Pengalaman Kuliah S3 dan Menyusun Disertasi Pakai Laptop Kentang: Tiba-tiba Mati, Storage Nggak Cukup, Ujian Mental Sesungguhnya bagi Saya  

Pengalaman Kuliah S3 dan Menyusun Disertasi Pakai Laptop Kentang: Tiba-tiba Mati, Storage Nggak Cukup, Ujian Mental Sesungguhnya bagi Saya  

Pengalaman Kuliah S3 dan Menyusun Disertasi Pakai Laptop Kentang: Tiba-tiba Mati, Storage Nggak Cukup, Ujian Mental Sesungguhnya bagi Saya  

Bayangkan kuliah S3 dan menyusun disertasi dengan laptop kentang. Udah? Stres? Nah, kalian tahu betul perasaan saya

Lebih dari lima tahun lepas dari dunia akademik dan asyik mengelola usaha sendiri, bikin saya buta soal perkembangan teknologi. Tapi, saat pandemi melanda beberapa tahun lalu, saya berpikir untuk menekuni kembali profesi di jalur akademik lantaran usaha yang dijalankan tutup buku. Targetnya jelas, harus S3 biar nggak kalah saing sama lulusan S2 yang sekarang sudah menjamur.

Sayangnya, saat itu saya terlalu naif. Modal terjun ke kuliah doktoral saat itu hanyalah Asus Vivobook D540NA, bekas adik saya yang sudah kelar master dan nggak dipakai lagi. Saat itu, saya pikir kuliah di jenjang doktoral sama saja dengan perkuliahan di bangku S1 dan S2 yang kebanyakan mendengar dosen menjelaskan di depan kelas.

Selain itu, alasan dana juga jadi pertimbangan. Saya kira laptop seadanya sudah cukup. Yang penting, bisa untuk membuat tugas di Word, Power Point, dan Excel. Namun, keputusan ini ternyata jadi ujian psikis yang sesungguhnya saat menempuh pendidikan S3.

Laptop itu aset utama, sudah nggak masanya catatan tulis tangan

Kuliah S3 itu beda jauh dengan kuliah di bangku S1 atau S2. Kalau di S1 dan S2 mahasiswa masih bisa bikin catatan pakai tangan, di kursi doktoral kebiasaan itu sudah nggak berlaku lagi. Laptop itu aset utama dan wajib banget dibawa ke kelas. Soalnya, dosen nggak lagi ceramah teori buat satu kelas, tapi langsung ajak diskusi sesuai topik disertasi yang masing-masing mahasiswa teliti.

Jelas, diskusi itu butuh artikel jurnal bereputasi yang harus diakses langsung dari laptop. Kadang, hasilnya harus langsung dikirim ke dosen saat itu juga. Intinya, mahasiswa butuh laptop yang bisa ngebut buat ngerjain semua itu.

Sialnya, laptop Asus Vivobook D540NA saya cuma dibekali RAM 4GB. Padahal, standar minimal buat mahasiswa sekarang itu 8GB. Bahkan, RAM 16GB lebih direkomendasikan buat mahasiswa S3 yang kerjanya multitasking alias buka banyak aplikasi sekali waktu. Jadi, jangan ditanya betapa sabarnya saya kala itu.

Bukan sebatas bisa untuk mengetik, spesifikasi adalah harga mati

Dulu saya pikir, laptop mahasiswa itu yang penting bisa buat mengetik dan browsing. Ternyata, buat mahasiswa S3, itu nggak cukup. Apalagi, kalau sedang berkutat dengan disertasi.

Benar, laptop itu cuma alat, modal pertamanya memang otak. Namun, nggak lantas spesifikasi laptop dikesampingkan. Misalnya saja, seharusnya saya menggendong laptop yang ringan dan ringkas demi alasan mobilitas.

Idealnya, beratnya mesti di bawah 1,5 kg biar gampang dibawa ke mana-mana. Namun, apa daya, saya cuma punya Asus Vivobook D540NA yang ukurannya 15 inci dengan berat 2 kg. Alhasil, mencangklong laptop ini setiap hari sukses bikin bahu pegal bukan main. Kalau sudah uring-uringan begitu, tenaga buat mengerjakan disertasi seolah sirna.

Selain itu, kapasitas dan kecepatan penyimpanan juga krusial. Anjurannya, mahasiswa S3 butuh minimal 256GB SSD untuk menyimpan semua file, materi, dan aplikasi berat. Namun, lagi-lagi, laptop saya cuma punya 128GB SSD.

Kapasitas segini jelas nggak sebanding dengan aplikasi yang harus saya install. Misalnya saja End Note dan Amos. Akhirnya, saya harus berjuang ekstra buat mengelola storage supaya nggak penuh dan nggak boleh lengah menyimpan garapan di Google Drive atau diska lepas.

Pernah, sekali waktu saya lupa menyimpan hasil kerjaan saat laptop tiba-tiba mati total. Praktis, saya kudu mengulang tulisan ide proposal yang akan diajukan untuk ujian. Pokoknya, perjuangan saya menyusun disertasi bersama Asus Vivobook D540NA sungguh memorable, tetapi cukup jadi cerita masa lalu saja.

Kuliah S3 pakai laptop kentang benar-benar buruk untuk mental saya

Mengolah disertasi di laptop kentang adalah sebuah ujian mental yang tidak pernah saya duga. Bukan soal metode atau teori penelitian, rintangan saya justru datang dari perangkat buatan manusia. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa mahasiswa S3 tetap butuh alat yang mumpuni untuk mendukung lika-liku kuliah meski sudah punya niat sekuat baja.

Percayalah, pergumulan di dunia akademik doktoral sudah cukup berat tanpa harus ditambah drama laptop yang nge-lag di setiap babak. Jangan sampai kelulusan tertunda hanya karena salah pilih alat kerja.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kuliah S3 Memang Bergengsi, tapi Menyimpan Sisi Kelam yang Jarang Diketahui Orang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version