Menjenguk Cak Rusdi di Rumah Sakit

cark rusdi

cark rusdi

Apa yang terlintas dibenakmu ketika mendengar nama Cak Rusdi? Rata-rata orang—yang memiliki buku atau sekadar membaca tulisan beliau di media daring—pasti mengenali siapa sosok dibalik nama itu.

Beliau lahir di Situbondo, Jawa Timur pada 12 Oktober 1967. Ia adalah seorang wartawan senior, ia selalu menjalankan tugas sebagai seorang jurnalis dengan penuh keuletan serta dedikasi tinggi. Sejak lama ia terkenal sebagai wartawan yang tak mau menggunakan alat perekam. Sosoknya yang humoris membuatnya semakin digemari banyak orang.

Ia punya banyak cerita komedi yang datang dari pengalamannya disaat ia sedang bekerja mewawancarai narasumber.

Salah satu kisahnya dituturkan oleh juniornya, kala itu ia pernah menyamar menjadi seorang Kristen dan ikut kebaktian di gereja demi bisa mewawancarai seorang narasumber. Di saat kebaktian itu, ia dengan santainya duduk bersebelahan dengan narasumber, dan ketika ia mulai khusyuk berdo’a, dengan sigap Cak Rusdi menepuk pahanya, lalu menyodorkan kartu nama, bilang, “saya dari Info Bank”.

Kali lain, ketika ia bertugas ke Sampang, Madura untuk mencari berita tentang kerusuhan di Sampang pada 2012. Saat itu ia dicurigai oleh salah satu kelompok. Dan bertanyalah salah seorang dari mereka.

“Anda siapa? Dari mana?”

“Saya Wartawan, Cak. Dari Jakarta.”

“Oh, wartawan media apa?”

“Saya wartawan freelance.”

“Oh, mana majalah freelance-nya? Saya mau lihat.”

Cerita di atas adalah salah dua, dari sekian banyak cerita yang pernah diceritakan olehnya. Ia pun kerap berpesan kepada para juniornya, kalau menjadi seorang wartawan, selera humor harus tinggi. Saya fikir benar juga, mengingat kerja wartawan bukan main-main dan penuh resiko, seperti ancaman fisik dan mental, serta dibutuhkan kesabaran ekstra dalam mewawancarai narasumber yang tak jarang susah sekali bahkan menolak untuk diwawancarai oleh sebab tertentu.

Pria kurus berambut gondrong itu juga pernah berpesan pada juniornya. “Kalau sedang menulis ya menulis saja. Jangan membuat judul dahulu. Tulis saja sampai beres, edit, baru sematkan judul”. Masalah reportase, sebagai kekayaan tulisan feature, ia pernah berkata, “Anda ke lokasi rasakan apa yang orang-orang rasakan, lihat apa yang anda lihat, dan dengar apa yang anda dengar. Lalu tulis!”. Dan pesan lainnya, “Tulisan anda itu dibaca tukang becak, kuli, dan sebagainya. Jangan pakai istilah yang anda sendiri nggak ngerti artinya.”

Menurut saya pribadi, dan mungkin juga anda, Cak Rusdi adalah sosok yang memiliki daya kritis, kreatifitas, dedikasi, dan tentu kredibilitas yang tak diragukan lagi dalam dunia jurnalistik dan tulis-menulis, ia pun memiliki jam terbang yang cukup tinggi, dan tak jarang mendapat ancaman, beberapa kali ia pernah diancam ketika bertugas, seperti disiram air comberan, ditodong senjata, hingga digampar ajudan karena bersikukuh mewawancarai narasumber yang memang enggan diwawancarai.

Berkat kegigihan serta keuletannya di dunia jurnalistik, beberapa media online maupun offline meliriknya dan merekrutnya sebagai wartawan. Dalam dunia jurnalistik, beliau pernah bekerja sebagai wartawan lepas Suara Pembaruan, redaktur Infobank, dan Detik. Berbagai posisi penting pun pernah ia sandang. Sebut saja, anggota staf PDAT majalah Tempo, redaktur majalah Trust, redaktur pelaksana Koran Jakarta, Pemred VHR Media, dan terakhir sebagai redaktur eksekutif Rimanews.

Tidak berhenti sampai situ, ia juga pernah menjadi peserta crash program reportase investigasi (ISAI Jakarta) di Bangkok, Thailand, serta pernah mendapat penghargaan untuk penulisan berita terbaik dari beberapa lembaga. Dan buku-bukunya, Merasa pintar, Bodoh Saja tak Punya, Laki-Laki yang tak Berhenti Menangis, Karena Jurnalistik Bukan Monopoli Wartawan, Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam, dan Allepo.

Hingga pada akhirnya Cak Rusdi harus menerima kenyataan bahwa didalam tubuhnya terdapat penyakit yang secara perlahan namun pasti menggerogoti tubuh kurusnya, tumor tulang yang terus tumbuh di punggung dan di leher sebelah kiri. Di sini, ia berjuang sekuat tenaga hingga titik darah penghabisan. Keluarga, sahabat, serta orang-orang yang dikenali atau sebaliknya yang kenal dengannya turun tangan langsung, membantu penyembuhan Cak Rudi, istilah ini dikenal sebagai social supporting system.

