Sudah menjadi hal yang wajar sekaligus kewajiban setiap karyawan di setiap perusahaan untuk berperilaku, bersikap, dan memberikan kinerja yang baik agar mendapatkan feedback yang sama baiknya dari rekan kerja juga supervisi masing-masing.
Mulai dari disiplin dalam bekerja, mengerjakan segala sesuatunya sesuai dengan SOP/ketentuan perusahaan, menjaga hubungan yang baik antar karyawan, serta tetap mengedepankan integritas. Semuanya berkesinambungan dan saling berkaitan satu sama lain. Menghasilkan output berupa evaluasi bagi setiap karyawan. Bahkan, tak jarang menjadi penentu, apakah seorang karyawan berhak mendapatkan reward, ditawarkan jabatan yang lebih tinggi, atau alih kontrak menjadi karyawan tetap.
Lantas, bagaimana jika ada karyawan yang mengingkari beberapa hal tersebut? Menerobos tata tertib atau peraturan perusahaan, bersikap indisipliner, juga tidak melakukan segala hal yang sudah menjadi mandatori. Apalagi, sudah jelas tertulis dalam deskripsi pekerjaan dan menjadi bagian dari tanggung jawab?
Jika memang hal itu tidak terelakkan lagi, tentu teguran akan disampaikan secara bertahap. Mulai dari teguran lisan sampai dengan surat peringatan yang biasa dikenal juga dengan istilah SP. SP pun terbagi menjadi SP 1, SP 2, dan SP 3.
Sebagai gambaran, urutan punishment yang umumnya diberlakukan pada setiap perusahaan adalah: teguran lisan, teguran tertulis, lalu diberi surat peringatan yang terbagi SP 1, SP 2, SP 3.
Lantas, bagaimana cara membedakan sekaligus menentukan, kapan seorang pekerja mendapatkan teguran lisan, teguran tertulis, SP 1 sampai dengan SP 3?
Pada dasarnya, perbedaan punishment pada setiap surat peringatan biasanya sudah tertulis dan/atau diatur oleh perusahaan secara jelas dan rinci. Selain mengacu kepada UU Ketenagakerjaan, juga menyesuaikan kebijakan masing-masing perusahaan.
Untuk teguran lisan, tertulis, sampai dengan SP 1, biasanya diberikan saat ada seorang karyawan yang melakukan indisipliner tergolong ringan. Datang terlambat dalam periode waktu tertentu, tidak hadir di kantor tanpa kabar sama sekali, sampai tidak mencapai target (biasanya untuk tim marketing), hanya menjadi sebagian di antaranya.
SP 2 biasanya diberikan ketika seorang karyawan melakukan pelanggaran yang lebih fatal atau tahap lanjut dari SP 1. Misalnya, setelah diberi SP 1, masih saja datang terlambat, absen tanpa kabar, juga tidak kunjung mencapai target yang sebelumnya ditentukan.
Sedangkan SP 3, akan diberikan kepada karyawan yang melakukan pelanggaran berat. Fraud/penyelewengan dana, misalnya. Selain berujung pada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), bisa jadi akan masuk dalam daftar hitam perusahaan dan berstatus sangat tidak direkomendasikan.
Pada aplikasinya, tiap SP memiliki tenggat masing-masing enam bulan (atau menyesuaikan kebijakan perusahaan). Misalnya, Rahmat diberi SP 1 karena tidak masuk kerja selama tiga hari tanpa kabar. Selama enam bulan, Rahmat akan dimonitoring dan dievaluasi oleh supervisi dan HRD. Jika ada perubahan attitude ke arah yang lebih baik selama kurang dari atau maksimal sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan, SP 1 akan dicabut kembali.
Namun, jika selama enam bulan, setelah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, ternyata Rahmat tidak ada perubahan sama sekali, status SP 1 akan meningkat menjadi SP 2. Begitu seterusnya sampai akhirnya diberi SP 3—jika tidak kunjung ada perubahan ke arah yang lebih baik secara signifikan.
Realitasnya, barangkali memang tidak ada karyawan yang sempurna. Karyawan juga manusia. Ada kalanya keliru dan membuat kesalahan. Namun, ada baiknya setiap karyawan juga memiliki sensitivitas ketika diberi teguran oleh perusahaan yang berujung pada pemberian SP.
Jika memang masih ingin bertahan di tempat ia bekerja, selama diberi kesempatan, akan lebih baik perbanyak melakukan diskusi dengan HRD atau supervisi. Apa yang sebaiknya dilakukan agar kinerja menjadi lebih baik dari sebelumnya, sesuai dengan ekspektasi dari perusahaan. Pun sebaliknya. Seandainya sudah tidak kerasan, baiknya tetap bekerja secara profesional dan bisa menyelesaikan persoalan sebaik mungkin.
Sebagai bentuk nyata dari peringatan terhadap kesalahan karyawan ketika bekerja di suatu perusahaan, sudah sebaiknya bahwa SP tidak disepelekan. Jangan sama sekali. Mau bagaimana pun, ketika seorang karyawan sudah mendapat SP, catatannya akan abadi dalam database HRD. Bukan dimaksudkan untuk mengintimidasi. Justru sebaliknya, agar setiap karyawan bisa mawas diri terhadap deskripsi pekerjaan yang sudah diberikan.
BACA JUGA Psikotes Nggak Perlu Dimanipulasi, Recruiter Paham Mana yang Alami dan Nggak dan artikel Seto Wicaksono lainnya.