Mitos Kuliner Solo Itu Manis: Apakah Lidah Orang Solo Benar-benar Berbeda?

4 Kuliner Solo yang Wajib Dicicipi Setidaknya Sekali Seumur Hidup Mojok.co

4 Kuliner Solo yang Wajib Dicicipi Setidaknya Sekali Seumur Hidup (wikipedia.org)

Saya masih ingat betul pengalaman pertama kali makan di Solo. Waktu itu, saya baru pindah ke Solo untuk kuliah. Sebagai anak rantau yang lahir dan besar di kota lain, saya sangat excited untuk mencoba berbagai kuliner khas Solo yang sudah terkenal dimana-mana.

Pagi itu saya semangat banget pesan nasi liwet di warung dekat kos-kosan. Begitu suapan pertama masuk ke mulut, saya langsung kaget. Kok manis? Saya pikir mungkin kebetulan saja, atau mungkin tukang masaknya salah kasih bumbu. Tetapi ternyata, itu baru awal dari serangkaian kejutan kuliner yang akan saya alami selama tinggal di Solo.

Sore harinya saya coba beli soto. Manis. Esok harinya nyobain tengkleng. Manis juga. Bahkan sambal pecelnya pun ada rasa manisnya. Astaga, apakah orang Solo ini punya reseptor rasa yang berbeda dengan manusia normal? Atau jangan-jangan lidah saya yang bermasalah?

Shock Pertama: Semua Serba Manis

Sebagai orang yang tumbuh dengan masakan yang cenderung gurih dan sedikit pedas, saya benar-benar mengalami culture shock kuliner. Di kota asal saya, gula itu biasanya untuk bikin teh manis atau kue. Tetapi di Solo, rasanya gula dipakai untuk hampir semua masakan.

Yang paling bikin saya tidak terima adalah saat pertama kali makan timlo. Saya pikir ini sup ayam biasa yang pasti gurih dan segar. Eh, begitu cicip kuahnya, ada rasa manis yang cukup dominan. Saya sampai bengong dan berpikir, “Ini sup atau dessert sih?”

Beberapa teman kuliah saya yang juga anak rantau mengalami hal serupa. Kami sering berkumpul dan saling curhat tentang betapa sulitnya beradaptasi dengan cita rasa masakan Solo. Ada yang sampai bawa bumbu dari kampung halamannya karena tidak tahan dengan masakan Solo yang serba manis.

Yang lebih parah lagi, kalau kami komplain ke teman-teman lokal Solo, mereka malah balik bertanya, “Loh, emang manis ya? Biasa aja tuh.” Nah loh, ini yang bikin saya makin yakin kalau lidah orang Solo memang beda sama lidah manusia pada umumnya.

Teori di balik rasa manis kuliner Solo

Setelah tinggal beberapa tahun di Solo dan sering diskusi dengan teman-teman lokal, akhirnya saya mulai memahami mengapa masakan Solo cenderung manis. Ternyata ada alasan historis dan budaya di baliknya.

Pertama, pengaruh Keraton. Konon, masakan keraton Solo memang dirancang dengan cita rasa manis sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Gula jawa dulu adalah bahan yang cukup mewah, jadi penggunaan gula dalam jumlah banyak menunjukkan status sosial yang tinggi. Tradisi ini kemudian menurun ke masyarakat umum dan menjadi ciri khas kuliner Solo.

Kedua, faktor geografis. Solo dan sekitarnya adalah penghasil gula jawa yang melimpah. Jadi wajar saja kalau bahan ini banyak digunakan dalam masakan sehari-hari. Sama seperti orang pesisir yang masakannya cenderung asin karena dekat dengan laut, orang Solo masakannya manis karena dekat dengan kebun tebu.

Ketiga, fungsi gula sebagai pengawet alami. Di masa lalu ketika belum ada kulkas, gula digunakan untuk mengawetkan makanan agar tahan lebih lama. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga sekarang meskipun teknologi penyimpanan makanan sudah modern.

Perdebatan tanpa akhir: kuliner Solo enak atau tidak?

Yang menarik adalah perdebatan soal kuliner Solo ini tidak pernah selesai. Di media sosial, sering banget ada thread yang membahas soal rasa manis kuliner Solo. Dan setiap kali ada pembahasan ini, pasti ujung-ujungnya jadi debat kusir antara orang Solo dengan orang luar Solo.

