Bagi yang sudah lama tinggal di Kota Jakarta, jika mendengar kata “Kwitang”, tentu ada tiga hal yang terlintas di pikiran kalian. Hal tersebut yaitu pasar buku bekas, Toko Buku Gunung Agung, dan seorang ulama terkenal Abad 20 yang bernama Habib Ali Kwitang.
Di sini, saya akan membahas hal yang pertama. Sebab, bagi saya sendiri, memang Kwitang ikonik gara-gara kaitannya dengan buku bekas.
Pasar buku bekas terkenal
Kwitang sejak dahulu memang terkenal menjadi pusat penjualan buku-buku bekas. Saya kurang tau persis dari mana buku-buku tersebut berasal, tetapi yang pasti, berbagai jenis buku dijual di tempat ini. Dapat dikatakan koleksinya lengkap Mulai dari novel (baik dari dalam maupun luar negeri), komik, buku kumpulan-kumpulan soal SD hingga SMA, buku agama, hukum, akuntansi, ekonomi, politik, sosiologi, sejarah, matematika, sampai buku resep masakan, semua bisa ditemukan di sini.
Harganya pun tergolong murah dan bisa ditawar asalkan kita mahir dalam negosiasi. Bahkan, kalau sudah langganan, pedagang umumnya memberikan harga spesial yang lebih murah. Sekalipun ada buku yang mahal, buku tersebut bisa dijamin langka. Jadi ya, wajar mahal.
Oleh karena harganya yang serba murah serta koleksinya yang lengkap itulah, orang-orang mencari buku bekas ke Kwitang. Sebagian dari mereka adalah mahasiswa yang sedang mencari buku referensi untuk kepentingan perkuliahan (termasuk saya sendiri). Namun, mengenai harga buku di tempat ini yang murah perlu diingat satu hal; tidak semua buku yang dijual itu buku asli. Jadi, harus bijak dan jeli dalam memilih.
Apa pun alasannya, jangan beli buku bajakan.
Kwitang yang merana
Sayangnya, sekarang ini, kondisi pasar buku bekas Kwitang tidak lagi ramai seperti dulu. Saya ingat pada 2017 ketika saya masih SMP, saya pergi ke tempat ini dan melihat Kwitang masih dipenuhi pemburu buku bekas. Para pedagang berjualan dengan semangatnya. Terdapat pula satu atau dua orang yang bertindak sebagai “calo” yang membantu pembeli menemukan buku yang dicari, lalu terjadilah tawar-menawar harga.
Jumlah toko buku bekas yang buka pun masih sangat banyak. Para pedagang berjualan secara bersama-sama di dalam ruko-ruko tua mulai dari samping Flyover Senen lalu berbelok ke arah Jalan Kramat Kwitang. Kini, ruko-ruko itu banyak yang tutup, menandakan sudah banyak pula toko buku bekas beserta pedagangnya yang berhenti berjualan. Jumlahnya berkurang drastis.
Pantauan saya pada tanggal 27 September 2023 lalu, hanya tersisa tiga ruko saja. Saat saya mengunjungi Kwitang pada tahun 2021 lalu, kondisinya belum sesepi sekarang. Masih ada lima toko buku bekas di dalam ruko yang buka dan trotoar di depannya dipenuhi sepeda motor pembeli.
Singkatnya, pusat buku bekas Kwitang yang dulunya hidup, kini telah nyaris mati. Sebuah pemandangan yang memilukan hati.
Mencari alasan “kematian”
Saya rasa ada dua faktor penting yang menyebabkan sepinya pusat penjualan buku bekas Kwitang sekarang ini. Pertama, faktor Pandemi Covid-19. Saya rasa tak perlu saya jelaskan begitu detil, sebab kita semua tahu tentang hal ini. Kedua, anak-anak muda zaman sekarang telah melek teknologi. Mereka lebih suka yang serba praktis dan cepat, termasuk dalam dunia literasi. Tinggal beli buku lewat e-commerce, kita bisa langsung mendapatkan buku yang dicari tanpa perlu keluar rumah.
Selain itu, anak-anak muda juga lebih memilih untuk membaca buku elektronik alias e-book yang hanya memakan sedikit memori pada perangkat. Bikin nggak ribet dan nggak perlu bawa buku fisik yang berat. Kemajuan teknologi ini membuat toko buku offline telah kehilangan para pembelinya, seperti yang dialami oleh para pedagang buku bekas Kwitang. Hal serupa juga terjadi pada Toko Gunung Agung Kwitang dan cabang-cabangnya di tempat lain, yang saat ini telah tutup mata untuk selamanya.
Begitulah riwayat terkini dari pusat penjualan buku bekas yang ada di Kwitang. Kondisinya sekarang jauh berbeda dibandingkan dahulu. Sangat disayangkan melihat toko-toko buku bekas yang telah berjasa dalam menyediakan segala literatur yang kita cari, kini telah nyaris mati.
Formula kematian ini, terulang di mana-mana. Yang berjaya di masa lalu, mati karena tak mampu mengejar teknologi. Kwitang tak luput dari terkaman masa kini. Dalam sepi, ia menunggu ada yang mengulurkan tangan, agar riuh-riuh yang ada kembali terdengar di tempat yang makin sepi ini.
Penulis: Muhammad Arifuddin Tanjung
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jakarta Adalah Tempat Terbaik untuk Menemukan Ketenangan Melebihi Jogja