Saya sempat bekerja sebagai teknisi di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Itu mengapa, saya tahu betul seluk-beluk di baliknya. Tempat ini bukan sekadar area singgah, isi bensin, hingga nunut toilet. Tempat ini menyimpan kisah getir bagi para operator SPBU.
Jadi begini, SPBU itu rutin diaudit. Auditor datang dengan kertas berisi daftar panjang kriteria. Mulai dari hal sederhana seperti kebersihan kamar mandi sampai hal teknis soal takaran BBM, apakah sesuai standar atau dicurangi. Dari luar terlihat seperti kontrol kualitas yang ketat. Tapi, praktiknya, banyak hal yang hanya indah di laporan.
Salah satu isu terbesar adalah soal gaji operator SPBU. Secara formal, gaji yang tertera di slip gaji memang sesuai dengan UMK. Namun, kenyataannya tidak demikian, operator SPBU menerima jumlah yang jauh lebih kecil dari itu. Praktik ini dilakukan dengan begitu sistematis sehingga terlihat normal. Tidak ada yang berani protes karena risikonya jelas, bisa diberhentikan atau dikucilkan.
Operator SPBU kerap jadi tumbal sistem
Pengalaman operator SPBU paling miris yang kerap saya saksikan, mereka sering menjadi tumbal sistem. Misalnya, ketika ada selisih antara jumlah BBM yang terjual dengan uang yang diterima, maka operator yang harus mengganti.
Padahal selisih itu bisa terjadi karena banyak faktor. Ada kendaraan yang membeli bahan bakar, tapi belum membayar. Ada juga human eror di tengah padatnya antrean atau karena mesinnya bermasalah. Namun, kebijakan yang berlaku sederhana. Siapa yang pegang pompa dispenser saat itu, dialah yang salah.
Saya pernah menyaksikan seorang operator muda menangis karena harus menutup selisih ratusan ribu. Bayangkan saja, gaji yang tidak seberapa itu harus dipotong dan dia masih harus keluar uang pribadi untuk menutup kekurangan. Secara kasat mata, ini jelas bentuk eksploitasi tenaga kerja. Teori manajemen risiko tidak pernah mengajarkan bahwa resiko harus dilimpahkan penuh pada pekerja lapangan dengan upah rendah.
Belum lagi soal perlakuan yang tidak mengenakkan dari konsumen. Operator kerap jadi sasaran. Mulai dari dimarahi karena antrean panjang, dituduh main mata soal takaran, sampai dicatchcalling oleh pengendara iseng. Semua dianggap biasa. Operator dipaksa kuat mental, padahal mereka hanya manusia yang ingin bekerja dengan tenang.
Audit yang menjadi panggung kepalsuan
Audit di SPBU sebenarnya bisa jadi alat untuk memperbaiki sistem. Sayangnya, ia sering hanya menjadi panggung kepalsuan oleh manajemen SPBU. Saat audit tiba, semua serba mendadak rapi. Toilet dibersihkan ekstra, seragam operator diseterika, bahkan kadang ada uang lembur khusus untuk membuat semua tampak sesuai standar. Auditor pun mencatat dengan tenang bahwa semua sesuai prosedur.
Padahal sehari setelah audit selesai, keadaan kembali seperti semula. Toilet dibiarkan seadanya, operator masih menerima gaji palsu, dan selisih uang masih harus ditanggung pribadi. Audit hanya menjadi formalitas birokratis. Proses yang dirancang bukan untuk memperbaiki kondisi, melainkan untuk menciptakan ilusi kepatuhan.
Saya pernah iseng bertanya pada seorang auditor yang datang, apakah mereka tidak pernah memeriksa slip gaji secara mendalam. Ia hanya tersenyum dan berkata bahwa dokumen formal adalah patokan. Kalau di slip gaji tertulis sesuai UMK, maka dianggap sah. Dari situ saya belajar, betapa rapuhnya sistem pengawasan ketika lebih percaya pada kertas daripada realitas hidup pekerja.
Keluh kesah yang tak pernah sampai ke permukaan
Sebagai teknisi, saya memang tidak mengalami langsung kerasnya hidup operator. Tapi, saya sering mendengar keluh kesah mereka. Ada operator yang merasa diperlakukan seperti mesin. Jam kerja panjang, istirahat minim, gaji di bawah standar, namun tetap harus tersenyum di depan konsumen. Ada juga yang bercerita tentang pengalaman paling pahit ketika totalan tidak cocok dan dia harus menombok dari uang pinjaman.
Saya juga pernah melihat bagaimana operator berusaha menertawakan penderitaannya sendiri. Mereka bercanda soal toilet yang selalu jadi sorotan audit, padahal gaji mereka jauh lebih kotor dari kamar mandi SPBU. Humor semacam itu menjadi mekanisme bertahan hidup. Mereka sadar suara mereka tidak pernah benar-benar didengar.
Saya menulis ini bukan untuk mencari simpati. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa SPBU tidak sesederhana isi bensin lalu jalan. Ada manusia di balik seragam yang hidupnya penuh beban. Mereka tidak hanya melayani, mereka juga berjuang melawan sistem yang sering tidak adil.
Jika audit hanya berhenti pada kertas, maka semua masalah ini akan terus berulang. Operator tetap akan jadi tumbal, gaji tetap akan dipalsukan, dan toilet tetap akan dibersihkan hanya ketika auditor datang.
Pada akhirnya, pengalaman saya di SPBU meninggalkan kesan pahit. Namun, justru dari kepahitan itu saya belajar banyak hal tentang realitas kerja. Saya belajar bahwa di balik setiap pelayanan yang tampak rapi, ada sistem yang bisa jadi penuh cacat. Dan, saya belajar bahwa kritik, sekecil apa pun, tetap penting untuk disuarakan.
Penulis: Budi
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















