Pada 2021 lalu, outlet Mie Gacoan di Kotabaru Jogja sempat berkasus dengan driver ojol. Sejak geger gedhen yang menghebohkan itu, Mie Gacoan memperoleh exposure yang luar biasa tinggi. Banyak orang yang bertanya-tanya seenak apakah Gacoan yang memicu kerusuhan itu. Rasa penasaran tersebut menjadi awal ekspansi Mie Gacoan ke seluruh Indonesia.
Lantas apakah rasa menu yang ditawarkan Mie Gacoan sebanding dengan kehebohan pemberitaannya? Jawabannya ternyata berbeda-beda. Tidak sedikit yang menilai Gacoan overrated. Rasa makanannya nggak begitu istimewa untuk diperjuangkan dalam antrean panjang. Bahkan banyak yang lebih menyukai dimsumnya, yang notabene sebagai side dish, ketimbang mie yang menjadi jualan utamanya.
Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap Mie Gacoan
Sebenarnya Mie Gacoan mengadaptasi cwi mie asal Malang yang dimodifikasi dengan memberikan pilihan level kepedasan. Ada juga opsi mie manis yang sebenarnya nggak umum untuk tipe mie ayam Malangan.
Secara konsep, cwi mie adalah hidangan yang sangat sederhana dan tergolong comford food. Nggak ada bumbu yang aneh-aneh karena kunci kelezatannya ada di minyak aromatiknya dan ketepatan meracik micin serta garam. Topping ayam pada cwi mie digiling halus dengan rasa yang sangat light. Benar-benar tipikal makanan yang cita rasanya main aman saja, dan memang harus begitu adanya.
Berbeda sekali dengan tipe mie ayam lainnya yang penggunaan bumbunya lebih kompleks. Misalnya saja mie ayam Wonogiri yang lebih kaya rasa dan secara keseluruhan lebih medhok. Mau digadoin toping ayamnya saja juga sudah enak.
Maka saya nggak heran jika orang-orang di luar Jawa Timur merasa biasa saja dengan konsep mie yang ditawarkan Mie Gacoan. Sebab rasanya memang terlalu sederhana, tapi mudah diterima berbagai selera lidah.
Selain itu, Mie Gacoan memang dikonsep kering. Satu-satunya cara untuk membuatnya tetap moist adalah dengan tidak pelit memberi minyak bumbu sewaktu proses peracikan. Maka dari itu kita sering menjumpai Mie Gacoan yang sangat berminyak. Mienya juga akan menggumpal seperti mie goreng bekal renang jika dibungkus dan tidak segera dimakan.
Bagi sebagian orang, terutama jika mereka terbiasa dimanjakan dengan mie ayam Wonogirian, kedua masalah tersebut memang sangat mengganggu. Bahkan bisa bikin mereka kapok memesan mie di outlet Mie Gacoan.
SOP resep yang kurang seragam
Salah satu penyakit Mie Gacoan yang sangat mengusik adalah kurangnya kontrol terhadap standar resep. Dalam satu kota saja, rasa dari masing-masing outletnya bisa berbeda.
Saya masih bisa memahami jika level pedasnya nggak konsisten. Kadang level 1 rasanya sudah pedas banget, tapi ada juga yang level 3 belum terasa pedasnya. Barangkali inkonsistensi level kepedasan ini dipicu fluktuasi harga cabai. Mengingat harga menu yang murah, saya rasa kita nggak bisa protes terlalu keras.
Namun sangat disayangkan jika penakaran bumbunya yang nggak konsisten. Ada outlet yang rasa mienya cenderung hambar, ada juga yang malah keasinan sampai bikin pusing. Takaran minyaknya juga nggak seragam. Beberapa kali saya menjumpai outlet Mie Gacoan yang lebih berminyak dibandingkan tempat lainnya. Dan mirisnya, kejadian ini bisa terjadi di satu kota yang sama.
Dalam satu kota saja, kualitas Mie Gacoan bisa berbeda-beda. Hal ini membuat keramaian pengunjung tidak merata. Bukan karena pemilihan lokasi outlet yang tidak strategis, melainkan memang ada favoritisme. Sebagai pelanggan yang nggak mau rugi, tentu kita akan memilih outlet yang menawarkan kualitas paling baik. Toh harganya sama dan lokasinya sama-sama terjangkau.
Saran agar menu utamanya nggak kalah pamor dari menu pendamping
Dari berbagai ulasan yang sudah saya pelajari, kritik untuk Mie Gacoan sebenarnya selalu sama di semua tempat. Khusus untuk meningkatkan kualitas mie sebagai menu utama, saya memiliki beberapa masukan.
Pertama, buat SOP resep yang seragam. Rasanya sangat tidak menyenangkan mendapati makanan dengan rasa tidak konsisten. Sebagai bisnis waralaba, konsumen tentu mengharapkan makanan yang rasanya sama di semua cabang Gacoan. Apalagi konsep menu Gacoan sangat sederhana dan bahannya nggak aneh-aneh, jadi sedikit kesalahan saja bisa membuat satu hidangan rasanya ambyar. Kalau nggak konsisten begini, pelanggan seperti main lotre, kadang untung tapi banyak juga apesnya.
Kedua, banyak yang banget lho yang mengeluhkan mie terlalu kering. Coba deh pihak Gacoan mempertimbangkan add on kuah kaldu untuk membasahi lagi mienya sebelum disantap. Sebab nggak semua penikmat Mie Gacoan adalah orang Malang yang terbiasa dengan cwi mie bertekstur kering. Orang Malang pun masih sering minta kuah kok untuk cwi mienya.
Selain tambahan kuah, coba juga untuk menyediakan tambahan sayur dan acar. Tidak sedikit yang menghindari Mie Gacoan karena makanan di sini tidak sehat dan minim serat. Dengan menyediakan add on sayur dan acar, akan lebih banyak selera yang terakomodasi oleh Mie Gacoan.
Saya rasa Mie Gacoan harus lebih mendengarkan suara konsumen, dan menjadikannya bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas. Sudah banyak lho usaha makanan di luar sana yang meniru konsep Mie Gacoan (walaupun Gacoan awalnya juga meniru). Kalau terus-menerus bebal dan nggak mau berbenah, bisa-bisa pelanggannya bakalan kabur ke kompetitor lainnya.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Sama-sama Punya Banyak Cabang, Kenapa Mixue Makin Sepi sementara Mie Gacoan Selalu Ramai?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
