Sore itu, saat saya sedang perjalanan pulang kampung, peristiwa tidak mengenakkan itu terjadi. Jalannya cukup lebar dan lengang, juga tidak banyak kendaraan lalu lalang. Saya sedang dalam mode menjadi pengendara yang baik: tidak ngebut, berada di lajur yang benar, tidak pula menyalip sembarangan. Tiba-tiba motor di depan saya belok kanan begitu saja. Tanpa aba-aba, tanpa tanda, tanpa disangka-sangka. Setelah beloknya sudah mantap dan roda depan motor sudah masuk ke lajur baru, barulah lampu sein itu berkedip menyala.
Shock. Tentu saja. Sudah ada niat untuk menyalip motor itu karena kecepatannya yang lebih santai daripada saya. Untung saya belum menyalip, kalau niat itu terjadi maka tulisan ini bukan lagi esai santai tapi laporan insiden. Jantung berdebar, pikiran melayang, dalam hati ingin mengumpat, tapi keduluan mengucap istigfar. Masih beruntung saya terselamatkan.
Pengendaranya santai bahkan terlihat sangat tenang, tanpa menggunakan helm. Jalannya yang pelan tiba-tiba menuju arah kanan dengan mendadak. Sekilas terlihat wajahnya tidak merasa panik, takut, ataupun merasa bersalah. Oh, hanya saya kah yang kaget? Dan lampu sein itu tampaknya bukan dinyalakan sebagai tanda, tapi hanya mengonfirmasi “iya saya sedang belok”. Telaaattt, teriak saya dalam hati.
Haruskah menebak arah pengendara jadi keterampilan tambahan?
Setelah kejadian itu, saya berpikir ulang tentang kemampuan dalam mengendarai motor. Tampaknya, keterampilan berkendara tidak hanya soal keseimbangan dan kematangan dalam mengoperasikan gas dan rem, serta mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Saya juga harus peka dalam menebak arah pengendara motor di depan saya. Ke manakah yang ia tuju? Minggir, tetap lurus, atau ternyata belok kanan?
Sepertinya, saya harus menebak dari gelagatnya, setir miring atau lurus, atau kecepatannya yang terus melambat tanpa maksud yang jelas. Semua itu harus saya terjemahkan sendiri.
Lampu sein, kini tampaknya lebih terasa sebagai fasilitas tambahan yang penggunaannya tergantung perasaan atau kesadaran pengendaranya. Kadang dinyalakan, kadang tidak. Di tangan sebagian orang, sein bukan lagi sebagai isyarat untuk keselamatan bersama. Sein hanya dianggap sebagai aksesoris yang opsional, dipakai kalau ingat dan diabaikan kalau lupa. Kalaupun sudah menyala, kadang juga lupa dimatikan. Yah meskipun itu persoalan yang berbeda.
Namun, jalan raya tetap jadi arena yang penuh tebakan. Dan seperti semua permainan tebak-tebakan, selalu ada peluang untuk keliru. Bedanya, kekeliruan itu tidak hanya berhenti pada rasa kesal lalu mengumpat lirih di balik kaca helm. Salah tebak sedikit, risikonya bukan sekedar buruk sangka, tapi buruk nasibnya.
Mereka beli motor tapi beli kesadaran juga nggak sih?
Sekian detik setelah kejadian, saya terus bertanya-tanya─bukan memaki tapi dengan nada yang lembut─orang-orang itu sebenarnya tahu nggak sih fungsi lampu sein? Apakah menyalakan lampu sein hanya menjadi formalitas pengetahuan dasar saat membuat SIM? Apakah mereka pikir dengan langsung belok arah membuat pengendara di belakang sudah otomatis paham?
Mereka beli motor dengan fitur yang canggih dan harga yang tidak murah. Ada electric starter untuk menyalakan motor tanpa perlu engkol pakai kaki; panel digital untuk melihat tingkat kecepatan berkendara, jarak tempuh, level bahan bakar, bahkan indikator sein dan lampu. Kini fitur-fitur tersebut membuat motor seakan-akan terlihat lebih pintar dari pengendaranya. Tapi entah mengapa fitur paling sederhana malah justru terlihat sepele dan terlupakan.
Fitur sepele itu jika diabaikan justru sangat membahayakan. Seakan-akan jika lampu sein tidak dinyalakan bukan suatu hal. Seakan-akan yang ada di pikiran mereka adalah “tak apa, toh yang kaget juga yang belakang”.
Di titik ini saya curiga: kita serius membeli motornya tapi ogah membeli kesadarannya. Kita serius soal cicilan, serius soal bensin, serius soal helm agar tidak ditilang, tetapi kurang serius pada satu hal yang terlihat sepele yang dampaknya bisa cukup besar. Ya seperti memberi tanda sebelum mengubah arah.
Sudah berapa banyak kasus kecelakaan yang disebabkan karena kelalaian ini? Kita membeli mesin, membeli kecepatan, membeli kemudahan mobilitas. Tapi kesadaran sering kali hanya menjadi bonus yang tidak termasuk dalam paket pembelian.
Cuma nyalain lampu sein, apa susahnya?
Ironisnya, kesadaran itu harganya paling murah, bahkan gratis. Cukup satu gerakan ibu jari sebelum belok bisa menyelamatkan nyawa dan masa depan. Tidak perlu teknologi tinggi, tidak perlu pembaharuan sistem, tidak perlu jaringan internet pula. Tapi justru hal paling sederhana itulah yang paling sering dilupakan. Barangkali karena kesadaran tidak bisa dicicil, tidak bisa dipamerkan, dan tidak bisa diunggah ke media sosial sebagai suatu pencapaian.
Dan di jalan raya, akibat dari lupa dan mengabaikan tidak hanya berimbas kepada si pelaku. Ia sering dibagi rata dengan orang-orang di sekelilingnya. Kepanikan, rem mendadak, umpatan di balik helm, dan hal yang paling tidak kita inginkan: kecelakaan. Semua bisa bermula dari satu tanda sederhana yang tidak dinyalakan.
Di tengah kegelisahan dan sindiran itu, saya akhirnya harus bercermin dan menatap diri sendiri. Mengingat dan mempertanyakan apakah jangan-jangan di satu dua persimpangan yang sudah terlupakan, saya pernah menjadi bagian dari barisan pengendara yang lupa memberi tanda. Rasa-rasanya saya sudah berupaya menyadari etika berkendara: menyalakan sein sebelum belok, menjaga jarak, mengurangi kecepatan saat ragu, dan memutuskan untuk tidak menjadikan siapapun sebagai korban kelalaian.
Tetapi refleksi selalu punya cara halus untuk meragukan keyakinan kita sendiri. Barangkali kehati-hatian memang bukan sesuatu yang bisa diklaim sekali lalu selesai, melainkan sesuatu yang harus diperbarui di setiap perjalanan, di setiap belokan, dan di setiap keputusan kecil yang kita ambil di jalan.
Penulis: Leny Nur Ekasari
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















