Setiap libur sekolah, saya selalu berlibur ke rumah kakek dan nenek saya. Meski tinggal di desa, kakek saya selalu rajin membaca koran, tentu harus membelinya ke pasar yang berjarak sekitar satu kilometer. Surat kabar yang termasyhur dan selalu jadi idola kakek saya adalah, Suara Merdeka. Surat kabar inilah yang mengenalkan saya pada kartun Cantrik, karya seorang bernama Prie GS. Sebuah tanda tangan khas, selalu dibubuhkan pada ujung panel terakhir, tanpa sadar membuat saya mengingat terus nama itu.
Memang saya suka komik dan menggambar kartun sejak kecil, sering ikut lomba dan lumayan punya prestasi dalam dunia gambar. Saya ingat betul, di buku portofolio OSIS saat SMP, kolom cita-cita saya isi “kartunis” atau “komikus”.
Pertengahan 2015, saya sudah lulus SMK dan sedang senang-senangnya bermusik. HP saya rusak, alhasil saya meminjam HP Advan bapak saya. Setelah urusan saya selesai (kebetulan saya saat itu jualan alat musik di grup FB), saya scroll beranda FB. Tak sengaja saya menemukan postingan dari seseorang yang memiliki nama akun Prie GS. Rupanya beliau kawan FB bapak saya. Serasa tak asing nama itu, seperti pernah tahu, tapi lupa di mana. Tak lama, rasa penasaran itu hilang, saya baru ngeh bahwa itu adalah kartunis favorit saya saat kecil. Tak butuh waktu lama, saya telusuri akun blio.
Saya masih ingat betul foto profil blio. Sebuah foto seorang pria berkumis lebat tengah mencium pipi seorang anak lelaki. Saya terhanyut pada status FB blio. Tulisan blio sungguh ciamik, oke punya. Membuat saya, seorang pemuda yang sering dibilang pengangguran, terinspirasi untuk menulis lagi. Saya sempat menulis beberapa kali untuk dikirim ke beberapa media cetak dan online. Pernah lolos, sering kali ditolak. Saya jadi pesimis, menulis tak akan bisa untuk hidup. Entah kenapa, saat membaca status FB blio, saya merasa ingin bisa menulis seperti blio. Blog yang menjadi pelampiasan pertama saya. Blog sepi yang tak saya lanjutkan. Beberapa tulisan saya di esai Mojok dan Terminal Mojok, adalah tulisan lama yang seharusnya untuk blog itu.
FB yang saya buka hanya untuk jualan, akhirnya jadi semacam e-book untuk saya. Akhirnya saya selalu menunggu status blio dan juga acara tanya jawab, yang bodohnya tak pernah saya ikuti karena bingung mau tanya apa. Dari FB itulah, saya tahu perihal masa kecil dan masa lalu Prie GS. Begitu juga dengan YouTube blio yang sederhana tapi penuh keindahan.
Salah satu cerita yang berkesan adalah tentang perjalanan blio ke rumah neneknya. Blio bercerita dengan sangat apik, seolah-olah saya ini anaknya. Saya terkesan bagaimana blio dengan keterbatasan mampu hidup dengan keren dan optimis. Salah satu babak paling asoy dari cerita itu adalah, saat blio yang masih kecil numpang tidur di pos polisi karena kemalaman. Sengaja buku berisi gambar tangannya diletakkan di meja. Tentu saja, agar dipuji oleh dua orang polisi yang tengah berjaga itu. Sembari pura-pura tidur, blio mendengar kedua polisi yang memujinya sekaligus berdebat, apakah benar, anak kecil itu yang menggambar.
Hal yang sama, sering saya lakukan saat kecil. Pamer hasil gambar dengan sengaja menempel gambar saya di dinding ruang tamu. Tentu agar dipuji tamu. Saya selalu menguping pembicaraan tamu dan bahagia saat karya saya dipuji. Bahagia sekali sehingga formula yang sama selalu saya lakukan.
Tulisan lain dari Prie GS yang membuat saya kagum adalah, perihal cerita masa remaja blio. Sering ditolak tanpa harus nembak, mencintai dalam diam, begitu kiranya. Saya kurang relate dengan itu, hehe (muka sok ganteng). Namun, cerita tentang dua orang kakaknya, membuat saya gimana gitu, trenyuh iya, bahagia juga.
Nanas dan Selimut Terakhir. Dua status FB yang lumayan panjang, tapi sepadan untuk dibaca. Nanas, bercerita tentang kakak perempuan yang memperhatikan dan menyayangi adiknya. Buah itu diberikan pada blio untuk kemudian bonggolnya ditanam. Tentu tumbuh dan blio nikmati dengan seksama. Nanas yang istimewa karena kakak tercinta pemberi nanas itu sudah meninggal. Begitu juga Selimut Terakhir. Selimut lurik tipis khas rumah sakit, adalah selimut yang berkesan untuk blio.
Saat SMA, Prie GS tinggal dan dibiayai kakaknya, seorang sopir angkot. Ia terpaksa pindah lagi ke rumah kakaknya yang guru, sebab kakaknya yang sopir angkot sudah tak mampu membiayai. Kakak iparnya, seorang perempuan penyayang, memberi sebuah selimut untuk menemaninya. Dan kakak iparnya itu menangis di kamar saat ditinggal pergi oleh adik lelakinya itu. Akhirnya, tulisan Selimut Terakhir itu lahir, saat kakaknya meninggal.
Saya ingin jadi komikus karena blio, saya semangat belajar menulis lagi karena blio. Saya pernah tak punya uang untuk membeli buku blio. Pernah tak mampu juga untuk ikut kelas Prie GS. Kala itu, saya cuma mampu nonton status FB blio. Kini, saat saya mampu beli buku-buku blio, saya tak bisa bertemu dan meminta tanda tangan. Saya sudah punya niat untuk ikut kelas Prie GS, namun pandemi keburu datang. Alhasil, YouTube blio yang jadi obat. Tak pernah terbayang, saya harus menulis tentang blio saat blio telah berpulang. Dulu, saya punya keinginan liar, ingin jadi mantu Prie GS (ngawur banget, hahaha). Tapi, kini bisa bertemu saja sudah cukup. Terima kasih Prie GS, saya akan terus belajar menulis dan tetap menulis.
BACA JUGA Pertemuan Pertama dan Terakhir Saya Bersama Iman Budhi Santosa dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.