Niat Melancong, Malah Dituduh Mau Jadi TKI

dikira tki ilegal

dikira tki ilegal

Ketika orang-orang pada ribut soal pilpres, ada sejumlah orang yang gegana alias gelisah galau merana karena keberangkatannya ke luar negeri digagalkan oleh petugas imigrasi di bandara. Hanya karena mereka lugu dan gugup saat diwawancarai, plus berwajah kampungan pula, petugas Imigrasi lantas seenak udelnya mendakwa mereka sebagai calon TKI ilegal.

Padahal, sudah jelas-jelas mereka cuma hendak jalan-jalan. Dan malangnya lagi, mereka sudah mengantongi tiket pulang.

Salah satunya menimpa Dilla Antika (21 tahun) di Medan. Karena kasus ini tidak sampai viral, maka perlu saya ceritakan terlebih dulu. Begini ceritanya. Hari itu, Minggu (31/3/2019), mata Dilla sudah tampak berbinar-binar saat berada di ruang tunggu keberangkatan Bandara Kualanamu, Medan. Dia akan terbang ke Penang, Malaysia, dengan pesawat Lion Air JT132, untuk menemui bibinya -Dilla sendiri memanggil bibinya dengan sapaan Ibuk. Rasa tak sabar, bercampur dengan rindu dan gugup. Di kepalanya sudah terbayang Ibuknya akan menjemputnya di bandara tujuan.

Di tangannya, paspor dan tiket pergi-pulang (PP) tergenggam. Hari itu, pukul 09.40 WIB adalah waktu keberangkatan Dilla dari Medan. Sementara jadwal pulangnya dari Bandara Internasional Penang, sesuai tiket yang dia pegang, adalah 3 April 2019 pukul 12.10 siang waktu Malaysia. Ya, hanya tiga hari dia akan di sana.

Jantung Dilla berdegup kencang karena itu adalah pengalaman pertamanya berangkat ke luar negeri. Dia merasa begitu gugup. Setelah menimbang barang bawaannya, dia lantas memperlihatkan paspor dan tiketnya kepada petugas imigrasi.

Dari sinilah nestapa Dilla bermula. Setelah pemeriksaan paspor dan tiket, dia kemudian diwawancarai. Menurut ceritanya kepada saya, ada sekitar lima petugas imigrasi yang memeriksanya. Paspor dan tiketnya ditahan, dan dia tak jadi berangkat. Petugas imigrasi mencurigainya sebagai calon TKI ilegal–atau istilah mereka “TKI non-prosedural”.

“Kamu nggak ada uang tunjuk dan tidak memiliki biaya hidup,” kata Dilla, menirukan ucapan petugas Imigrasi yang mewawancarainya.

Uang tunjuk dan biaya hidup? Ini agak rancu. Setahu saya, ini cuma berlaku kalau kita berangkat ke negara-negara seperti Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa atau Amerika. Tapi okelah, mungkin saya kurang update soal ini.

Yang bikin saya heran adalah sikap petugas Imigrasi yang mencurigai Dilla sebegitunya. Padahal, paspor yang Dilla pegang adalah paspor melancong, bukan paspor TKI. Dan niatnya ke Malaysia juga cuma ingin bertemu Ibuknya, dan itupun cuma tiga hari. Dan dia sudah menggenggam tiket pulang. Apakah itu semua masih kurang jelas, Bodat?

Memang, diakui Dilla bahwa di Malaysia nanti, dia akan membantu Ibuknya berjualan. Kebetulan, Ibuknya membuka restoran di sana. Namun, dia sama sekali tak berniat menjadi TKI, apalagi TKI ilegal, seperti yang dituduhkan petugas Imigrasi. Masa’ iya, di sana dia cuma ongkang-ongkang. Makan, tidur, berak. Ya, pinomat bantu-bantu, entah itu nyuci piring, atau mengelap meja yang kotor.

Karena gagal berangkat, Dilla lantas pulang dengan mata berkaca-kaca. Paspor dan tiketnya tetap ditahan. Oleh salah satu petugas Imigrasi di Bandara Kualanamu, dia diberi selembar surat tanda penerimaan paspor, semacam surat tilang paspor.

Di dalam surat itu dia diarahkan untuk mengambil paspornya di Kantor Imigrasi Kelas IA Medan kurun tujuh hari sejak hari itu. Pada surat itu tertulis tiga alasan penahanan: diduga PMI (Pekerja Migran Indonesia) non-prosedural, tidak memiliki tujuan yang jelas, dan tidak memiliki biaya hidup.

Selain batal bertemu Ibuknya, Dilla juga gigit jari karena tiket PP yang ia beli seharga Rp 1,2 juta hangus begitu saja. Pihak Imigrasi tidak mau tahu soal itu. Bagi mereka, menggagalkan keberangkatan orang yang dicurigai sebagai TKI ilegal adalah suatu kebanggaan. Tak peduli bahwa ternyata orang itu benar-benar sungguh-sungguh cuma mau melancong beberapa hari saja.

