Ada satu keinginan yang sampai detik ini belum saya capai: tinggal di kos-kosan. Keinginan itu muncul karena mendengar banyak cerita seputar pengalaman ngekos dari beberapa teman dekat saya. Kalian mungkin menganggap cita-cita ini aneh atau kurang kerjaan. Tapi, percayalah, cita-cita ini begitu sulit diwujudkan sebagai warga Bantul seperti saya.
Sebenarnya, keinginan saya tinggal di kos-kosan bukan sekadar ikut-ikutan teman. Sebagai warga Bantul yang sehari-hari berkegiatan di Yogyakarta, kebanyakan di Kota Jogja dan Sleman, pulang menjadi aktivitas yang menyita waktu dan energi. Asal tahu saja, jalanan yang saya lewati sehari-hari itu melelahkan! Semua kendaraan dipacu dengan kecepatan tinggi, bunyi klakson di mana-mana, belum lagi kalau harus berhadapan dengan bus dan truk.
Itu baru tantangan di daerah Kota Jogja dan Sleman. Sementara jalanan di Bantul tidak kalah menantang banyak jalan rusak dan penerangan minim. Bayangkan jaga betapa besar mental dan energi saya terkuras setiap harinya.
Pulang apapun kondisinya jadi aturan tidak tertulis warga Bantul
Kesulitan saya untuk jadi anak kosan bukan karena ekonomi atau cocok-cocokan fasilitas kos. Penghalang utamanya datang dari nilai di kalangan keluarga Bantul yang sulit dinegosisasikan. Keluarga Bantul punya semacam aturan tidak tertulis: siapa saja yang merasa warga Bantul, harus pulang ke rumah apapun kondisinya. Kelaurga saya cukup kuat memegang aturan ini, bahkan saya tidak diizinkan menginap di kos atau rumah teman.
Baca halaman selanjutnya: Aturan itu tidak hanya ….