Pengalaman Menjalani Operasi Otak Akibat Tak Sudi Pakai Helm, Sakitnya Luar Biasa, Hidup Serasa Dijilat Api Neraka

Kalau Nggak Mau Pakai Helm, Sebaiknya Jangan Jadi Orang Tua! operasi otak

Kalau Nggak Mau Pakai Helm, Sebaiknya Jangan Jadi Orang Tua! (Pixabay.com)

Bagi kalian yang masih mau menyepelekan pentingnya helm, baca pengalaman saya menjalani operasi otak yang mengerikan, semua gara-gara menolak pakai helm

Dahulu, ketika helm INK jadi tren gaya hidup anak-anak muda, saya ini termasuk anak muda yang anti sama tren itu. Bukan karena tren itu terkesan norak atau apa. Tapi saya memang malas kalau berkendara harus pakai helm, bahkan ketika mau main ke daerah kota sekalipun. Sebab bagi saya dulu, helm itu bikin gaya rambut saya rusak dan kepala terasa nggak nyaman.

Sampai suatu ketika, ada satu peristiwa yang membuat saya sadar atas pentingnya memakai helm ini. Saya mengalami kecelakaan yang cukup hebat. Kepala saya terbentur aspal dengan sangat keras lantaran saat itu kecepatan mengendara saya cukup tinggi. Kalau kalian tanya gimana rasanya saat itu, saya jelas tak ingat. Karena memang seketika itu saya langsung tak sadar.

Cuman, menurut beberapa teman yang menyaksikan saat itu, katanya saya sempat kejang-kejang. Mulut, hidung, dan kuping saya sempat mengeluarkan darah yang cukup deras. Saat dilarikan ke beberapa rumah sakit, saya pun sempat memuntahkan darah. Bahkan, beberapa rumah sakit tersebut merasa tak sanggup karena melihat kondisi saya yang cukup parah.

Jika dilihat dari kacamata orang awam, kondisi saya saat itu jelas tinggal menunggu waktu saja untuk wafat. Tapi syukurnya Tuhan berkata lain. Akhirnya ada satu rumah sakit di Kota Mojokerto, namanya RS Gatoel, yang mampu menangani saya. Saya diprediksi masih bisa selamat meski harus melalui operasi otak yang amat sangat mengerikan.

Harus menjalani operasi otak dengan biaya yang mencekik

Saya masih ingat, dokter bedah saraf yang menangani saya dulu namanya dokter Nurkholis. Panggilannya dokter Noi. Beliau amat sangat baik, tutur katanya pun selalu menenangkan saya dan keluarga agar tetap optimis. Terima kasih, Pak Noi, semoga hidup njenengan dan keluarga senantiasa sejahtera.

Pak Noi dulu bilang, bahwa selain kepala saya ini mengalami pendarahan dari luar, juga mengalami pendarahan dalam otak. Kata beliau lagi, kondisi kepala macam punya saya ini sebenarnya nggak masalah kalau nggak dirawat. Cuman, beberapa bulan ke depan, bisa dipastikan saya akan stroke secara tiba-tiba, kemudian wafat.

Pihak keluarga tentu saja tak mau saya mati duluan, meski saya dulu tampak jelas sebagai beban. Maka tidak bisa tidak, keluarga saya mengiyakan saran Pak Noi bahwa saya harus menjalani operasi otak sebanyak dua kali. Dan saya masih ingat betul, biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi itu adalah sebanyak 60 juta. Bayangin, 60 juta!

Harus menjalani dua kali operasi otak yang cukup mengerikan

Saya nggak tahu soal nama penyakit atau operasi otak yang sempat saya jalani ini. Tapi yang jelas, operasi otak pertama ini adalah mengebor dan membuka sebagian tempurung kepala saya. Tujuannya untuk mengambil darah dalam otak dan menyembuhkan pembuluh darah yang sempat pecah.

