Permasalahan bullying di sekolah masih belum juga tuntas hingga saat ini. Dan tampaknya perkara ini memang sulit diselesaikan bila tidak ada revolusi mental besar-besaran. Hal tersebut memang sekiranya sudah bikin kita bosan, tapi serius, perundungan dan normalisasinya sudah tak masuk akal. Bahkan, pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di sekolah, yaitu kepala sekolah, pun banyak yang tak paham tentang hal ini, malah ada yang menormalisasinya.
Hukum alam yang mesti berlaku saat terjadi bullying adalah si pelaku dapat hukuman, sementara si korban dapat perlindungan. Namun, sebagaimana yang sudah jamak kita ketahui, negeri ini penuh dengan paradoks. Alih-alih melindungi korban, sebagian orang justru memberi pembelaan pada si pelaku. Bahkan, sering kali mereka yang memberi pembelaan tersebut merupakan orang-orang yang punya jabatan di sekolah.
Daftar Isi
Deretan kasus kepala sekolah menormalisasi bullying
Mari kita sejenak berkelana ke masa lalu untuk melihat seperti apa kasus bullying bergulir. Melansir liputan6.com, seorang siswa kelas 3 SD di Kota Sukabumi menjadi korban bullying hingga mengalami patah tulang di lengan kanan. Pihak sekolah diduga sempat berusaha menutupi kronologi yang sebenarnya dari kasus tersebut. Sementara itu, di tempat lain, seorang siswa SMP Negeri 2 Pringsurat Temanggung mengaku muak di-bully hingga akhirnya ia membakar sekolahnya. Bejo Pranoto, sang Kepala Sekolah, menilai bahwa anak tersebut sebenarnya sering cari perhatian di sekolah sebagaimana dikutip dari kompas.com.
Masih belum cukup? Seorang kepala sekolah di salah satu SMP di Cilacap mengelu-elukan prestasi yang pernah didapat oleh pelaku perundungan, alih-alih mengecam perbuatannya. Mengutip detik.com, sang Kepala Sekolah menyebut bahwa pelaku merupakan siswa yang berprestasi di bidang silat dan pernah menjuarai lomba tilawah.
Lha terus apa hubungannya, woi!?
Iya, saya setuju bahwa prestasi siswa itu membanggakan. Tapi sekali bully, tetaplah bully. Putra Nabi Nuh as saja yang membangkang tetap dapat balasannya, padahal dia seorang putra Nabi. Lantas, apakah siswa bully itu dapat perlindungan hanya karena dia pernah meraih prestasi!?
Logika, bos?
Kok bisa ya orang punya jabatan tapi logikanya patah bawah?
Saya kerap heran dengan logika-logika miring seperti di atas. Bagaimana bisa seorang penindas malah dibela dan dilindungi!? Padahal, tak ada satu pun masyarakat Indonesia yang tak tahu soal “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Belum lagi, pihak yang memberi perlindungan tersebut adalah mereka yang mempunyai jabatan. Eh, tapi tunggu dulu! Bukannya para pelanggar aturan di negara kita mayoritas memang berasal dari orang-orang yang memiliki jabatan?
Pertanyaannya sekarang, apakah perlu diadakan kelas logika dasar untuk orang-orang tadi? Alasannya sangat sederhana. Seorang muslim yang hendak menjalankan ibadah individual saja, syarat wajibnya adalah berakal sehat. Lha ini, kok bisa-bisanya ada orang yang berurusan dengan kemaslahatan kolektif, tapi tak punya akal sehat!? Mungkin saya harus lebih ‘berpikir positif’. Siapa tahu aturan yang berlaku untuk menjadi pemangku jabatan tidak sama dengan aturan dalam beribadah. Contohnya, tidak harus punya akal sehat dan hati nurani.
Bullying—menurut saya pribadi—adalah wujud penjajahan versi lite. Jika ia dinormalisasi, efek buruknya tak hanya pada korban melainkan juga pelaku. Para pem-bully yang tindakannya dibiarkan saja oleh orang-orang di sekitarnya, akan tumbuh mental penindas dan hilangnya rasa belas kasih pada dirinya. Perkara ini di kemudian hari sangat berpotensi melahirkan sosok-sosok kriminal baru. Jadi sederhananya, saat kita menormalisasi bullying, secara tidak langsung kita ikut andil dalam membuat keresahan di masyarakat di kemudian hari.
Faktor banyak, tapi harus segera diselesaikan
Peran orang tua tentu di sini tak dapat dikesampingkan. Bagaimana pun, pihak yang menjadi saksi utama perkembangan anak adalah orang tua. Bisa jadi, para bully itu sering mendapat kekerasan dari orang tuanya, sehingga mereka pun melakukan hal yang serupa terhadap lingkungan sekitarnya. Kita harus selalu ingat bahwa pada dasarnya anak-anak itu bagaikan kertas putih yang benar-benar bersih. Ada berbagai faktor yang kemudian mengubah warna mereka.
Mungkin perkara tindakan orang tua terhadap anak ini bisa pelan-pelan kita perbaiki. Namun, bagaimana jadinya bila masalah bullying ini berkelindan dengan urusan uang?
Sering kali saya curiga ketika pihak sekolah cenderung membela si pem-bully, alih-alih melindungi korban. Jangan-jangan pihak sekolah memang diminta untuk tutup mulut oleh orang tua pelaku, tentunya dengan “imbalan yang setimpal”. Atau malah pihak sekolah yang memberi tawaran pada orang tua pelaku untuk menutupi kasus bullying tersebut!?
Ini kecurigaan lho. Bisa jadi salah, bisa jadi.
Bullying lestari karena pemegang kuasanya cacat nalar
Jika memang demikian yang terjadi, saya yakin tak sedikit di antara kita yang berkenan misuhi dan meludahi para oknum tersebut. Bagaimana tidak!? Para oknum itu telah meletakkan nalar dan nurani di bawah septic tank dan menjadi budak hina di hadapan uang. Pertanyaannya, apakah praktik semacam itu mungkin terjadi? Ya jawabnya sih, mungkin-mungkin saja.
Ketika saya melihat kasus bullying di sekolah belakangan—dan bagaimana respons sekolah terhadapnya—kerap terbersit dalam pikiran saya bahwa tampaknya terlalu utopis bila saya mengharapkan lingkungan sekolah yang aman untuk semua pihak.
Sebab, ya, sederhana: yang punya kekuasaan cacat nalar.
Penulis: Mohammad Azharudin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bullying Masih Subur karena Sekolah Lebih Fokus Ngurusin Rambut dan Kaos Kaki