Selama Cak Rusdi dirawat di rumah sakit, ia selalu menyempatkan untuk merekam seluruh kejadian yang ia alami, yang kemudian ia abadikan dalam buku Seperti Roda Berputar. “Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup. Menulis adalah pekerjaan saya. Karena itu saya mencoba menulis menggunakan gadget, meskipun hanya dengan satu jari. Tangan kiri memegang gadget, jempol tangan kanan mengetik,” begitu ujarnya. Ini menandakan seorang Rusdi Mathari adalah sosok yang sangat disiplin dan militan dengan dunia tulis-menulis, tak peduli seberapa sakit dan dalam keadaan terhimpit sekalipun, aktivitas menulis telah mendarah daging dan tak akan terpisah dari laku hidupnya, terkecuali ruh telah diambil oleh-Nya.

Pada catatan pertamanya di penghujung tahun 2016 (Jakarta, 31 Desember 2016) yang diberi judul “Perayaan”, dalam catatan itu ia berkisah tentang seorang pemuda yang bernama Ali Banat, seorang pengusaha muda kaya asal Sydney Australia, hampir seluruh barang yang dikenakannya bermerek Louis Vuitton. Tetapi hidupnya berubah 180°, ketika ia mengunjungi kuburan kawannya yang mati diserang kanker.

Dari sana ia tersadar bahwa harta yang ia miliki tak akan membawanya pada kebahagiaan hakiki, kebahagiaan yang sesungguhnya hanya didapat ketika kita mendermakan atau mensedekahkan harta kepada mereka yang membutuhkan atau yang berhak menerima. Lantas Ali mendermakan seluruh barang berharganya untuk anak-anak Afrika.

Kisah itu adalah salah satu kisah yang pernah Cak Rusdi saksikan sendiri, betapa penderita kanker memang tak berdaya dan mati. Dan kini kanker itu bersarang di tubuhnya. Ada dua tempat di mana kanker itu bersarang, yakni di leher sebelah kiri dan di punggung yang begitu rajin menggergaji tubuh ringkihnya.

Tetapi Cak Rusdi tak mengeluh dengan adanya penyakit yang bersarang di tubuhnya. Malah justru karena sakitnya ia memiliki banyak waktu untuk menikmati karunia kesendirian yang tak ia sadari: menghirup udara, menyegarkan mata, beristirahat, dan terutama untuk berdamai dengan diri sendiri.

Pada catatan selanjutnya (Jakarta, 9 Oktober 2017). Cak Rusdi merasakan adanya benjolan di bagian tengah punggung dan leher bagian kiri. Yang sebelumnya diduga syaraf punggung terjepit, tetapi dugaan itu salah, rasa sakit itu datang dari tumor yang perlahan mulai mengekspansi diri Cak Rusdi, lalu dengan perlahan pula melumpuhkan dirinya, untuk tidak dapat lagi beraktivitas sebagaimana mestinya orang sehat. Tetapi ada satu hal yang tak bisa dilumpuhkan, daya juang dan semangatnya untuk tetap bertahan dan hidup.

Dan dari situlah Cak Rusdi mulai mendapatkan perhatian intensif dari dokter onkologi (ahli kanker) dan ortopedi untuk memeriksa punggung dengan cara MRI (pemindaian intensif lewat medan magnetik), dan dari situ diketahui terdapat lima ruas yang hancur karena disergap kanker.

Dalam buku itu, kita bisa menengok secara langsung bertapa Cak Rusdi yang sedang terbaring lemah di brankar, berjuang untuk tetap bertahan dan hidup. Dan di saat kritis, ia masih tetap menulis dengan menggunakan gadget, tangan kiri memegang gadget, jempol tangan kanan mengetik.

Waktu berlalu sangat cepat, tepat di hari Jum’at, 2 Maret 2019, pukul 06.50. Di rumah kecil di tepi Setu Babakan, Srengseng Sawah, perjuangan Cak Rusdi dalam melawan rasa sakit itu berakhir. Ia telah menghembuskan napas terakhir, seluruh keluarga, kawan, sahabat, juga pembaca setianya telah kehilangan sosok yang penuh dedikasi, disiplin, peduli, dan penuh kasih sayang itu.

Cak Rusdi boleh tiada, tapi karya-karyanya akan selalu abadi dan terpatri di setiap para pembacanya, merenungi setiap aksara, lalu mengamalkannya dalam laku hidup sehari-hari. Mudah-mudahan, itu menjadi amal jariyah bagi Almarhum.

Dari perjalanan hidup Cak Rusdi, dapat kita petik ibrah bahwa ada banyak cara menjadi orang baik, alim, dan memiliki budi pekerti luhur nan bijaksana. Tentu tidak melulu berjuang mati-matian demi menyandang gelar ustaz, ulama, atau seorang cendekiawan sekalipun.

Terakhir, bagi Cak Rusdi menulis itu seperti silaturrahmi. Dari tulisan yang tersiar darimu, kawan-kawan, dan sahabatmu akan tahu bahwa kamu masih sehat. Masih terbakar api semangat.

Di sini, kami selalu mengenangmu Cak, menjumpaimu kembali di setiap bait mahakaryamu yang tak lapuk dimakan waktu, yang tak usang ditelan zaman. Alfatihah.

Exit mobile version