Tinggal di Kos-kosan Adalah Kesempatan Mewah bagi Warga Bantul seperti Saya

Tinggal di Kos-kosan Adalah Kesempatan Mewah bagi Warga Asli Bantul seperti Saya Mojok.co

Tinggal di Kos-kosan Adalah Kesempatan Mewah bagi Warga Asli Bantul seperti Saya (wikipedia.org)

Ada satu keinginan yang sampai detik ini belum saya capai: tinggal di kos-kosan. Keinginan itu muncul karena mendengar banyak cerita seputar pengalaman ngekos dari beberapa teman dekat saya. Kalian mungkin menganggap cita-cita ini aneh atau kurang kerjaan. Tapi, percayalah, cita-cita ini begitu sulit diwujudkan sebagai warga Bantul seperti saya. 

Sebenarnya, keinginan saya tinggal di kos-kosan bukan sekadar ikut-ikutan teman. Sebagai warga Bantul yang sehari-hari berkegiatan di Yogyakarta, kebanyakan di Kota Jogja dan Sleman, pulang menjadi aktivitas yang menyita waktu dan energi. Asal tahu saja, jalanan yang saya lewati sehari-hari itu melelahkan! Semua kendaraan dipacu dengan kecepatan tinggi, bunyi klakson di mana-mana, belum lagi kalau harus berhadapan dengan bus dan truk.

Itu baru tantangan di daerah Kota Jogja dan Sleman. Sementara jalanan di Bantul tidak kalah menantang banyak jalan rusak dan penerangan minim. Bayangkan jaga betapa besar mental dan energi saya terkuras setiap harinya. 

Pulang apapun kondisinya jadi aturan tidak tertulis warga Bantul 

Kesulitan saya untuk jadi anak kosan bukan karena ekonomi atau cocok-cocokan fasilitas kos. Penghalang utamanya datang dari nilai di kalangan keluarga Bantul yang sulit dinegosisasikan. Keluarga Bantul punya semacam aturan tidak tertulis: siapa saja yang merasa warga Bantul, harus pulang ke rumah apapun kondisinya. Kelaurga saya cukup kuat memegang aturan ini, bahkan saya tidak diizinkan menginap di kos atau rumah teman. 

Baca halaman selanjutnya: Aturan itu tidak hanya ….

Aturan itu tidak hanya berlaku di lingkup keluarga saya saja. Teman-teman saya yang berdomisili di Bantul juga  merasakan hal serupa. Duh, apa ini jangan-jangan seluruh masyarakat di Bantul memiliki sifat protektif yang berlebih ya?

Salah seorang teman saya pun pernah menonton konser di daerah Sleman sampai hari sudah berganti, tapi, ya tetap saja Ia harus nglaju pulang karena keluarganya sudah menunggu di teras rumah. Kenalan saya yang lain juga tetap memaksakan pulang berkendara sendirian dengan kondisi tangan berdarah karena baru saja terjatuh dari motor. Ada gila-gilanya memang, hidup di Bantul agaknya membuat warganya terlatih berani dan kuat apapun kondisinya.

Bingung kalau ditanya alasan ngekos

Alasan lain yang menghalangi (atau lebih tepatnya mengurungkan) niat ngekos saya adalah malu dan bingung ketika nanti ditanya oleh tetangga kos mengenai alasan mengapa saya memilih ngekos. Terlebih lagi, rumah saya sebenarnya juga masih area Bantul yang mepet Kota Jogja, bukan daerah Sanden, Piyungan, Pajangan atau Srandakan yang lebih masuk akal kalau ngekos.

Saya bisa saja kemudian menjadi anomali yang merusak citra wong Bantul yang dianggap selalu siap dan gas-gas saja saat diajak ke manapun. Saya benar-benar nggak siap kalau ditanya “Lho wong Bantul kok ngekos, Mbak?”

Itulah hal-hal yang menyebabkan saya sampai saat ini nggak pernah bisa mewujudkan cita-cita menjadi anak kos-kosan. Jadi, sekarang sudah mengerti ‘kan mengapa akhirnya ngekos mungkin menjadi salah satu kesempatan mewah yang bisa dimiliki oleh sebagian kecil warga Bantul? Seandainya cita-cita saya itu tercapai, sudah pasti akan saya pamerkan di mana-mana, bahwa saya bisa menantang tradisi warga Bantul yang diwajibkan pulang apapun kondisinya!

Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 4 Dosa yang Tanpa Sadar Dilakukan Warga Sewon terhadap Kabupaten Bantul

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version