Netizen Indonesia yang (Masih) Belum Bisa Move On dari Timor Leste

timor leste xanana gusmao mojok

timor leste xanana gusmao mojok

Belakangan ini di YouTube, saya sering melihat rekomendasi tontonan yang aneh. Bukan video mistis ataupun video tingkah vlogger yang menakjubkan. Yang saya lihat adalah video dengan judul semacam ‘Timor Leste Sekarang Miskin, Nyesel Pisah dari Indonesia.’ Judulnya sih nggak persis seperti itu, tapi you know lah.

Ketika saya perhatikan, ternyata yang menonton dan komen di video itu sangat banyak. Dan di antara komen yang bertebaran, banyak yang isinya ngata-ngatain. Coba deh kalau nggak percaya, silahkan cari video dengan judul seperti itu di YouTube.

Saya cuma nggak habis pikir aja dengan orang-orang yang sepertinya senang melihat penderitaan mereka. Emang sih, buat Indonesia, perpisahan itu menyakitkan menyakitkan. Saya paham banget kok.

Pada masa Orba, pemerintahan Soeharto membuat kita percaya bahwa Indonesia menyelamatkan Timor Leste. Kita dibikin percaya kalau orang-orang sana kebanyakan mau gabung sama kita di bawah bendera Merah Putih. Makanya, waktu kita kena krisis, terus mereka minta pisah, kita sakit hati. Kita nggak habis pikir kenapa kita udah baik ke mereka, tapi mereka gitu ke kita?!

Mana mereka hore-hore ke bule Australia pulak, idih! Pengkhianat! Kurang lebih itulah yang ada di kepala sebagian orang Indonesia saat membayangkan negerinya Xanana Gusmao.

Tapi sebetulnya, kalau kita mau baca sejarah, ceritanya tidak sepenuhnya seperti itu. Saya yakin memang ada orang Timor Leste yang pengen gabung sama Indonesia. Ibu saya dulu pernah cerita ketemu sama orang-orang Timor Leste yang lagi di Jakarta. Kebanyakan dari mereka PNS. Dan mereka semuanya nangis waktu Timor Leste mutusin pisah dari Indonesia.

Cuma, yang nggak mau gabung sama Indonesia pun nggak sedikit. Malah mungkin jauh lebih banyak. Makanya janganlah percaya sama omongan pemerintah Orde Baru. Jangan percaya sama retorika Soeharto.

Yang terjadi di Timor Leste saat itu jauh lebih kompleks daripada sekadar “Timor Leste pengen gabung sama saudara tuanya bernama Indonesia.” Saat itu, Indonesia mencaplok Timor Leste setelah berunding dengan Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara blok barat.

Ada persekutuan yang melibatkan negara-negara blok barat itu ketika melihat adanya kelompok-kelompok sosialis-komunis di Timor Leste. Makanya, dicaploklah Timor Leste dengan tangan Indonesia dan pendanaan serta dukungan politik dari Australia dan Amerika Serikat.

Waktu pencaplokan itu, tentu saja banyak orang sana yang nggak sepakat. Apalagi mereka yang pengen bikin negaranya jadi kiri ala Kuba. Ealah, malah dimasukkin Indonesia yang denger kata “kiri” aja langsung kalang kabut ketakutan.

Sekarang mereka sudah merdeka. Mereka sudah memperoleh apa yang dikehendakinya. Tapi sayangnya, banyak orang Indonesia yang masih menjadi “korban” hoaks pemerintah orde baru.

Kita masih saja percaya kalau pencaplokan itu sah. Padahal jelas-jelas Timor Leste bukan bagian dari Hindia Belanda. Kita masih saja percaya kalau sebagian besar orang Timor Leste ingin masuk Indonesia. Padahal, banyak juga yang ingin bikin negara sendiri.

Saat ini, kita sudah memasuki era informasi. Dengan mudah, sebetulnya kita bisa mendapatkan berbagai wawasan yang mencerahkan. Pemerintah zaman sekarang juga tidak segila pemerintah Orde Baru. Jadi buat saya, tidak ada lagi alasan kalau kita masih percaya sama propaganda Orba. Apalagi kalau kita bisa buka YouTube dan nonton konten dengan kuota data yang begitu besar.

Membandingkan Indonesia dengan Timor Leste juga merupakan tindakan yang kekanak-kanakan sekali. Meski bukan saudara senegara kita, tapi mereka itu saudara Nusantara kita. Sama seperti orang Malaysia, orang Brunei, dan lainnya.

Kulit kita setipe, bahasa kita termasuk golongan Bahasa Austronesia, dan kita semua pernah mencicipi perihnya penjajahan. Apalagi, orang Timor Leste masih saudara dekat warga Timor Barat yang notabene adalah bagian dari Indonesia. Mereka itu, saudara serumpun kita seperti Malaysia, Brunei, dan Filipina.

Memang saat ini, kondisi ekonomi mereka sedang tidak baik. Tapi kita sendiri juga masih punya banyak sekali PR. Daripada kita cuma memuaskan ego, kenapa tidak saling bekerja sama saja untuk kepentingan kedua belah pihak?

BACA JUGA Petty Cash: Kecil-Kecil Cabai Rawit dan tulisan Ningsih lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version