Pengalaman Menggunakan Produk Elektronik Limbah Jepang: Spesifikasi Dewa, Harga Ramah Rakyat Jelata!

Pengalaman Menggunakan Produk Elektronik Limbah Jepang: Spesifikasi Dewa, Harga Ramah Rakyat Jelata!

Pengalaman Menggunakan Produk Elektronik Limbah Jepang: Spesifikasi Dewa, Harga Ramah Rakyat Jelata!

Produk elektronik limbah Jepang ini terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Spesifikasi mumpuni, harga bikin dompet senyum berseri!

Produk elektronik merupakan salah satu barang yang harus dibeli secara teliti dan hati-hati. Tidak boleh serampangan, apalagi hanya melihat dari kondisi fisiknya. Pasalnya, banyak barang elektronik, terutama yang dijual dalam kondisi bekas dengan tampilan luar yang memikat, tetapi bagian dalamnya sudah tidak karuan. Pada saat seperti inilah kita dapat memakai ungkapan, “Don’t judge book by its cover!”. Tampilan fisik tidak merepresentasikan secara langsung kondisi dalamnya, dalam hal ini produk elektronik.

Atas alasan tersebut, banyak orang lebih memilih barang baru daripada bekas untuk produk elektronik. Alasannya sederhana: agar tidak rugi atau tertipu dengan tampilan luar yang terlihat memukau. Tentunya, taktik semacam ini berlaku bagi orang-orang yang punya budget memadai dan dikombinasikan dengan ketidakmahiran dalam mengecek kondisi produk elektronik tertentu. Kalaupun kepepet, orang-orang seperti ini akan beli barang bekas di toko offline yang mempunyai gerai besar, dengan konsekuensi harga yang lebih melambung. Jadi lebih hemat dan aman daripada beli baru. Namun, bagi saya, trik tersebut masih belum cukup.

Produk eks-Jepang terlalu menggiurkan

Sejak usia SD, saya sudah terbiasa beli produk elektronik dengan kondisi bekas pakai, terutama handphone. Jadi, “berpengalaman selama lebih dari 10 tahun dalam jual-beli produk elektronik” dapat saya sematkan di profil LinkedIn, jika memang itu berguna untuk karir profesional. Mulai dari handphone dengan harga puluhan ribu, beberapa juta, hingga laptop satu jutaan sampai di atasnya, pernah saya cicipi. Namun, dalam beberapa tahun ke belakang, ada satu kategori produk yang sangat cocok bagi orang seperti saya yang mempunyai dompet pas-pasan, yaitu produk elektronik eks-Jepang, atau sering disebut limbah Jepang.

Secara sederhana, produk elektronik limbah Jepang yang saya maksud di sini adalah produk-produk elektronik dari Jepang yang masa pakainya sudah habis atau spesifikasinya ketinggalan untuk menjalankan fungsi tertentu. Umumnya, elektronik limbah Jepang ini berasal dari perusahaan bidang IT, perusahaan provider, maupun distributor smartphone.

Elektronik limbah Jepang ini termasuk melimpah ketersediaannya, terutama smartphone karena sistem pembelian di Jepang umumnya menggunakan mekanisme kontrak. Jadi, ketika masa kontrak berakhir, unit smartphone tersebut dapat ditukar dengan yang baru. Nah, unit yang lama umumnya sudah tidak lagi diminati karena sudah dianggap ketinggalan zaman teknologinya, atau memiliki harga yang tidak jauh berbeda jika mengambil unit keluaran lama maupun baru. Oleh sebab itu, banyak smartphone yang baru keluar dua tahun lalu, tetapi dijual dengan harga miring karena memang sudah tidak diminati lagi.

Limbah Jepang yang pernah saya pinang

Smartphone pertama saya yang dapat dikategorikan sebagai produk limbah Jepang adalah Sharp Aquos yang dibeli pada 2019. Saya lupa tipe persisnya, tetapi smartphone tersebut bertahan dua tahun lebih sebelum batrenya nge-drop. Namun, untuk smartphone dengan harga Rp750 ribu saja, itu sudah sangat worth it. Bahkan, saya bisa katakan masih sangat bisa bersaing dengan smartphone dua jutaan kala itu. Kamera jernih, multitasking oke banget. Intinya, untuk kebutuhan dasar, sangat mumpuni.

Selain itu, saya juga pernah memakai Sony XZ1 versi AU. Selama setahun lebih pemakaian, tidak pernah rewel. Di tahun 2022, smartphone ini dapat dikatakan satu-satunya yang bisa main game Genshin Impact bermodal 1,5 jutaan saja. Meskipun nyatanya, smartphone ini nggak saya pakai buat nge-game. Saya lebih sering memakainya untuk foto-foto dan ngonten di Instagram.