Orang Solo bilang, “Kalian aja yang lidahnya tidak terlatih. Masakan Solo itu kompleks, ada manis, gurih, dan pedas dalam harmoni yang sempurna.”

Orang luar Solo (termasuk saya dulu) balik bilang, “Harmoni apanya? Yang ada cuma manis doang sampai nutup rasa yang lain!”

Beberapa teman saya yang sudah lama tinggal di Solo bahkan mengalami perubahan selera. Mereka yang dulu mengeluh tentang rasa manis kuliner Solo, sekarang malah kecanduan. Bahkan ada yang bilang kalau pulang kampung dan makan masakan kampung halaman, rasanya kurang sreg karena kurang manis. Luar biasa kan efek Solo terhadap lidah manusia?

Saya mulai terbiasa

Setelah beberapa tahun tinggal di Solo, saya harus mengakui sesuatu yang mengejutkan bahwa saya mulai terbiasa, bahkan menyukai rasa manis masakan Solo. Ini adalah pengkhianatan terbesar terhadap lidah saya sendiri.

Saya tidak tahu kapan persisnya perubahan ini terjadi. Yang jelas, suatu hari saya mendapati diri saya sedang makan nasi liwet dengan lahap tanpa komplain soal rasa manisnya. Bahkan saya mulai bisa membedakan mana nasi liwet yang pas manisnya, mana yang kurang manis.

Yang lebih gila lagi, saat saya pulang kampung beberapa bulan lalu dan makan masakan rumah, saya malah merasa ada yang kurang. Iya, saya kangen rasa manis masakan Solo! Ini adalah momen di mana saya menyadari bahwa saya sudah terlalu lama di Solo dan lidah saya sudah “rusak” total.

Beberapa teman rantau saya juga mengalami hal serupa. Kami sekarang malah suka bercanda kalau kami ini sudah “ter-Solo-kan” dan tidak bisa balik lagi ke selera kuliner asal kami. Bahkan ada teman yang bilang, “Kayaknya kalau pindah dari Solo nanti, aku bakal bawa gula jawa sekarung buat masak sendiri.”

Bukan soal benar atau salah, ini soal selera

Setelah mengalami perjalanan panjang dari menolak hingga menerima rasa manis kuliner Solo, saya jadi paham bahwa ini bukan soal benar atau salah. Ini murni soal selera dan kebiasaan yang terbentuk dari lingkungan dan budaya.

Tidak ada yang salah dengan kuliner Solo yang manis. Tidak ada juga yang salah dengan orang yang tidak suka rasa manis dalam masakan. Sama seperti orang Padang yang suka masakan pedas, orang Manado yang suka masakan sangat pedas, atau orang Jakarta yang suka masakan gurih asin, orang Solo punya preferensi rasa sendiri yang terbentuk dari sejarah dan budaya mereka.

Yang penting adalah menghargai perbedaan ini. Kalau kamu anak rantau yang baru pertama kali ke Solo dan shock dengan rasa manis masakannya, percayalah, itu normal. Beri waktu untuk lidahmu beradaptasi. Siapa tahu beberapa tahun kemudian kamu malah jadi penggemar setia nasi liwet dan timlo Solo.

Jadi, apakah lidah orang Solo benar-benar berbeda? Mungkin tidak secara biologis. Tetapi secara budaya dan kebiasaan, jelas berbeda. Dan perbedaan itu yang membuat Indonesia punya kekayaan kuliner yang luar biasa.

Buat kamu yang belum pernah ke Solo dan penasaran dengan rasa manis masakan di sini, datang saja dan buktikan sendiri. Siapa tahu kamu malah jatuh cinta. Atau minimal, kamu punya cerita seru untuk dibagikan ke teman-teman tentang betapa “anehnya” lidah orang Solo. Yang jelas, jangan judge dulu sebelum mencoba. Seperti kata pepatah, “Tak kenal maka tak sayang, tak mencoba maka tak tahu betapa manisnya masakan Solo.”

Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 10 Kuliner Khas Solo yang Paling Bisa Bikin Kaget Warga Jogja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version