Pengalaman Saya Naik Bus Gunung Harta: Auto Kapok Gara-gara AC Nggak Bisa Mati dan Tubuh Mengigil Sepanjang Perjalanan Situbondo-Cirebon

Habis Rosalia Indah, Terbitlah Gunung Harta: Bus dengan Fasilitas Elite, tapi Atasi Masalah Sulit

Habis Rosalia Indah, Terbitlah Gunung Harta: Bus dengan Fasilitas Elite, tapi Atasi Masalah Sulit (unsplash.com)

Bus Gunung Harta, si merah dari Bali dengan fasilitas elit, namun bikin penumpang yang anti AC seperti saya harus auto waspada. Bisa-bisa jadi perjalanan terburuk yang bikin kapok dan trauma!

Sebenarnya, saya bukan tipe orang yang mabuk perjalanan. Ketika orang-orang sibuk mempersiapkan Antimo, Freshcare, Salonpas, dan sebagainya, saya dengan santai selalu bilang, “Aman saya mah. Nggak usah.” Selain karena mungkin sudah terbiasa dengan perjalanan jauh, saya juga merasa sayang jika sepanjang perjalanan hanya dihabiskan untuk tidur—efek samping Antimo. Sayang, pengalaman mudik tahun lalu menjungkirbalikkan semua idealisme saya.

Sebagai seorang santri yang mondok di tempat jauh, saya biasanya pulang bersama rombongan. Pihak pesantren sendiri yang mengurusi tetek-bengeknya. Kita tinggal terima jadi saja. Kebetulan, mudik kala itu menggunakan jasa bus Gunung Harta.

Awalnya saya excited karena busnya leluasa. Ada selimut tebal dan bantal di setiap kursinya. Jendelanya juga luas, membuat pemandangan di luar terlihat jelas. Namun, satu hal yang tak saya duga: AC dalam bus Gunung Harta disetel otomatis, tidak bisa dimatikan dari kursi masing-masing penumpang. Kalau mesin bus hidup, AC-nya juga pasti hidup. Begitu sebaliknya.

Tentu saja itu bukan masalah besar seandainya saya tidak anti dengan fasilitas pendingin yang satu ini. Masalahnya, dari dulu saya memang tidak suka menghidupkan AC ketika di mobil. Sekuat apa pun saya di perjalanan, kalau AC dinyalakan plus kondisi badan kurang fit, auto mabuk. Seperti yang saya alami saat perjalanan liburan kelas 6 SD bersama teman-teman atau ketika study tour kelas 2 SMA. Sejak saat itu, sebisa mungkin saya tidak berurusan dengan AC. Sebisa mungkin, AC akan saya matikan.

Sayangnya, Gunung Harta tidak mengizinkan saya melakukannya. Alhasil, perjalanan belasan jam, dari Situbondo ke Cirebon—tempat pemberhentian saya—menjadi perjalanan paling menyiksa yang saya ingat.

Tidak membawa baju hangat, dan di Gunung Harta, koper nggak boleh dibongkar

Gunung Harta memang menyediakan kursi besar yang nyaman, lengkap dengan bantal dan selimut tebal untuk para penumpangnya. Namanya juga bus elit. Tapi, semua fasilitas itu tetap saja tidak bisa menyelamatkan saya dari hawa dingin yang menusuk.

Sialnya, saat itu saya tidak membawa jaket ataupun sekadar jas di ransel karena sengaja memasukkannya dalam koper. Selain biar nggak ribet, saya biasanya memang tidak terlalu membutuhkan baju hangat itu. Beruntung ada salah satu teman yang mau meminjamkan jaketnya.

Memang, di tempat pemberhentian, saya sempat meminta izin kepada petugas bus untuk mengambil baju hangat di koper. Tapi ia menolak, dengan alasan sulit mau bongkar-bongkar bagasi.

Jadilah selama perjalanan itu saya meringkuk di balik selimut, tidak membiarkan se-inci pun kulit saya terpapar udara luar. Sedikit saja tangan keluar dari selimut, perbedaan suhunya langsung terasa. Dingin buangettttt.

Hawa dingin bikin nggak nafsu makan

Karena saat itu bus berangkat pukul 13.30, saya memutuskan untuk melanjutkan puasa. Sayang kalau dibatalin, tinggal tiga jam lagi. Siapa sangka di bus elit itu saya begitu kedinginan. Sepertinya, perut kosong itulah yang jadi faktor terbesar badan saya tidak fit dan tak berdaya di-AC.

