Tanggal 17 Mei 2020 ini diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Dari pagi netizen sudah meramaikan tagar-tagar yang mengajak orang untuk mau membaca buku, mencoba menulis buku, serta melawan pembajakan. Begitu ramainya ajakan ini membuat saya bertanya-tanya, apa memang kebutuhan membaca buku sudah terdisrupsi sedemikian rupa sehingga timbul penurunan minat baca?
Tolok ukur paling mudah yang saya temui saat ini: hampir tidak ada orang yang membaca buku kala menunggu di bandara, stasiun, atau ruang publik lainnya. Semua asyik dengan hape masing-masing. Saya yakin kurang dari 10 persen dari mereka yang melototin hapenya itu sedang membaca berita atau pengetahuan umum di sana. Kebanyakan sibuk chatting, kepoin status orang, nonton video joget-joget, atau main game.
Menurut saya sih, selagi tidak buta huruf, umumnya setiap manusia punya keinginan untuk membaca. Coba kalau kita lagi bengong di pesawat nggak bisa buka hape, lagi nunggu antrean dokter yang panjang banget, atau di stasiun ketinggalan commuter line. Saat hape tiba-tiba mati karena lupa di-charge, mata kita secara otomatis akan mencari-cari tulisan apa yang bisa dibaca.
Ada tulisan “Stasiun Palmerah”, dibaca berulang-ulang. Diperhatikan bentuk hurufnya, besar kecilnya, warnanya, dll. Nggak puas, berikutnya akan mencari tulisan apa lagi yang bisa dibaca “Lintasan kereta. Dilarang menyeberang”. Masih belum puas juga karena cepet banget selesai dibaca sementara kereta yang ditunggu juga belum dateng, tanpa sadar mata kita masih terus mencari plang atau tempelan apa yang bisa dibaca dengan lebih lama “Platform Peron: Kebayoran, Pondok Ranji, Jurangmangu, Sudimara, Rawa Buntu, Serpong, Parung Panjang, Maja ke kiri. Musholla, toilet, ruang PPPK, ruang menyusui ke kanan”. Masih belum puas juga, eh dibaca ulang lagi “Lintasan kereta. Dilarang menyeberang”.
Intinya adalah, pada dasarnya manusia itu punya keinginan untuk membaca. Hanya saja apakah keinginan membaca itu akhirnya bisa menjadi minat atau kegemaran yang berkelanjutan? Tidak hanya sebagai syarat literatur skripsi, atau sebagai alternatif kegiatan terakhir saat TV rusak dan hape sedang tidak aktif.
Menurut saya, yang membuat orang menjadi tidak suka membaca adalah karena saat ini banyak sekali pilihan hiburan dibanding membaca buku. Medsos, main game online, atau nonton YouTube terasa lebih mengasyikkan dibanding membuka portal pengetahuan atau berita. Hal ini membuat kegiatan membaca sudah menjadi kebutuhan tersier, nggak penting. Akibatnya, saat ini makin banyak orang yang sudah merasa cukup pintar dengan pemikirannya sendiri, dan jadi komentator dan pengamat dadakan tanpa latar belakang data dan pengetahuan yang jelas.
Jaman saya kecil dulu, koran, buku dan majalah mungkin sudah menjadi kebutuhan nomer wahid. Papa saya sudah pasti langgannya koran tiap pagi, sementara saya dan kakak saya berlangganan mulai dari majalah Bobo, Ananda, Kawanku, sampai komik-komik Asterik, Nina, Tintin, dan lainnya. Waktu udah mulai ABG, ganti berlangganan majalah Hai, Gadis, dan Mode. Saya rasa ini memang salah satu cara yang bagus bagi orang tua untuk meningkatkan minat membaca sejak dini.
Saat ini yang terjadi, beberapa buku atau majalah fisik sudah beralih menjadi ebook atau emagz. Namun, buat beberapa kalangan, termasuk saya, buku fisik belum bisa tergantikan. Keasyikan membaca tidak hanya dinilai dari isi dalam buku itu saja, namun juga kepuasan saat memegang buku, memperhatikan layout dan design cover-nya, dan membolak-balik halaman kertas. Seperti emak-emak yang masih harus ke pasar untuk beli ikan tenggiri supaya bisa memegang dan memencet-mencet, dibanding tinggal telepon dan diantar ke rumah.
Tidak menampik, ebook bisa menjadi salah satu cara untuk membangun minat membaca terutama anak dan remaja yang sudah menganggap hape lebih penting dari dompet. Sedikit demi sedikit saya sudah mulai mengamati cuplikan bacaan cerita yang terselip di antara scroll-an status-status medsos. Jika cuplikannya menarik, saya yakin orang akan tertarik untuk terus membaca dan membuka websitenya.
Apakah suatu saat saya akan beralih sepenuhnya ke ebook? Mungkin saja, jika buku yang saya cari sudah langka, tidak diterbitkan lagi, atau harga yang terlalu mahal, di luar kemampuan saya membeli. Melihat demikian pesatnya perkembangan teknologi, saya sendiri ragu apakah di masa depan masih akan ada orang yang menerbitkan buku secara fisik. Apalagi ebook jelas lebih murah dan ekonomis. Jangan-jangan, nantinya buku fisik hanya dicetak untuk meningkatkan status penulisnya saja.
Saya berharap suatu saat membaca buku bisa menjadi kebutuhan primer untuk semua kalangan. Semoga saja tidak hanya menjadi harapan semu yang tergerus perubahan jaman.
BACA JUGA Minat Baca di Indonesia Rendah, Ah Kata Siapa? dan tulisan Dessy Liestiyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.