Sebagai warga asli Jawa Timur (Jatim) yang tinggal di perantauan, saya sering menemukan pandangan salah kaprah orang-orang terhadap kami. Mereka pikir, semua orang Jatim itu kasar, nggak bisa ngomong pelan, dan suka misuh. Padahal, kenyataannya nggak seperti itu.
Tak hanya saat tinggal di Jakarta, saat di Jogja pun saya mengalami hal yang sama. Bagi mereka, orang Jawa Timur sudah pasti punya sifat temperamental. Suka ngegas. Kalau bicara mirip orang marah. Saat ngobrol seperti ngajak berantem. Kalau ada orang Jawa Timur yang bicaranya halus, bahkan sampai suaranya susah didengar, mereka ‘takjub’. Seolah salah banget kalau ada orang Jawa Timur yang punya sifat seperti itu.
Saya tidak sendirian. Ketika ngobrol dengan teman sesama orang Jawa Timur, kami punya pengalaman serupa. Kami dipaksa membawa label yang mereka sematkan, kemana pun kami melangkah. Seolah semua orang sudah punya label masing-masing. Kalau orang Jawa Timur ya kasar. Orang Jogja ya halus.
Saat saya tinggal di Jakarta, saya pernah ngobrol dengan teman sesama orang Jawa Timur memakai Bahasa Jawa. Eh, diketawain sama teman saya yang biasa pakai kata ‘lo’ dan ‘gue’. Bahkan, pas sekarang tinggal di Jogja yang notabene sama-sama pakai Bahasa Jawa, kami masih kena risak.
Generalisasi semacam itu selain menyebalkan, juga membahayakan. Jawa Timur itu luas, bro, sis. Penduduknya juga banyak. Mengacu data Kependudukan BPS Jatim (2017), penduduknya berjumlah 39 jutaan jiwa, hampir seperlima dari jumlah penduduk Indonesia.
Penduduk sebanyak itu tersebar di sembilan kota dan 29 kabupaten. Masing-masing kota/kabupaten punya ciri khas masing-masing. Jangan salah paham dulu. Suku di Jawa Timur itu nggak cuma Jawa. Ada Osing yang ada di Banyuwangi, Tengger di daerah Gunung Bromo dan Semeru, dan Madura di Pulau Madura. Orangnya pun beda-beda.
Soal bahasa, jangan dikira di Jawa Timur nggak ada kromo inggil, ya. Kamu kira cuma orang Jogja saja yang bisa? Kami juga punya dan kami bisa! Tidak menggunakan kromo inggil setiap hari bukan berarti kami tidak sopan. Masa kami harus bicara pakai kromo inggil saat ngobrol dengan teman sebaya?
Selain itu, Jawa Timur punya beragam dialek. Kalau kamu ke daerah eks Karesidenan Kediri (Kota dan Kabupaten Kediri, Kota dan Kabupaten Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Nganjuk), kamu akan menemui orang-orang yang punya dialek hampir sama dengan orang Jogja dan Solo Raya.
Kalau kamu ke Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan sekitarnya, kamu akan dengar orang Jatim bicara Boso Suroboyoan atau Boso Ngalam. Orang Madura juga punya dialeknya sendiri yang sangat khas, bahkan sering digunakan sebagai gimik penjual sate di film-film.
Pun, orang yang tinggal di daerah Tengger punya dialek khas yang konon merupakan turunan dari Bahasa Kawi. Begitupula Suku Osing di Banyuwangi yang dialeknya punya kemiripan dengan Bahasa Bali di Pulau Dewata.
Memang dialek yang digunakan di beberapa daerah di Jatim cenderung lebih kasar dibanding daerah lain. Tapi bukan berarti temperamen, bukan? Lagipula, kami sangat beragam. Tidak adil sekali memandang orang Jawa Timur semuanya kasar.
Kata ‘jancuk’ yang sering kami gunakan pun tak selamanya punya makna negatif. ‘Jancuk’ itu istilah yang bisa merekatkan tali persaudaraan, lho. Kami biasa aja tuh panggil teman dekat dengan sebutan jancuk biar lebih akrab. Pas lagi bahagia, kami juga sering teriak jancuk untuk meluapkan rasa senang.
Orang Jawa Timur sebanyak itu tentu punya sifat dan kepribadian yang beragam. Ada yang lemah lembut bak bidadari, ada yang sekali bicara bisa bikin kamu keki. Nggak perlu takut pas orang Jawa Timur bicara dan menurutmu itu kasar. Beberapa dari kami memang punya gaya bicara seperti itu. Tapi kami punya hati selembut sutera, kok.
Kalau kamu nggak ngapa-ngapain, nggak mungkin lah kami marah-marah sampai nodong celurit ke muka kamu. Tapi kalau kamu berbuat jahat ke kami, bisa jadi akan lain cerita. Intinya, perlakukan orang lain seperti halnya kamu ingin diperlakukan, lah. Nggak enak kan orang Tegal disindir mulu karena ngapak? Begitu juga kami.
BACA JUGA Misuh dan Pergaulan Anak Muda atau tulisan Ahmad Zulfiyan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.