Cuman, sebagian tempurung kepala saya ini tidak langsung dikembalikan. Tapi ditaruh di atas tempurung kepala saya bagian atas. Kenapa?

Ini kalau saya tidak salah ingat, hal itu dilakukan supaya pembuluh darah dalam otak yang sempat pecah ini tidak sampai tertekan dan membengkak lagi. Sebab kalau tertekan dan membengkak akibat ditahan oleh tempurung kepala, katanya Pak Noi, pembuluh darah akan pecah dan saya akan stroke.

Kalau kalian membayangkan sebagian area kepala saya ada yang teksturnya empuk, itu memang benar. Karena memang beneran hanya dilapisi sama kulit kepala doang. Dan kalau ditanya gimana cara tidur saya dulu, caranya adalah berbaring ke arah kanan, karena tempurung kepala yang diambil di bagian sisi kiri.

Jadi, saya benar-benar harus hati-hati selama pasca operasi pertama. Setiap saya tidur harus dijaga, setiap tindak-tanduk saya harus diawasi. Pokoknya mengerikan lah kalau saya ingat-ingat. Dan barulah kemudian tiga bulan pasca operasi otak pertama, saya harus menjalani operasi kedua yang tujuannya untuk mengembalikan tempurung kepala tersebut.

Apakah sudah? Belum.

Harus merasakan neraka dalam kepala pasca operasi

Selain hal-hal yang mengerikan tadi, ada satu lagi pengalaman buruk yang paling saya ingat sampai sekarang, yaitu merasakan neraka dalam kepala pasca operasi otak pertama.

Pada saat proses operasi pertama, saya memang nggak merasakan apa-apa, karena dibius total. Tapi setelahnya, sakitnya itu benar-benar memabi buta. Kalau kalian pernah merasakan migrain atau demam berdarah, saya bisa bilang rasanya jauh lebih menyakitkan daripada itu. Dan rasa sakit itu, harus saya lalui selama berminggu-minggu.

Bahkan, saking hebatnya saya meronta-ronta merasakan sakit itu, saya masih ingat orang tua saya sampai memohon sambil nangis-nangis ke Pak Noi agar saya diberikan obat penghilang nyeri paling manjur. Orang tua saya sempat bilang akan menjual rumah kalau memang obat penghilang nyeri yang manjur itu ada dan bisa dibeli.

Tapi sayangnya, Pak Noi bilang bahwa saya sudah diberikan obat penghilang nyeri yang paling ampuh. Beliau juga menambahkan, orang yang habis operasi otak kayak saya ini memang mau tak mau harus merasakan sakit itu sebagai proses penyembuhannya.

Saya nggak tahu, apa penyebab secara detail dari rasa sakit itu. Tapi kalau dipikir-pikir, wajar saja rasa sakit itu menyelimuti saya. Ha wong kepala saya habis terbentur, dibedah, lalu dibor sambil diotak-atik, kok.

Saya benar-benar menyesal sempat menyepelekan helm

Ya meski akhirnya saya bisa kembali sehat dan segera membalas budi orang tua, saya tetap menyesal karena dulu sempat menyepelekan helm. Kecelakaan saya memang sudah terjadi. Tapi setidaknya, kalau saya pada saat itu pakai helm, mungkin kondisi saya tak akan separah itu. Saya juga tak akan menjadi anak yang paling merepotkan dan bikin menderita orang tua.

Maka itu, saya ingin berpesan pada kalian. Tolong banget jangan menyepelekan helm. Kecelakaan itu benar-benar tidak mengenal jarak, tidak pula mengenal sepinya lalu lintas. Ia cukup bebas menerjang siapapun, apalagi ketika kalian berhadapan dengan pengendara berjenis setan.

Helm memang bukan sepenuhnya alat penyelamat. Tapi setidaknya, ia bisa meminimalisir risiko kematian dan terkurasnya duit ketika (amit-amit) kalian terkena musibah. 

Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kalau Nggak Mau Pakai Helm, Sebaiknya Jangan Jadi Orang Tua!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version