Untuk kasus seperti Dilla, yang saat diwawancarai mengakui secara apa adanya, bahwa selama tiga hari di Malaysia dia akan membantu usaha restoran Ibuknya, apakah dia sudah dapat dikategorikan sebagai TKI ilegal? Apa batasan atau perbedaan, antara orang yang cuma bantu-bantu usaha saudara atau kerabat, dengan orang yang memang berniat jadi TKI ilegal? Adakah aturan soal itu?

Ketika saya ajukan pertanyaan ini kepada salah satu petinggi kantor Imigrasi Medan yang kebetulan saya kenal, dia kebingungan menjawab. Dia tidak bisa memberikan satu pasal atau aturan yang jelas payung hukumnya. Dia hanya memberi jawaban menggantung, yang sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya.

“Ya, nanti saya coba cek aturannya. Kalau ada, saya kabari,” katanya. Sampai sekarang, berkali-kali saya konfirmasi lagi, beliau tak menjawab. Pesan WA saya cuma di-read tanpa dibalas. Sementara telepon saya berulang kali tak diangkat.

Saya kemudian mencoba menelusuri aturan terkait kasus ini, tapi sejauh usaha saya, tidak ada aturan yang spesifik mengatur soal itu.

Balik lagi ke kasus Dilla. Setelah gagal berangkat, kesulitan Dilla tetap berlanjut. Pada 4 April 2019, dia datang ke Kantor Imigrasi Kelas IA Medan di Jalan Gatot Subroto untuk mengambil paspornya yang ditahan. Di sana dia bertemu petugas bernama Nabila, namun Nabila bilang atasannya sedang rapat, dan dia disarankan datang lagi besok hari.

Hari berikutnya, 5 April 2019, Dilla datang lagi. Namun lagi-lagi ia belum menerima paspornya yang ditahan. Ia disarankan agar datang jika sudah dihubungi oleh petugas Imigrasi.

Pada tanggal 11 April 2019, Dilla datang lagi ke Kantor Imigrasi dan diwawancarai. Namun, Dilla malah disuruh urus surat kerja resmi. Padahal dia sudah berulang kali menyampaikan bahwa niatnya ke Malaysia adalah untuk menjumpai ibuknya, bukan mau jadi TKI ilegal.

Barulah akhirnya, pada hari Selasa tanggal 24 April 2019, Dilla berhasil mendapatkan kembali paspornya. Namun, dia tetap tidak mendapat ganti-rugi tiketnya yang hangus. Dia dijamu dengan baik oleh para pegawai Imigrasi, disuguhi minuman–tidak seperti masyarakat pada umumnya. Tapi itu setelah saya berkoar-koar di media sosial soal kasus ini.

Tak lupa, orang-orang Imigrasi berpesan kepada Dilla untuk menyuruh saya menghapus tulisan saya di media sosial. Tentu, saya ogah menuruti permintaan mereka, demi sebuah pelajaran untuk diketahui banyak orang. Saya menunggu mereka langsung menghubungi saya untuk menghapus tulisan itu. Lagipula, kalau memang mereka merasa benar, kenapa mereka tidak menuntut saya atas pencemaran nama baik?

Ini baru Dilla seorang. Di luar sana, saya sangat yakin banyak orang yang pernah dan akan mengalami nasib serupa. Dilla sendiri menyaksikan dua orang lain yang juga digagalkan keberangkatannya di hari yang sama saat ia hendak berangkat. Bisa jadi, sama seperti Dilla, mereka juga cuma ingin melancong, tapi dicurigai sebagai calon TKI ilegal lantaran gugup saat diwawancarai, dan berwajah kampungan pula.

Menyaksikan kesulitan seperti yang dialami Dilla ini saya jadi teringat adegan paling sampah yang pernah saya alami maupun yang pernah saya dengar dari kawan-kawan.

Saya, misalnya, pernah dipersulit ketika hendak mengurus perubahan data e-KTP dan Kartu Keluarga. Saya dibola-bola, disuruh bolak-balik kantor kepala desa-kantor kecamatan sebanyak tiga kali hanya karena blanko habis.

Begitu mereka tahu saya wartawan, mereka langsung minta maaf dan bilang, “Oh, abang dari (media) T**** ya. Bilanglah dari tadi,” kata salah seorang dari mereka.

Lain cerita, kawan saya, anak seorang pengacara terkenal di Kota Siantar, juga pernah mengalami hal yang serupa saat hendak mengurus paspor.

“Kamu anak Pak Anu ya. Kenapa nggak bilang dari tadi?”

Sialnya, di Indonesia, hal-hal macam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Kalau kita bukan siapa-siapa–bukan polisi, bukan jaksa, bukan pengacara, bukan anak orang-orang hebat, atau bukan orang yang so-called warga negara kelas satu–maka siap-siaplah untuk dipersulit.

Ini sama seperti halnya saat di jalan raya. Kita bisa lolos dari jeratan tilang kalau kita orang hebat ataupun kalau kita anak atau saudara orang hebat. Bahkan, kita bisa menerobos lampu merah dengan selo dan dikawal polisi pula.

Duh, seandainya saja Dilla adalah anaknya Pak Kepala Kantor Imigrasi, atau anak kepala bidang aja deh, dia tak bakal digagalkan keberangkatannya seperti itu. Sayang, Dilla bukan siapa-siapa dan pula bukan anak siapa-siapa….

Exit mobile version