Pembelian terakhir saya di tahun ini adalah laptop Fujitsu U939 yang saya beli sekitar sebulan lalu. Laptop ini saya beli setelah laptop Asus Celeron yang pernah saya jadikan tulisan itu, sudah sangat menyebalkan keleletannya dan layarnya tiba-tiba rusak. Akhirnya, saya lebih memilih untuk membeli laptop limbah Jepang yang dengan harga kurang dari 3 juta, sudah dapat prosesor Intel i7 generasi ke-8 dengan ram 8GB.

Meskipun prosesornya terdengar agak tua, ini adalah peningkatan signifikan bagi saya yang sebelumnya pengguna Intel Celeron. Saya berani bilang, dengan budget kurang dari 3 juta ini, saya bisa menantang laptop Asus, HP, dan Acer dengan harga baru 5-6 juta. Soalnya, setelah saya riset sana-sini, dengan harga dua kali si Fujitsu, saya belum tentu bisa dapat spesifikasi laptop baru yang sepadan. Unit yang saya dapat pun terbilang aman  tanpa kendala apapun. Layar tajam, keyboard ada backlight, sensor sidik jari berfungsi, dan ada port thunderbolt. Terlalu sempurna untuk laptop seharga 2,7 juta.

Kekurangan elektronik limbah Jepang

Setelah beberapa tahun mencicipi produk limbah Jepang, termasuk yang tidak saya sebutkan di atas, bukan berarti produk-produk tersebut tanpa kekurangan. Dalam hal penggunaan sehari-hari, salah satu deal breaker khususnya untuk kategori smartphone adalah kapasitas baterai yang kecil jika dibanding produk resmi milik brand-brand lain. Contohnya adalah Google Pixel 3A, smartphone jadul keluaran 2019 yang saya jadikan daily driver sekarang ini, setidaknya perlu tiga kali pengecasan dalam sehari.

Kekurangan lain adalah sparepart yang cukup langka kalau mau beli secara offline. Alhasil, memang harus beli secara online untuk sekadar beli baterai. Merek dan tipe tertentu, bahkan jarang ada yang menjual baterai, taouchscreen, maupun LCD-nya. Hal ini saya alami ketika menggunakan Sharp Aquos yang sudah saya ceritakan sebelumnya.

Selain itu, masalah klasik smartphone limbah Jepang adalah terkait IMEI. Salah satu alasan smartphone-smartphone ini bisa murah karena biasanya memakai IMEI palsu atau suntikan dari smartphone lain. Dalam kasus tertentu, IMEI tersebut tidak dapat bertahan lama karena memang ilegal dalam penggunaannya. Namun, saya tidak pernah mengalami masalah perihal ini. Baik Sony XZ1 maupun Google Pixel 3A, keduanya tidak pernah rewel masalah IMEI meskipun sama-sama pernah saya jadikan daily driver selama setahun lebih.

Ketakutan saya saat ini adalah ketika si Fujitsu U939 yang baru saya pakai satu bulan ini tiba-tiba rusak. Berbeda dengan merek resmi yang beredar di Indonesia, selain langka, sparepart laptop ini juga tergolong lebih mahal. Namun, hal tersebut juga sudah masuk pertimbangan ketika meminang laptop ajaib ini. Semoga laptop tipis dengan bobot kurang dari 1 kg ini juga bakal bertahan lama.

Tetap jadi pilihan terbaik untuk kaum budget pas-pasan

Terlepas dari beberapa kekurangan tersebut, saya bisa menjamin kalau produk elektronik limbah Jepang masih sangat worth it untuk dibeli. Tentunya, dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah saya sebutkan di atas.

Selain itu, sebelum memutuskan untuk membeli elektronik limbah Jepang, pastikan juga di mana kamu akan membelinya. Entah di marketplace, maupun grup Facebook, tetaplah berhati-hati. Hari sial nggak ada yang tahu. Meskipun saya selalu mengalami keberuntungan ketika membeli limbah Jepang, bukan berarti itu tanpa strategi. Lebih aman lagi, kalau memang mau meminang limbah Jepang, lebih baik yang IMEI-nya terdaftar dengan jelas. Kalau IMEI-nya legal, pasti aman.

Ya, kecuali kalau kamu nggak bermasalah sama unit Wi-Fi only. Eh, kan kita dari tadi ngomongin Android, bukan iPhone. Peace!

Penulis: David Aji Pangestu
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Seni Memulung Sampah di Jepang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version