Menjadi Aku Tidak Sekadar Menjadi Aku

menjadi aku

menjadi aku

[contact-form][contact-field label=”Nama” type=”name” required=”true” /][contact-field label=”Surel” type=”email” required=”true” /][contact-field label=”Situs web” type=”url” /][contact-field label=”Pesan” type=”textarea” /][/contact-form]

Tulisan ini bukan bermaksud menanyakan siapakah diriku sejatinya. Karena aku yakin, dalam diri ini dan semua manusia yang ada di bumi, kita semua adalah khalifah. Sesuai yang sudah difirmankan oleh-Nya. Tidak ada keraguan dalam diri akan hal itu. Aku ya aku, kamu ya kamu. Kalau aku dan kamu jadinya apa? Dadi gawe. Eaaa~

Jadi begini, pernahkan kalian semua berangan-angan. Seandainya kita dilahirkan bukan sebagai kita, apakah kita akan menjadi kita yang sekarang? Yang sedang kurang kerjaan memelototi website terminal Mojok. Atau gini, misalnya sekian detik yang lalu kita tidak membuka website Mojok apakah kita bisa sampai pada kondisi saat ini? Atau jalan hidup kita berbelok ke lain cerita. Sudah cukup bingung? Saya juga bingung nulis apa ini.

Sebagai umat beragama tentunya kita harus mengimani adanya takdir dan ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh Sang Maha Pemberi Hidup. Toh, kita hidup juga tidak meminta. Kita juga tidak ingat bagaimana kita sebelum menjadi kita sekarang.

Aku pernah membayangkan—enak sekali ya jadi anak presiden, terkenal, ke mana-mana dikawal, dan menjadi orang terpandang. Pernah juga membayangkan, enak sekali menjadi bayi yang baru lahir lalu meninggal beberapa hari atau bulan kemudian. Tidak perlu ikut merasakan hitam manis dan asam pahit kehidupan. Atau yang lebih ekstrim lagi, semisal aku diciptakan untuk menjadi semut, kambing, hingga menjadi gunung, bagaimana rasanya yha?

Pernah juga masuk dalam angan-angan, misalnya aku yang menjadi Mas Agus Mulyadi, Pemred Mojok—apakah aku bisa menjadi seperti Mas Agus yang sekarang? Atau bahkan pribadi Mas Agus ku bawa pada sosok yang ugal-ugalan. Itu hanya angan yhaaa~ Mas Agus ya Mas Agus, seperti itulah orangnya.

Begitupula diri ini—dengan segala kekurangan—sangat ku nikmati peran sebagai diriku saat ini. Makhluk lain pun juga sedang menjalankan perannya masing-masing. Setiap peran yang dijalankan tentunya sesuai dengan tokoh yang dimainkannya. Dalam bermain peran, kadang ada yang merasa tidak cocok memainkan peran si A, ingin mencoba menjadi sosok B, atau si C.

Manusia juga demikian, kadang ada atau bahkan banyak yang menginginkan agar dirinya menjadi seperti orang lain. Memandang kehidupan orang lain lebih menjanjikan dan enak untuk diperankan. Padahal, Sutradara tentunya sudah melakukan pembagian peran sesuai dengan jatahnya masing-masing. Urusan jalan cerita seorang tokoh, memang sudah ditetapkan dalam naskah yang sudah ada sejak lama. Jadi, ya kita tinggal menjalani peran itu, menjadi diri kita sendiri. Aku ya aku.

Tidak sedikit orang yang menemukan kekecewaan karena ingin merubah peran yang dijalaninya. Peran disini bukan semacam pilihan materialistis ya. Seperti ingin bekerja di tempat lain karena memandang gaji yang diperoleh orang yang bekerja disitu lebih tinggi. Itu bukan merubah peran. Hanya sebuah ekspresi lain dari peran yang sedang dijalaninya.

Peran yang dimaksud disini misalnya, si A memiliki kepribadian yang cepat, tanggap, ulet, dan selalu berambisi dalam bekerja. Pekerjaannya pun cepat selesai.  Sedang aku, misalnya. Selalu santai dalam bekerja, hingga menjadi malas akibat saking santainya. Namun, target pekerjaan tetap selesai tepat waktu.

Lalu dalam evaluasi bulanan di tempat kerja, ternyata si A memperoleh apresiasi dari atasan. Lantas, apa  perlu merubah diri kita harus seperti si A? Kalau aku sih tidak. Aku akan berdaulat pada diriku sendiri. Aku berdaulat atas peran yang kujalani. Bukankah setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mencapai output dari suatu pekerjaan. Dari Bandung ke Jakarta bisa lewat tol Purbaleunyi bisa juga lewat Cianjur. Garis finishnya tetap Jakarta. Begitu pula dengan hidup manusia, yang hanya sebentar ini.

Namun menjadi aku bukan berarti menjadi aku yang seenaknya saja, lantas kebablasan aku nya. Terlalu asyik dengan aku hingga lupa ada aku-aku yang lain sedang diperankan orang lain juga. Oleh karena itu, menjadi aku bukan sekadar menjadi aku, jadilah aku yang terbaik. Kalau hanya sekadar menjadi aku ya bakal biasa-biasa saja. Tidak ada tantangan dan kemuan untuk maju. Kalau jadi diriku yang terbaik, pasti bakal selalu ada kemauan untuk terus maju, memotivasi diri, dan berguna bagi orang lain.

Tulisan ini bukan sedang ceramah atau untaian kata-kata mutiara. Hanya menuangkan apa yang ada dipikiran. Bahwa, saya sedang menjalani salah satu skenario dalam peran di hidup ini, nulis di terminal mojok. Huhuhu~

Exit mobile version