Pengalaman Saya Naik Bus AKAP dan Turun di Jalan Tol: Ngeri-Ngeri Sedap, Jangan Pernah Ditiru!

Jalan Tol Lampung: Penggerak Mobilitas, Pembunuh UMKM bus akap

Jalan Tol Lampung: Penggerak Mobilitas, Pembunuh UMKM (Pixabay.com)

Naik bus AKAP tidak lagi menjadi pilihan utama bagi saya yang sudah merasakan nikmatnya duduk di kursi kereta api ekonomi premium, eksekutif, dan luxury. Dua hal yang membuat saya lebih memilih kereta api ketimbang bus adalah soal kenyamanan dan kepastian waktu.

Tapi, sejak bekerja di Subang, mau nggak mau saya jadi lebih sering menggunakan bus sebagai moda transportasi untuk pulang atau berangkat dari Purwokerto. Alasannya adalah karena lebih murah dan terminalnya lebih dekat dari tempat saya tinggal di Subang dibanding stasiunnya yang bahkan dua kali lipat lebih jauh. Berbeda dengan di Purwokerto yang baik itu ke stasiun atau terminal sama-sama dekat.

Dalam perjalanan saya memakai bus AKAP, ada salah satu pengalaman saya yang nggak ingin saya ulangi lagi, yaitu turun saat masih di dalam jalan tol. Saya merasa harus membagikan ini kepada jamaah mojokiyah, agar tak mengulangi kesalahan saya.

Terpaksa harus memilih bus AKAP ini

Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya saya menolak betul praktik pelanggaran LLAJ ini. Selain nggak nyaman bagi saya pribadi, bagi PO bus, menurunkan atau menaikkan penumpang di jalan tol adalah pelanggaran. Kenapa begitu? Karena ya bisa menyebabkan kecelakaan. Terlebih di Indonesia, bahu jalan tol bukan hanya difungsikan sebagai tempat darurat, tapi seringkali jadi jalur alternatif untuk mendahului.

Namun begitu, atas inspirasi dari seorang rekan kerja yang kerap melakukan praktik ini, akhirnya saya pun melakukannya dan bahkan sudah dua kali. Pertama saat arus balik mudik Idulfitri, kedua saat arus balik mudik Iduladha.

Iya-iya, saya tahu saya salah, makanya saya bagikan biar kalian nggak mengulanginya. Ngejudge-nya nanti dulu.

Saat itu, saya kehabisan tiket Rosalia Indah. Salah saya sendiri, saya pesan mendadak, sedangkan Rosin nggak bisa dipesan mendadak. Mau nggak mau, saya pun mencari alternatif lain. Dari seorang teman yang merupakan bus mania, saya pun mendapatkan rekomendasi bus yang sesuai dengan tujuan saya dan murah. Saya pun langsung menghubungi nomor itu dan memesan kursi.

Mulanya saya bertanya kepada CS, bisa nggak kalau bus ini turun di exit tol Cilameri. Ternyata tidak. Bus hanya berhenti dan mau keluar di exit tol setelahnya, yaitu Kalijati. Setahu saya memang hanya Rosin dan beberapa bus dari Jawa Timur saja yang keluar di exit tol Cilameri ini. Lalu saya pun menawar, “Kalo gitu, turun di KM 111 saja, Mbak, di bawah jembatan. Bisa, ya?”.

CS pun mengonfirmasi bahwa itu bisa dilakukan dan saya pun merasa lega.

Singkat cerita, hari keberangkatan pun tiba. Jadwal keberangkatan dari Terminal Bulupitu Purwokerto untuk bus ini adalah antara pukul 18.30-19.30 WIB. Atas arahan CS, saya diminta langsung berkomunikasi saja dengan kenek busnya kalau saya mau turun di jalan tol. Jujur, saya cukup kaget saat kenek mengiyakan permintaan saya dengan begitu santainya. Berarti, praktik semacam ini memang sudah sangat lumrah dilakukan.

Perasaan waswas sepanjang perjalanan di tol, takut kebablasan

Kira-kira pukul satu malam, bus AKAP biasanya sudah keluar dari rest area tempat kami makan. Perjalanan dilanjutkan dengan menggilas aspal tol yang di banyak titik ternyata sama keritingnya dengan jalanan di Brebes atau Pejagan

Namanya habis makan, biasanya kan jadi ngantuk, ya. Enak lah kalo buat tidur. Tapi sebab saya harus turun di tepi jalan tol, kenikmatan itu tidaklah dapat saya rasakan. Bisa-bisa saya kebablasan sampai Kalijati, Bekasi, atau bahkan Jakarta.

Pun kalau kebablasannya nggak jauh dari titik yang saya rencanakan, bukanlah hal yang mudah untuk mencari angkutan ke tempat saya tinggal di jam-jam dini hari begitu. Wong di Cilameri saja yang dekat dengan kota, hanya ada ojek pangkalan yang harganya selangit.

Inilah saatnya saya turun

“Pak, kilometer 111 ya, bawah jembatan, yang di sebelah kanannya ada rumah sakit”, ucap saya kepada sopir.

“O ya, Mas, siap.”, balas sopir sambil ancang-ancang menepikan bus ke kiri.

Bus pun berhenti dan saya langsung bergegas turun. Suasana jalan tol yang ramai dan was-wes was-wes ngetan-ngulon membuat saya sedikit waspada, takut tersambar. Segera saja saya menepi melangkahi pembatas tol yang tingginya seukuran paha saya.

Bak gayung bersambut, di atas sudah ada bapak-bapak ojek pangkalan yang menerangi saya menggunakan senter. Saya pun bergegas naik dan melewati pagar. Di pangkalan ojek spesialis penumpang bus yang turun di jalan tol ini saya diminta memasukkan uang ke kotak kas mereka, seikhlasnya. Memang begitu protapnya.

Bapak-bapak yang tadi nyenteri saya pun langsung menawarkan jasa ojeknya kepada saya. Tapi saya tolak karena saya berencana untuk naik gojek atau grab saja. Beruntung beliau tidak marah. Saya pun berjalan meninggalkan pangkalan ini kurang lebih 300 meter dan langsung memesan ojek online. Apesnya, saya tidak mendapat satu pun ojek online dan akhirnya tidur di serambi masjid terdekat.

Demikianlah pengalaman saya naik bus AKAP dan turun di jalan tol. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan PO tertentu, ya. Murni hanya berbagi pengalaman dan cerita saja. Jangan ditiru, pokoknya jangan.

Penulis: Muhamad Fajar
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bus AKAP Eksekutif Solo-Jakarta Contoh Layanan Bus Tidak Kalah dari Kereta Api

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version