Menyelami Pikiran Kawan Hedon yang Hobi Minta Utang

uang utang

uang utang

Di titik saat saya menuliskan hal ini, sungguh sedalam-dalamnya saya mencoba untuk merelakan uang saya tak kunjung dikembalikan oleh rekan-rekan penganut hedonisme yang begitu eksis di media sosial.

Apakah setelah tulisan ini selesai maka usai pula rasa penasaran saya? Entahlah. Yang jelas, saya hanya bermaksud untuk berempati terhadap mereka yang berutang pada saya, mengulur waktu kalau ditagih tetapi gaya hidupnya bak sosialita yang biasa saya lihat di majalah seharga iuran BPJS.

Tulisan ini bermaksud untuk menyelami, apa yang sebenarnya ada di dalam benak para tukang utang yang berani-beraninya menunjukkan kehedonan di media sosial. Yah, seperti kata orang bijak, kalau kamu mau memahami pikiran seseorang, maka masukilah tubuhnya, gunakan kulitnya sebagai kulitmu. Kira-kira begitu.

Sekarang, mulai dari paragraf ini, saya di sini artinya tukang utang yang hedon yang mewakili tokoh teman saya.

Ketika bangun tidur, saya melihat dua hal yang bertolak belakang: rekening dan juga media sosial. Media sosial menunjukkan kepada saya tentang makna YOLO alias You Only Live Once. Maka, saya pun mendadak ingin memeluk seluruh dunia, menyambangi sudutnya satu per satu dan menghamburkan uang di sana.

Sayangnya, rekening menunjukkan bahwa bagi dunia ini, keberadaan saya tak berarti apa-apa. Namun, saat melihat media sosial, otak saya pun mengingatkan: kamu punya beberapa kenalan yang menganggap keberadaanmu cukup penting. Namanya adalah ‘teman dekat’.

Singkat cerita, saya pun kemudian menghubungi mereka dan berkata kalau saya sangat membutuhkan bantuan. Bantuan ini tentunya berupa uang tunai, penambahan digit angka di rekening saya. Ah, mereka pasti punya belas kasihan yang besar! Tentu saja, bagi mereka, saya adalah salah satu sudut dunia yang cukup penting: mereka punya kenangan tentang saya.

Kemudian, uang itu saya gunakan untuk menyambung hidup: makan, nonton film, minum kopi. Soalnya, uang gaji atau uang dari orangtua sudah habis. Dan buat kalian yang hobi mengkritik, ingat-ingat ya, bahwa menonton film adalah kebutuhan primer untuk jiwa, begitu juga mengonsumsi kopi kekinian dengan campuran red velvet dan gula jawa.

Nanti, pada tanggal tertentu, saya akan mendapatkan uang. Tentu sebetulnya, jauh di lubuk hati yang paling dalam, saya bermaksud untuk mengembalikan uang teman saya. Namun, saya rasa kalau uang itu dihabiskan untuk membayar utang, lantas dengan apa saya akan makan di restoran? Membayar dompet digital? Belum lagi, setelah Avengers: Endgame, datang Detective Pikachu, kemudian apa lagi? Para sineas  kapitalis yang tak henti-hentinya mengeruk uang saya!

Lagipula, kawan saya ini sungguh beruntung. Hidupnya teratur. Suaminya cukup mapan. Uang tiga ratus empat ratus ribu tak berarti bukan baginya? Plus, dia belum menagih saya dan tak bilang bahwa saya harus membayar, kok!

Maka, saya pun merasa kalau utang itu tak perlu dibayar secepatnya. Bukannya hubungan persahabatan hampir sekental darah?

Suatu hari, entah mengapa teman saya itu menagih utang. Sungguh waktu yang tak tepat! Saya sedang tak punya uang. Teman saya ini baru pulang dari Singapura, jadi saya pikir uang segitu tidak berarti baginya, kan? Maksud saya, bayangkan, biaya hidup di Singapura itu kan tinggi.

Jadi, saya bilang kepadanya bahwa saya sedang tak punya uang dan baru akan mendapatkan uang bulan depan. Untungnya atas nama pertemanan, dia berkata tak masalah. Dan semenjak saat itu, dia tak pernah menagih saya lagi.

Lalu, apakah salah saya bila di kemudian hari, saya mendapatkan omongan buruk yang berasal dari teman saya tersebut? Bukankah dia yang kemudian tak menagih lagi?

Saya pikir, kalau dia tegas kepada saya terkait utang tersebut, saya bisa mengusahakannya. Masalahnya, cara teman saya begitu amical, alias hangat. Kalau sudah begini, siapa yang munafik?

Dan tolonglah, para bapak dan ibu pembuat kebijakan. Gaji anak muda zaman sekarang begitu kecil. Katanya teknologi itu penting, tetapi, giliran kami menggunakan uang untuk meng-upgrade gawai serta menonton film, mengapa kami dihardik?

 

Nah, begitulah. Saya sudah selesai menyelami pikiran teman-yang-berutang-tapi-hedon-dan-tak-kunjung-bayar-utang. Sungguh, saya ingin berpikir bahwa teman saya baik dan tak layak dicoret dari daftar pertemanan. Namun, kadang saya merasa sakit hati bila tetes keringat saya saat bekerja dikonversi jadi caramel latte dengan harga berlipat-lipat ganda.

Exit mobile version