Orang yang Pinjam Buku Terus Bukunya Diklaim Milik Pribadi, Mereka Pantas Masuk Neraka

pinjam buku tidak dikembalikan itu mengesalkan kutipan soal pinjam buku mojok.co

pinjam buku tidak dikembalikan itu mengesalkan kutipan soal pinjam buku mojok.co

Sore itu saya membuat WA story saya tentang buku yang baru saya beli dari Mojok Store. Saya nyetatus tentang keinginan menjajal usaha jual buku sambil mengeluh tentang pencairan klaim BPJS Ketenagakerjaan yang bikin jengkel. Salah satu teman lalu membalas, “Mbak, punya buku-bukunya Pram nggak?” Dari situ, percakapan kami jadi panjang. Mulai dari aturan pinjam buku sampai keluh kesah menghadapi kebiasaan overthinking.

Pinjam-meminjam buku tentu lazim di antara sesama teman, apalagi teman akrab. Tapi di dunia yang sangat luas ini, ada saja orang yang meminjam buku dan berpikir menjadikannya hak milik. Mereka tidak peduli bagaimana pemilik buku membeli buku-buku itu dengan penuh perjuangan dan kadang kelaparan. Ada juga hadiah dari teman yang mesti dijaga sebagai upaya apresiasi.

Kalau ada pelaku peminjam buku yang ujung-ujungnya mengklaim buku pinjaman jadi milik pribadi, saya ingin bilang ke kalian: Tidak semua orang yang punya banyak buku itu orang kaya! Kerap kali kami harus mengorbankan sesuatu dulu hanya untuk membeli buku yang betul-betul ingin dibaca.

Saya mau contohkan satu pengalaman pribadi. Semasa kuliah, saya pernah ingin sekali membaca dwilogi Second Sex karya Simone de Beauvoir. Sadar butuh waktu yang cukup lama untuk mengkhatamkannya, sebab bukunya tebal, keinginan untuk mengoleksi menyeruak. Tujuannya satu: biar tidak ditagih (misalnya itu buku pinjaman) ketika sedang asyik-asyiknya membaca.

Suatu waktu, ada bazar buku di kampus. Kebetulan dua buku itu didiskon. Second Sex: Fakta dan Mitos jadi 88 ribu dari harga normal 110 ribu, sedang Kehidupan Perempuan dibanderol 125 ribu dari yang mestinya 150 ribu. Total yang harus saya bayarkan Rp213 ribu.

Untuk saya, yang masih minta orang tua dan tidak ada penghasilan tambahan, jumlah segitu ya mahal. Satu-satunya sumber dana dari bapak saya. Beliau menransfer dua minggu sekali, sekali transfer 500 ribu. Tadinya satu bulan sekali, tapi lantaran saya yang merasa gagal mengelola keuangan dalam jangka panjang, saya memintanya dua minggu sekali. Uang jajan dan uang makan satu minggu 250 ribu, dan saat ada bazar itu terpotong 213 ribu. Sisa 287 ribu untuk dua minggu, plus sisa uang sebelumnya yang kadang nyisa, kadang ludes. Untung masih nyisa sekitar 30 ribuan.

Apakah cukup uang segitu untuk hidup di Bandung? Ya dicukup-cukupkan. Saya stok beras banyak di kosan, bawaan dari rumah, jadi lumayan untuk menghemat. Soal lauk, kerupuk adalah koentji (bukan mi instan yang satu bungkusnya tiga ribu rupiah hanya untuk sekali makan).

Di dekat kosan saya, ada warung yang jualan kerupuk. Satu plastik dibanderol dua ribu, isi kerupuknya 10 buah. Kecil-kecil memang, tapi cukup untuk 1 hari setengah, alias lima kali makan; pagi, siang, malam, pagi dan siang lagi. Siklusnya seperti itu, membagi kebutuhan nutrisi otak dan tubuh. Saya juga stok kecap karena tahu pasti bakal ada keadaan mendesak. Atau kalau memang habis tak bersisa, saya datang ke sekre, makan bareng-bareng dan iuran dua sampai lima ribu. Maaf, teman-temanku, betulan defisit waktu itu.

Saya pernah kehilangan buku. Mungkin tidak hilang, tapi terselip di rak buku orang. Suatu siang, salah satu teman menghubungi saya. Dia ingin meminjam buku Feminisme untuk Pemula. Saat ke kampus, saya pun membawa dan meminjamkannya, dengan syarat dan ketentuan: tidak boleh hilang, tidak boleh dilipat (saya menyediakan pembatas buku di dalamnya), tidak boleh rusak, dan tidak boleh dicoret-coret. Di waktu yang lain, ketika saya butuh buku itu untuk referensi, saya menanyakan kepada teman saya. Teman saya tanpa beban sedikit pun bilang: dipinjam X. Saya hubungi X: katanya sudah dikembalikan.

Pada akhirnya saya tidak pernah menerima buku itu. Menjengkelkan memang. Entah di mana keberadaan buku itu sekarang.

Di tahun 2017, salah satu teman saya meminjam novel Bumi Manusia dari saya. Beberapa waktu kemudian, ganti saya yang membutuhkan buku itu untuk dianalisis buat tugas mata kuliah Kritik Sastra Kontemporer. Ketika saya memintanya mengembalikan, dia bilang lupa bawa. Sampai pada titik tiba-tiba ia katakana, “Nisa, bukunya hilang. Tapi nanti aku ganti kok.” Oke, dia kooperatif. Saya senang teman saya bertanggung jawab, ketika berjumpa pun dia meminta maaf telah menghilangkan buku itu.

Untuk mengantisipasi hal semacam itu sekaligus menghindari orang-orang oportunistis, saya bikin catatan digital dan manual daftar orang peminjam buku saya. Mirip perpustakaan kecil. Mulai dari nama peminjam, judul buku, tanggal peminjaman, dan tanggal pengembalian. Tentu, sebelum meminjamkan, saya memberi tahu syarat dan ketentuan yang berlaku.

Bila dalam tenggang waktu yang sudah disepakati belum juga dikembalikan, saya bersiap mengubah diri jadi debt collector. Saya bodo amat dilabeli galak, pelit, atau yang lain. Itu buku memang milik saya, persetan dengan kedekatan emosional. Kalau akrab mestinya saling menghargai, termasuk menghargai kesepakatan pinjam buku. Apa perlu tanda tangan di atas materai Rp6.000?

Sudahlah, jangan mengamini bahwa orang yang meminjamkan buku adalah orang bodoh. Itu sama saja menjustifikasi pencurian. Tahu kan pencurian adalah tindakan kriminal? Niat peminjam kan ingin meminjamkan. M e m i n j a m k a n. Berbagi pengetahuan. Jangan dikotori niat baik itu, plis. Setelah selesai membaca ini, kembalikan buku yang kamu pinjam sekarang.

Jadi, kalian para peminjam buku tak tahu diri yang suka mengklaim buku sebagai hak milik pribadi, tolong sadar diri sebelum dikutuk masuk neraka.

BACA JUGA Wahai Kawanku yang Meminjam Buku dan tulisan Anisa Dewi Anggriaeni lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version