Begini-begini, saya pernah ngekos di kos LV. Bukan, bukan untuk begitu-begitu, tapi, keputusan untuk ngekos di Kos LV terasa seperti pilihan yang paling rasional bagi saya saat itu. Letaknya strategis, dekat kampus, dan bisa jalan kaki. Selain itu, kos LV juga menawarkan harga yang sangat murah. Tentunya itu semua menjadi daya tarik utama dari jenis kos ini.
“Kos itu cukup jadi tempat untuk tidur dan belajar”. Ekspektasi itu cuma angan-angan belaka. Setahun di sana telah menjadi pelajaran hidup yang cukup kompleks. Ternyata, memilih tempat tinggal bukan cuma soal harga. Namun, juga tentang lingkungan dan kualitas hidup.
Tempat kumuh yang menyimpan ribuan kisah (jorok)
Awal memasuki kos, saya langsung disambut realitas pahit. Dinding-dindingnya kusam, catnya mengelupas. Kamar mandi? lembab dan bau. Dapur umum? Jangan ditanya! Mi instan, remah-remah nasi, sisa minyak gorengan, dan panci yang tidak dicuci seakan-akan menyambut saya dengan girang.
Aroma apek sering jadi parfum wajib di lorong. Semerbak bau busuk dari sisa nasi yang dibuang di wastafel tercium sampai pintu masuk. Saya sempat mikir, ini kos atau kandang babi? Padahal jika dibersihkan, kos ini lumayan juga. Saya pun penasaran, apakah semua kos LV seperti ini? Atau karena kos saya harganya 550 ribu, saya jadi dapat kos spek kandang babi?
Hidup di lingkungan yang seperti ini, lama-lama bisa bikin stres. Bisa bikin kita jadi cepat apatis. Bahkan bisa memicu berbagai penyakit. Sangat berpengaruh pada kualitas hidup! Tapi, mau bagaimana lagi. Nasi sudah jadi bubur, kos sudah ditempati. Yang terpenting, teritori saya, kamar tidak sekumuh itu.
Sebuah simfoni hasrat yang tak terduga
Di tengah segala keterbatasan fasilitas. Ada satu hal yang paling unik dan tak terduga: suara-suara aneh di malam hari. Suara itu bukan dari makhluk halus. Melainkan dari kamar sebelah. Setelah beberapa kali terdengar, saya akhirnya tahu kalau itu suara-suara aktivitas intim dari penghuni kos lain.
Awalnya, saya merasa tidak nyaman dan canggung. Bagaimana tidak? Privasi adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang. Apalagi di tempat tinggal. Ketika suara-suara seperti itu terdengar jelas, rasanya seperti privasi kita ikut terganggu. Saya jadi serba salah. Ingin menegur tapi ini kos LV. Bukan ingin menormalisasi, tapi bukannya kos LV memang tempat seperti itu?
Lama-kelamaan, saya mulai belajar untuk “mengabaikannya”. Diri saya seolah terbiasa dengan suara-suara itu. Tapi, meski sudah terbiasa, tetap saja kadang mengganggu tidur dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Ini menunjukkan seberapa tipisnya sekat antar kamar kos. Sebuah aspek penting yang sering kali terabaikan dalam pembangunan kos-kosan, padahal sangat berpengaruh pada kenyamanan penghuni.
Baca halaman selanjutnya
Pelajaran berharga dari kos LV
Saya jadi tahu, memilih tempat tinggal itu nggak bisa cuma lihat harga atau lokasi. Jika tidak ingin privasimu terganggu, ya jangan ngekos di kos LV. Kos jenis LV dikenal sebagai tempat pelampiasan hasrat. Saya tau itu. Namun, saya tidak pernah menduga, fasilitas dan kebersihan kos akan seburuk ini.
Lingkungan tempat kita tinggal itu sangat berpengaruh sama kesehatan mental dan fisik kita. Jadi, cari tempat tinggal yang nyaman dan layak untuk di tinggali. Suka atau tidak dengan kos LV itu urusan masing-masing. Namun, semoga tulisan ini bisa menjadi pertimbangan untuk kalian yang ingin ngekos di jenis kos ini.
Sampai sekarang, saya masih di kos ini. Mungkin karena sudah terlalu betah dengan segala keanehannya. Atau mungkin karena belum nemu kosan lain yang sepadan dengan dompet. Tapi satu hal pasti, pengalaman ini akan selalu jadi cerita unik yang bisa saya bagikan.
Penulis: M. Rafikhansa Dzaky Saputra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Saya sebagai “Anak Baik-baik” Tinggal di Kos LV Jogja yang Penuh Drama
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
