Parung Panjang: Surga Truk Tambang, tapi Neraka bagi Komuter

Parung Panjang: Surga Truk Tambang, tapi Neraka bagi Komuter

Parung Panjang: Surga Truk Tambang, tapi Neraka bagi Komuter

Macet Parung Panjang yang tidak masuk akal selama beberapa bulan terakhir bikin saya akhirnya angkat tangan. Terutama sejak proyek perbaikan jalan dimulai pertengahan Juni lalu. Jalanan menyempit, arus kendaraan dibuat bergantian, antrean bisa berjam-jam. Pilihan paling waras untuk tetap bisa ke kantor di Jakarta ya cuma satu: naik KRL dari Stasiun Parung Panjang ke Palmerah.

Saya tidak tiba-tiba jadi penggemar transportasi massal. KRL penuh sesak, desak-desakan, kadang bikin kemeja lecek sebelum sampai kantor. Tapi setidaknya waktu tempuh bisa diprediksi. Bandingkan dengan jalan raya, di mana hidup warga rasanya seperti eksperimen kesabaran kolektif.

Sebenarnya masalah ini bukan baru kemarin sore. Sejak era Ridwan Kamil menjabat Gubernur Jawa Barat, persoalan tambang Parung Panjang sudah jadi sorotan. Tahun 2020, Emil bahkan pernah menjanjikan pembangunan jalur khusus tambang. Janjinya terdengar manis, tapi hingga sekarang jalur sepanjang 13 kilometer dari Cigudeg ke Rumpin itu belum juga selesai. Warga keburu bertahun-tahun jadi korban macet dan debu, sementara truk tetap melintas setiap hari.

Tonase truk berbobot hingga 40 ton jelas mustahil bersahabat dengan jalan umum. Fakta dari Dishub Jawa Barat mencatat, rata-rata ada sekitar 1.600 rit melintasi Parung Panjang setiap hari. Bayangkan: aspal biasa yang mestinya menampung motor, mobil keluarga, atau angkot, dipaksa menanggung beban industri tambang. Sudah tentu cepat rusak, bolong di sana-sini, lalu sekarang ditambal dengan proyek perbaikan yang justru bikin jalan makin sempit. Warga pun harus menanggung “pajak sabar” harian di jalur ini.

Truk, penyumbang kemacetan terbesar di Parung Panjang

Yang bikin tambah naik darah, truk-truk ini bukan hanya sumber kerusakan jalan, tapi juga penyumbang macet dengan caranya sendiri. Mogok seharian di pinggir jalan sudah biasa. Kadang karena patah as roda, mesin mati total, atau kerusakan rem. Tapi anehnya, truk itu bisa dibiarkan berjam-jam tanpa ada tindakan berarti.

Saya sendiri pernah berangkat kerja jam tujuh pagi, melihat satu truk mogok di pinggir jalan Parung Panjang. Pulang jam sepuluh malam, truk itu masih ada di tempat yang sama, seperti artefak. Pertanyaannya: ngapain aja pihak berwenang sepanjang hari?

Ada juga pemandangan absurd tiap malam. Menurut Peraturan Bupati Bogor Nomor 56 Tahun 2023 Pasal 5 ayat (1), kendaraan tambang hanya boleh beroperasi pukul 22.00 sampai 05.00 WIB. Maksudnya jelas: supaya aktivitas warga di siang dan sore tidak lumpuh total.

Tapi praktiknya, sejak pukul 9 malam atau bahkan sebelumnya, truk-truk sudah antre berkilometer di depan plang larangan operasi. Setengah badan jalan dipakai untuk parkir massal. Supirnya santai: mesin dimatikan, mengobrol, merokok, jajan di warung. Jalan umum pun berubah jadi terminal dadakan. Mungkin mereka berdalih: selama roda tidak berputar dan truk tidak melintasi plang, berarti belum “beroperasi”. Celah bahasa hukum inilah yang membuat jalan warga disulap jadi garasi gratisan raksasa.

Kerugiannya nyata. Pedagang bisa rugi karena terjebak macet berjam-jam di jalan menuju pasar. Pekerja kehilangan kesempatan wawancara kerja karena telat datang. Ada yang ketinggalan pesawat, rugi jutaan rupiah hanya karena perjalanannya menuju bandara terhenti total. Semua ini hanya segelintir contoh. Kalau ditotal, kerugian ekonomi akibat “pajak sabar” Parung Panjang mungkin bisa mencapai miliaran rupiah setiap hari.

Kecelakaan sudah seperti rutinitas

Lebih parah lagi, risiko nyawa pun ikut dipertaruhkan. Media lokal mencatat, kecelakaan di jalur Parung Panjang sudah seperti rutinitas. Dari yang ringan, seperti motor terserempet spion truk, hingga yang berat, menelan korban jiwa. Mojok bahkan menyebut kecelakaan di jalur ini sebagai “fenomena sehari-hari”. Truk tambang yang rem blong, menabrak mobil pribadi, atau menggencet pengendara motor—itu bukan berita langka, melainkan pemandangan berulang. Warga hidup dalam bayang-bayang maut setiap kali melintasi jalur ini.

Hari ini, saya membaca kabar terbaru: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akhirnya memutuskan menutup sementara operasional tambang Parung Panjang. Katanya, ini demi memberi napas bagi warga yang sudah bertahun-tahun tercekik macet, debu, dan bising mesin. Di KRL yang penuh sesak, kabar ini sempat membuat saya sedikit lega. Bayangan jalan kosong tanpa antrean truk terasa seperti mimpi indah.

Tapi penutupan ini rasanya seperti jeda iklan, bukan akhir cerita. Tanpa jalur khusus tambang yang benar-benar berfungsi, tanpa pengawasan ketat aparat, besar kemungkinan truk-truk itu akan kembali dengan pola lama. Mungkin lebih diam-diam, tetap saja kucing-kucingan. Warga pada akhirnya masih harus menanggung akibatnya.

Parung Panjang ini akhirnya terasa seperti toxic relationship: bikin sengsara, tapi sulit ditinggalkan. Saya sudah memilih pindah ke KRL, meski penuh sesak, setidaknya waktunya lebih bisa ditebak. Harapan saya sederhana: aturan ditegakkan lebih tegas, jalur khusus benar-benar dibangun, dan jalan warga tidak lagi jadi korban industri tambang. Sampai hari itu tiba, Parung Panjang akan tetap jadi ironi: surga bagi truk tambang, tapi neraka bagi komuter.

Penulis: Janzuar Ramadhany
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Penambang Pasir Sembrono Bikin Resah Warga Lereng Gunung Merapi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version