Nasi Kandar, Makanan Hype yang Overrated: Rasanya Nggak Jelas, Lauknya Nggak Seenak Tampilannya

Nasi Kandar dan Nasi Padang, Serupa Bentuknya, Serupa Rasanya

Nasi Kandar dan Nasi Padang, Serupa Bentuknya, Serupa Rasanya (Eightysixx via Wikimedia Commons)

“Banjir! Banjir!”

Ucapan tersebut sering sekali saya dengar ketika membuka media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Bukan karena terjadi bencana banjir di suatu daerah, melainkan karena aksi dari para penjual nasi kandar yang selalu menuangkan kuah secara “banjir” ke dalam piringnya.

Ya, nasi kandar memang se-hype itu belakangan ini. Namun, setelah mencicipinya secara langsung, saya justru merasa bahwa makanan tersebut cenderung overrated.

Apa itu nasi kandar?

Nasi kandar adalah sebutan untuk makanan berupa nasi putih yang lalu disiram dengan berbagai macam kuah, seperti kuah kari daging, kuah kari ayam, dan sebagainya. Dapat dikatakan, kuah-kuahan tersebut menjadi daya tarik terbesar dari hidangan ini. Oleh karena itu, tak usah heran mengapa frasa “Banjir! Banjir!” yang kerap dilontarkan oleh para penjualnya menjadi begitu ikonik.

Dalam menikmati nasi kandar, tentu kurang afdal jika hanya ditemani kuah banjirnya saja. Oleh sebab itu, berbagai macam lauk seperti ayam goreng, kari udang, kepala ikan, dan telur sering dipilih sebagai pendampingnya. Jadi, secara garis besar, konsepnya sebetulnya tidak jauh berbeda dengan nasi Padang di Indonesia.

Jika ditengok dari segi asal-usulnya, nasi kandar berasal dari negara tetangga, Malaysia. Sebutan nasi kandar sendiri sejalan dengan pemaknaannya. Nasi kandar memiliki arti nasi yang ditumpangkan di pundak pedagang atau yang dalam bahasa Melayu disebut mengandar. Berdasarkan penelusuran saya di internet, diketahui bahwa di masa lampau, penjual makanan ini menjajakan dagangannya dengan cara memikul nasi kandar dalam wadah bambu berbentuk tiang. Di era sekarang, keadaannya tentu telah jauh berbeda. Nasi kandar lebih banyak dijual di rumah makan ataupun restoran.

Makanan hype yang cenderung overrated

Kepopuleran nasi kandar di dunia maya tampaknya tidak perlu diragukan lagi. Tak sulit menemukan video di internet yang membahas mengenai makanan tersebut. Hal itu seketika membuat saya sungguh tertarik untuk mencicipinya secara langsung. Beruntunglah, melalui sebuah video ulasan makanan yang muncul di beranda YouTube saya, saya jadi mengetahui bahwa nasi kandar kini telah masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, saya tak perlu jauh-jauh ke negerinya Kak Ros demi mencicipi sepiring hidangan tersebut.

Kesan pertama saya mengenai nasi kandar adalah harga seporsinya yang jujur saja, tidak begitu ramah di kantong saya. Untuk mendapatkan satu porsi nasi kandar dengan lauk, bujet yang perlu dikeluarkan adalah sekitar Rp30.000. Sementara itu, jika ingin mendapatkan nasi kandar dengan lauk-pauk yang komplit, maka Anda perlu menyiapkan uang sekitar Rp70.000. Kalau dibandingkan dengan makanan-makanan di warteg, tentu nasi kandar lebih mampu menguras isi dompet saya.

Lantas, bagaimana dengan rasanya? Apakah worth it dengan besarnya nominal yang dikeluarkan?

Sayangnya, saya justru merasa bahwa nasi kandar cenderung overrated. Untuk masalah nasinya, sebenarnya tidak begitu ada yang Istimewa. Faktor X-nya tentu terletak pada kuah banjirnya yang mulanya saya harap akan dapat menaikkan level kelezatan makanan tersebut. Nahasnya, banyaknya rempah-rempah yang tercampur dalam kuah-kuahan tersebut membuat rasanya menjadi saling tumpeng-tindih. Saya kesulitan membedakan yang mana kuah yang satu dengan yang lain. Hasilnya, ketika dikombinasikan seperti itu, saya malah gagal mendapatkan kombinasi yang meledak secara memuaskan di lidah.

