Sudah beberapa minggu terakhir, saya kembali menggunakan Suzuki Hayate 125 menggantikan Yamaha Aerox yang sebelumnya menjadi andalan. Keputusan ini bukan sekadar pilihan praktis, melainkan sebuah pengalaman yang membawa saya pada gaya hidup berbeda—slow living. Motor ini, yang merupakan penerus dari Suzuki Skywave 125, adalah salah satu produk yang bisa dibilang tidak terlalu sukses di pasaran. Di jalanan, jarang sekali saya berpapasan dengan pengguna motor ini. Paling-paling, polisi yang menggunakan motor dinas serupa, itupun kalau belum diganti model baru. “Hayoo, sing isih do makai motor iki, kowe pancen ket seleksi alam!”
Keberadaan Suzuki Hayate yang masih terawat bagaikan harta karun. Kalaupun ada motor Suzuki yang terawat dengan baik, biasanya tipe Satria FU yang lebih populer. Model lain, termasuk Hayate, sering kali terlihat seadanya, atau bahkan dibiarkan terlantar.
Tidak hanya itu, mencari bengkel resmi Suzuki yang melayani dengan baik adalah tantangan tersendiri. Rasanya seperti mencari oase di tengah gurun Sahara—langka dan melelahkan. Ironisnya, bengkel tidak resmi justru menawarkan layanan lebih ramah dengan harga yang lebih bersahabat, terutama bagi karyawan kelas menengah seperti saya. Mending ndang bengkel ndok Jo utawa ndok Wak, yang penting servismu kelar dan dompetmu tidak menangis!
Daftar Isi
Kenapa Beralih dari Yamaha Aerox ke Suzuki Hayate?
Keputusan kembali menggunakan Suzuki Hayate berawal dari kebutuhan yang sederhana, tetapi penuh pertimbangan. Salah satunya adalah faktor usia dan kenyamanan tubuh. Dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang padat dan semakin sulit untuk bermanuver, menggunakan Yamaha Aerox terasa kurang ideal. Dimensinya yang besar membuat manuver cepat menjadi tantangan tersendiri.
Sebaliknya, Suzuki Hayate 125 yang lebih ramping menawarkan kelincahan di jalanan. Selap-selip di antara kendaraan terasa lebih mudah dan menyenangkan, meskipun ada harga yang harus dibayar, yaitu konsumsi bensin yang boros. Yo jelas boros, ini karbu, Bos, tidak seperti injeksi modern yang bergantung dengan teknologi.
Namun, meskipun boros bensin, Hayate memiliki daya tarik tersendiri. Motor ini mengajarkan saya untuk lebih sabar, memperhatikan hal-hal kecil, dan menghargai proses. Inilah yang kemudian membawa saya pada konsep slow living—gaya hidup yang mengutamakan ketenangan, kesederhanaan, dan keberlanjutan.
Motor Suzuki dan Filosofi Slow Living
Menggunakan Suzuki Hayate 125 bukan hanya soal memiliki kendaraan untuk mobilitas. Ada nilai-nilai yang secara alami muncul dari pengalaman ini. Sebagai pengguna motor Suzuki, terutama model seperti Hayate, Anda akan merasa seperti bagian dari minoritas. Ini motor tidak seperti merek lainnya yang mudah ditemukan. Sing duwe pancen kudu wong-wong pilihan, wong sing ora gampang sambat!
Salah satu tantangan utama menggunakan motor ini adalah ketersediaan suku cadang. Tidak seperti merek populer lainnya yang menawarkan beragam opsi, termasuk suku cadang KW dengan harga murah, Suzuki lebih banyak menyediakan produk asli (original). Harga suku cadang yang cenderung lebih mahal memaksa kita untuk lebih bijak dalam merawat motor dan memutuskan perbaikan.
Ini melatih kesabaran dan perencanaan jangka panjang—dua hal yang menjadi inti slow living. Nek ora sabar, wis ndang tuku merk sebelah wae sing gampang golek onderdile. Ora usah makai Suzuki. Sing penting ora sambat wae le, ra cocok kowe!
Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa segala sesuatu dalam hidup tidak selalu bisa berjalan cepat atau instan. Ketika Anda memiliki motor Suzuki, Anda tidak hanya “menggunakannya”; Anda merawatnya, memikirkan detail-detail kecil, dan menerima bahwa proses itu sendiri adalah bagian dari kenikmatan.
Baca halaman selanjutnya: Menikmati proses, bukan hanya hasil…
Menikmati proses, bukan hanya hasil
Salah satu hal menarik dari Suzuki Hayate adalah ia mengajarkan untuk menikmati perjalanan, bukan sekadar sampai di tujuan. Dengan bensin yang boros dan tantangan mencari bengkel resmi, Anda belajar untuk mempersiapkan segalanya lebih baik. Misalnya, Anda harus lebih memperhatikan kapan waktu servis terakhir, bagaimana kondisi mesin, hingga mengantisipasi jika ada komponen yang mulai aus. Semua ini adalah proses yang, jika dijalani dengan sabar, memberikan rasa kepuasan tersendiri. Ora mung kenceng tur tekan, nanging carane tekan iku sing kudu dinikmati.
Di sisi lain, motor ini juga membantu Anda untuk lebih selektif dalam berkendara. Ketika bensin menjadi lebih mahal, Anda akan cenderung merencanakan perjalanan dengan lebih hati-hati, menghindari perjalanan yang tidak perlu. Pada akhirnya lebih menikmati setiap kilometer yang Anda tempuh.
Suzuki Hayate, kendaraan biasa dengan pelajaran luar biasa
Bagi banyak orang, motor hanya alat transportasi. Namun, bagi saya, Suzuki Hayate 125 adalah lebih dari itu. Ia adalah pengingat bahwa kecepatan bukanlah segalanya. Terkadang, hidup perlu dijalani dengan lebih pelan untuk menemukan kebahagiaan dalam detail-detail kecil. Motor ini mengajarkan saya untuk memperhatikan hal-hal yang sering terlewatkan, dari merawat kendaraan hingga menghargai waktu yang saya habiskan di perjalanan.
Pilihan untuk kembali menggunakan Suzuki Hayate mungkin tidak populer, tetapi justru di situlah letak keistimewaannya. Dalam dunia yang serba cepat ini, memiliki sesuatu yang mengingatkan kita untuk melambat adalah sebuah anugerah. Jadi, jika Anda mencari cara untuk mempraktikkan slow living dalam kehidupan sehari-hari, mungkin inilah saatnya mempertimbangkan kendaraan seperti Suzuki Hayate. Karena pada akhirnya, perjalanan itu sendiri yang memberi makna, bukan seberapa cepat Anda mencapainya.
Penulis: Abrurizal Wicaksono
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ribut-ribut Honda Atau Yamaha, Padahal yang Terbaik Tetap Suzuki