadang malah pakai seharian full 24 jam, lho. Jangan bayangkan kita seharian pakai pospak, dong, kan anak kecil nggak bisa mengeluh. Giliran ada bentol-bentol di sekitar pantat karena alergi, barulah orang tua sadar kalau kulit anaknya agak sensitif memakai pospak. Bukannya mengurangi penggunaannya, eh, malah cari krim untuk mengurangi ruam popok. Kalau sudah sembuh, ya terus saja dipakaikan. Selain ruam popok, biasanya ada keluhan ISK (infeksi saluran kemih) akibat pemakaian pospak ini.
Ah, bukankah yang penting bisa beli pospak buat si anak? Anak nyaman, orang tua tenang. Harga pospak tentu saja tergantung merek dan kualitasnya. Kadang, ada juga yang jenisnya premium, lho. Ada merek pospak impor terkenal yang kualitasnya nggak perlu diragukan lagi dan memasang harga cukup tinggi di kalangan popok. Ada juga produk lokal yang harganya lebih murah. Balik lagi, semua tergantung merek dan kualitasnya.
Yang jelas, semahal apa pun, orang tua sekarang lebih nyaman dan tenang kalau si anak pakai pospak. Pokoknya banyak keuntungannya lah. Kegiatan si anak di PAUD atau daycare akan lebih nyaman dan nggak repot bagi guru kalau si anak pakai pospak. Kakek nenek sekarang juga sudah mulai ogah kalau kena ompol cucu. Rewang atau babysitter pun jadi nggak perlu gonta-ganti baju saat kena ompol anak yang diasuhnya. Jadi, wajar saja jika anak bayi zaman sekarang lebih sering dipakaikan pospak. Nggak ada lagi yang istimewa. Memakai pospak bukan lagi hal yang “wah” sekarang ini.
Pospak vs clodi
Meski nggak sepraktis pospak, sekarang sudah ada juga clodi (cloth diaper alias popok “kain”). Clodi punya kelebihan seperti pospak dan bisa dicuci ulang. Kalau dibandingkan dengan popok kain versi jadul, jelas clodi lebih praktis. Namun, jika dibandingkan dengan pospak, daya serapnya masih lebih unggul pospak. Clodi juga punya masa pakai selama kurang lebih 8 tahun. Harganya pun cukup mahal, sekitar 80 ribuan ke atas, tergantung merek dan kualitas.
Akan tetapi, jika dihitung-hitung, memakai clodi jatuhnya lebih murah ketimbang pospak. Untuk starter kit, setidaknya orang tua harus punya 8-10 buah clodi yang mana butuh sekitar 640-800 ribu rupiah. Itu pun bisa dipakai berulang kali. Sementara uang 800 ribu jika dibelikan pospak bisa dapat sekitar 350-600 buah pospak tergantung ukuran dan merek. Kalau sehari butuh 5 pospak, maka untuk menghabiskan 600 pospak dibutuhkan waktu selama 120 hari atau 4 bulan. Jadi, butuh uang sekitar 800 ribu untuk biaya pospak selama 4 bulan, atau 200 ribu per bulan.
Selain lebih ekonomis, clodi juga ramah lingkungan, sih. Coba bayangkan sampah yang ditimbulkan dari ratusan pospak bekas tiap bulan. Saya jadi speechless membayangkan sampah pospak yang menggunung. Walau lebih ramah lingkungan, kekurangan dari clodi adalah sulit kering (apalagi kalau sedang musim hujan) dan butuh detergen khusus untuk perawatan agar lebih awet dan nyaman di kulit bayi. Meski kadang bocor dan nggak sepraktis pospak, para pencinta lingkungan bolehlah mencoba clodi.
Sampah pospak mau diapakan?
Ngomongin soal sampah pospak, saya beneran kesal, lho. Bukan apa-apa, saya sering melihat buntelan kresek berisikan pospak bekas ini di pinggir sawah atau terapung di kali atau sungai. Pernah juga saya melihat pospak bekas yang masih ada kotorannya tercecer di jalanan yang saya lewati. Beneran bikin dongkol dan hasrat misuh mencuat. Pengin banget saya buang pospak bekas eek itu ke muka orang yang membuangnya. Fyi, di Jepang yang teknologi sampahnya sudah maju begitu, untuk membuang pospak bekas harus dihilangkan dulu, lho, kotorannya baru pospak bekasnya masuk ke sampah jenis organik. Lha, di Indonesia, buang pospak saja masih sembarangan.
Saya nggak menyalahkan pospak, atau bahkan makhluk tak berdosa yang mengeluarkan eek di pospak itu, sih. Namun, orang tua yang memakaikan pospak seharusnya belajar lebih bertanggung jawab terhadap sampah yang ia timbulkan. Kalau orang tuanya saja nggak mau menyentuh atau mengurusnya, harusnya mikirin orang lain yang juga bakal risih dan jijik. Apalagi kotoran itu bisa berbelatung, lho. Harap dicatat ini.
Coba bayangkan orang tua yang tinggalnya di desa dan masih pamali membakar pospak bekas. Pospak bekas lalu dikubur di kebun dan ketika suatu saat kebunnya akan dibangun rumah, pospak yang sudah terkubur puluhan tahun pun tetap akan ada dan nggak bakal terurai sedikitpun.
Jadi, buat kawula muda yang sedang dimabuk asmara dan ingin segera menikah lalu punya momongan, ada baiknya mikirin popok dari sekarang, deh. Mau pakai popok apa, buang popoknya atau daur ulangnya bagaimana, dll. Jangan mau enaknya saja, ya. Eh.