Oh, iya, porsi banjir dalam kuah-kuahan tersebut pada akhirnya memang betul-betul dapat menjadi dua sisi koin. Kalau Anda suka, maka Anda pasti akan terpuaskan karena kuahnya memang sangatlah melimpah. Akan tetapi, apabila Anda termasuk ke dalam golongan yang tidak suka, maka Anda tentu akan dibuat “tersiksa” dalam menghabiskan semua itu.

Lauknya biasa aja

Lauk-pauk yang disajikan juga tak kalah menarik untuk diperbincangkan. Namun, lagi-lagi, bagi saya seluruhnya hanya berada di tingkatan B aja. Bukan tidak enak, tetapi juga tidak begitu membuat saya ingin menyantap hidangan tersebut untuk kedua kalinya. Ayam goreng merah yang di media sosial tampak begitu menggoda indra visual saya ternyata kurang cocok di lidah saya.

Mulanya, saya berekspektasi bahwa warna merah yang terdapat di situ menyiratkan banyaknya bumbu yang terkandung di dalamnya. Namun, ketika disantap, rasanya malah tidak senendang ayam goreng-ayam goreng yang ada di rumah makan padang.

Maka dari itu, kesan yang timbul setelah saya menikmati nasi kandar adalah kegagalannya untuk memenuhi ekspektasi saya. Menurut saya, rasanya tidak berbanding lurus dengan besarnya hype yang melingkupinya. Kalau mengacu pada selera lidah saya, maka sekali lagi saya katakan bahwa nasi kandar adalah makanan yang B aja. Tidak lebih dari itu.

Digaungkan oleh media sosial

Melalui Instagram, TikTok, YouTube, dan berbagai macam media sosial lainnya, saya jadi menaruh rasa penasaran dan memasang ekspektasi tinggi pada nasi kandar. Padahal, andai saja aplikasi-aplikasi tersebut tidak eksis di dunia, saya pasti tidak akan mempunyai perasaan itu sama sekali.

Pada kenyataannya, fenomena ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, media sosial juga berperan dalam menggaungkan makanan lainnya, misalnya Indomie Bangladesh. Dan sebagai pengguna media sosial, wajar apabila saya termasuk ke dalam jenis orang yang tertarik untuk segera mencicipi makanan tersebut. Melalui para food vlogger yang banyak memberikan penilaian bagus terhadap Indomie Bangladesh, saya jadi makin terdorong untuk cepat-cepat pergi ke lokasi terdekat yang menyediakan makanan tersebut.

Namun, ketika sepiring Indomie Bangladesh telah tuntas saya habiskan, saya justru memasang penilaian yang sama seperti ketika saya menikmati seporsi nasi kandar: B aja. Tidak seenak seperti yang terlihat pada layar ponsel saya. Tidak sama seperti penilaian dari para food vlogger yang kebanyakan memuji makanan tersebut.

Satu hal yang patut diapresiasi dari kejadian ini adalah betapa media sosial dapat berperan sebagai wadah promosi yang ampuh. Sekarang, banyak orang yang jadi mengenal nasi kandar. Banyak orang yang tertarik untuk segera mencicipinya. Untuk urusan apakah mereka akan menyukainya atau tidak, itu perkara lain. Namun yang jelas, sebagai lahan untuk mengenalkan sesuatu kepada banyak orang, media sosial telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Baik nasi kandar maupun Indomie Bangladesh adalah dua contoh makanan yang sukses dikenalkan secara luas oleh media sosial. Meskipun tentu, untuk urusan selera, segalanya akan berujung kepada lidah masing-masing.

Nasi kandar B aja

Menurut saya, nasi kandar adalah sebuah makanan yang B aja. Tidak sampai tidak enak sehingga ogah untuk saya telan, tetapi juga bukan yang kelewat lezat sehingga membuat lidah saya bergerak kegirangan. Secara keseluruhan, hidangan tersebut gagal memenuhi ekspektasi saya yang terlampau tinggi setelah menyaksikan beragam video mengenainya di media sosial.

Namun, harap diingat, itu murni opini pribadi saya, loh, ya. Kalau bagi kalian enak, ya, nggak masalah juga.

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Nasi Kandar dan Nasi Padang, Serupa Bentuknya, Serupa Rasanya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version