Nasi Kebuli: Bukan Sekadar Kuliner, tapi Juga Manifestasi Perjuangan

nasi kebuli mojok

nasi kebuli mojok

Meskipun berisiko dicap lebay, tapi saya tetap merasa perlu untuk menyampaikan kepada kalian semua, bahwa nasi kebuli adalah nasi yang harus kalian coba, setidaknya satu kali dalam kehidupan yang singkat ini. Singkirkan sejenak perdebatan nasi goreng dengan atau tanpa kecap. Pun bubur ayam yang sejak ia ditemukan sampai sekarang masih saja memantik perseteruan antara kubu diaduk dan tidak diaduk. Bukankah khazanah per-kuliner-an ini terlalu luas untuk sekedar makan yang itu itu saja? Maka, berilah kesempatan bagi lidah untuk bercinta dengan sensasi rasa yang lain. Satu di antaranya, yaitu: Nasi kebuli.

Nasi kebuli layak kalian coba bukan semata-mata karena ia makanan yang berasal dari wilayah Timur Tengah (Ini kan yang sering kalian yakini? Padahal kuliner ini dari Indonesia, MyLov). Bukan pula karena ia identik dengan hal-hal berbau Timur Tengah lainnya, seperti cadar, jubah, yang kerap latah diadopsi oleh sebagian dari kita. Tapi, sungguh. Bukan itu alasannya. Pun misal, nasi ini adalah makanan khas dari Zimbabwe atau bahkan dari negara api sekalipun, tidak akan mengurangi kadar kelayakan bahwa nasi ini adalah makanan yang wajib kalian coba.

Mengertilah. Nasi kebuli bukan hanya sekadar makanan untuk menyelesaikan rasa lapar kita. Ia lebih dari itu. Kuliner ini adalah manifestasi dari perjuangan dan hakikat pengorbanan yang membentuk jaring-jaring kenikmatan. Tidak percaya? Lihat saja bumbu yang digunakan untuk membuat seporsi nasi kebuli. Mulai dari yang biasa ditemui di dapur, seperti: tomat, bawang bersaudara (Bawang putih, bawang merah, bawang bombay), ketumbar, jahe, sereh. Sampai bumbu yang saya yakin, jarang dimiliki oleh ibuk-ibuk yang masaknya bolak-balik sop. Sebut saja kapulaga dan jinten. Artinya, untuk bisa membuat kuliner ini, amunisi bumbu dapurmu harus komplit.

Mengingat hampir semua bumbu dapur harus terjun langsung, ditambah harus adanya daging kambing (Nasi kebuli itu enakan pakai daging kambing. Bukan ayam!), mau tak mau para satria spatula harus berjuang ekstra. Ke pasar untuk membeli semua bahan yang dibutuhkan. Belum soal penggunaan beras yang sebaiknya menggunakan beras jenis basmati. Kalian pikir beras jenis ini tersedia di warung dekat rumah? Tidak, Sayang. Tidak. Itulah sebab, harus starter motor dulu demi mendapatkan beras jenis ini.

Perjuangan belum berhenti. Nasi kebuli yang enak tidak tercipta dalam satu kedipan mata. Proses memasaknya yang berdarah-darah dan menyita waktu membuat perjuangan itu kian nyata. Tentu saja saya tidak asal njeplak. Saya sudah pernah membuktikannya sendiri. Bermodalkan video tutorial memasak nasi kebuli di YouTube, saya mulai ikuti step by step yang ada. Bumbu dihaluskan, ditumis, campur ini itu, tunggu sampai air surut, tambahkan daging, eh kasih air lagi, tunggu sampai larut lagi. Itu baru bumbu dasarnya. Setelah itu lanjut proses memasak beras dengan campuran bumbu dasar tadi. Ri to the bet. Ribet.

Haish, Mbyakk… Tinggal beli bumbu instan kebuli atau beli yang sudah matang kan banyak! Repot kok digawe dewe!

Sebentar, Kisanak. Apakah dengan membeli bumbu instan atau beli jadi mengurangi esensi perjuangan dan pengorbanan yang melekat pada satu porsi nasi kebuli? Tentu tidak, bukan? FYI, bumbu instan kebuli yang dijual itu harganya tidak murah. Di marketplace, bumbu kebuli dibanderol dengan harga 30 ribu sampai ratusan ribu. Kalian juga masih tetap harus checkout, memantau pengiriman paket dan mengolahnya setelah sampai di rumah. Itu belum termasuk soal isu kandungan bahan pengawet di dalamnya (Eh, peduli nggak, sih?). Beli jadi pun sama. Harus muter cari dimana yang jual nasi kebuli dulu, plus menggelontorkan rupiah yang jelas lebih banyak timbang seporsi nasi uduk.

Tapi tak apa. Toh segala perjuangan dan pengorbanan itu terbayarkan kala nikmatnya rasa nasi kebuli telah sampai di ujung lidah. Jadi, sudah pernah makan nasi kebuli belum?

Sumber gambar: YouTube Mama Adeeva

BACA JUGA ‘Higehiro’, Anime yang Menyajikan Realitas Sosial dan Isu Kesehatan Mental dan artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version