Memasuki waktu magrib, kami turun untuk istirahat dan berbuka. Namun, alih-alih makan dengan lahap, saya malah tak berselera makan sama sekali. Padahal, Gunung harta menyediakan service makan yang enak. Menunya juga mantap. Tapi lidah dan perut saya tetap menolak. Mungkin shock karena hampir empat jam menahan suhu dingin.

Lucunya, di pemberhentian pertama magrib itu, saya malah betah. Rasanya sangat lega bisa bersentuhan dengan udara outdoor, bukan suhu dingin menyiksa dari AC. Saking betahnya, hampir-hampir saya nggak mau naik lagi ke bus untuk melanjutkan perjalanan. Kalau nggak inget sama kehangatan rumah yang menanti, mungkin saya bakalan milih diem di situ aja, daripada kedinginan lagi di dalam bus sana.

Kaca jendela Gunung Harta berembun, pemandangan jadi buram

Salah satu alasan saya tidak mau tidur selama perjalanan adalah karena saya suka melihat pemandangan di luar sana. Begitu pun saat perjalanan pulang pondok, rasanya sangat menyenangkan menyadari saya semakin dekat dengan rumah, dan semua itu saya lihat dari balik kaca jendela.

Nahas, jendela besar nan luas Gunung Harta tidak memberi saya kesempatan itu. Gara-gara suhu dingin dari AC, kaca bus berembun. Pemandangan di luar jadi buram. Tak ada bedanya antara siang, malam, pagi, kaca tetap berembun. Itu membuat saya bertanya-tanya, “Ini kok kebangetan ya dinginnya?” Bayangkan, air botol mineral yang saya bawa saja sudah seperti keluar dari kulkas, padahal baru sebentar di dalam bus.

Tidak semua orang cocok dengan AC

Bagi sebagian orang, cerita saya mungkin terkesan lebay dan dilebih-lebihkan. Tapi saya yakin, di luar sana, di belahan dunia mana saja, pasti ada orang yang sama seperti saya: anti dengan AC, ya meski nggak anti-anti banget juga.

Pengalaman naik bus Gunung Harta kemarin membuat saya benar-benar jengkel. Rasanya saya jadi serba salah. Mau marah-marah, marah ke siapa? Wong bus itu juga bukan pilihan saya, saya cuma terima jadi. Sopir dan kondekturnya juga nggak bisa membantu banyak soal AC ini. Saya dan teman-teman yang lain sudah nyoba minta dimatiin, tapi ya nggak bisa. Mau diam saja juga nggak tahan. Benar-benar nggak enak, pokoknya!

Ya sudah, daripada muntah, lebih baik saya cari aman. Pada akhirnya, sepanjang perjalanan tersebut saya habiskan dengan tidur. Sangat bertolak belakang dengan prinsip perjalanan yang saya pegang selama ini.

Pelajaran dan pesan untuk saya (juga kalian)

Meski menyiksa, perjalanan tersebut tak luput dari pelajaran berharga. Poin pentingnya bukan tentang ketidaknyamanan. Persetan dengan AC atau pun mabuk perjalanan. Saya rasa, pengalaman itu adalah bentuk teguran Tuhan, atas kesombongan saya selama ini. Saya memang sering merasa diri saya lebih baik, hanya karena saya biasanya tidak mabuk di perjalanan, dan merasa orang lain payah, juga hanya karena mereka mabuk perjalanan.

Padahal, kita sama-sama manusia. Wa khuliqal insaanu dla’ifan. Manusia diciptakan dalam keadaan lemah. Saya baru sadar, ternyata musuh utama saya selama perjalanan bukan rasa pusing, mual, dan sebagainya. Melainkan satu makhluk bernama AC!

Akan tetapi, meski mendapat pelajaran berharga, saya kapok. Saya tidak ingin mengulanginya lagi. Ini bukan cuma soal Gunung Harta, melainkan bus apa pun yang AC-nya disetel otomatis seperti itu.

Jadi, saya sangat mewanti-wanti pada diri saya sendiri, juga pada siapa saja yang anti-AC, berhati-hatilah dalam memilih bus. Apalagi untuk perjalanan jarak jauh. Persiapkan perbekalan dengan matang, terutama baju hangat. Jangan sampai tubuh menderita sepanjang jalan hanya gara-gara AC. Juga, jangan tergiur dengan fasilitas mewah yang ditawarkan. Siapa tahu, AC-nya nggak bisa dimatikan. Bisa-bisa mampus kau dikoyak-koyak AC sialan!

Penulis: Lilis Durotun Nafisah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Habis Rosalia Indah, Terbitlah Gunung Harta: Bus dengan Fasilitas Elite, tapi Atasi Masalah Sulit

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version