Mengulik Lebih Dalam Desa Wisata di Jogja supaya Orang Tidak Salah Kaprah

Mengulik Lebih Dalam Desa Wisata di Jogja supaya Orang Tidak Salah Kaprah Mojok.co

Mengulik Lebih Dalam Desa Wisata di Jogja supaya Orang Tidak Salah Kaprah (unsplash.com)

Sebagai seseorang yang gemar berwisata, saya jelas senang apabila punya banyak pilihan tempat wisata di suatu daerah. Itu mengapa, bertumbuhnya desa wisata di berbagai daerah jelas jadi kabar yang menggembirakan. Persis seperti pembuka dalam tulisan Desa Wisata Jogja Menyimpan Sisi Gelap yang Perlu Segera Diperbaiki.

Namun, saya ingin mengkritik setidaknya dua hal dalam tulisan tersebut. Pertama, penyebutan Desa Wisata Ledok Sambi sebagai contoh dalam sub judul “Desa wisata Jogja melenceng dari konsep ideal” di awal tulisan. Penulis sebenarnya sudah dengan tepat menjelaskan soal bagaimana konsep desa wisata yang ideal. Seharusnya, desa wisata itu bergerak atas dasar komunitas yang mana merupakan penduduk desa. Merekalah yang saling berinteraksi di bawah pengelolaan desa dan punya kesadaran penuh memberdayakan potensi kepariwisataan desa mereka. Saya sepakat dengan pernyataan itu, tapi penulis menurut saya menunjukkan contoh yang salah, Desa Wisata Ledok Sambi! Menurut saya ini fatal karena Ledok Sambi bukanlah desa wisata, tapi destinasi wisata atau daya tarik wisata di Jogja. Pengelolanya setahu saya juga bukan Pokdarwis, Koperasi, atau Bumdes, yang biasanya jadi pengelola sebuah desa wisata, tapi perseorangan. Bisa dikatakan pihak swasta.

Memang, tempat yang punya nama lengkap Ledok Sambi Ecopark ini berada di Desa Wisata Sambi, tapi sekali lagi bukan desa wisata. Meski dikelola secara perorangan atau swasta, daya tarik wisata ini melibatkan masyarakat setempat. Misalnya, makanan yang dijual tempat ini merupakan produksi ibu-ibu PKK dari kampung tersebut.

Soal desa wisata di Jogja, Pemda DIY sendiri mengaturnya dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 40 Tahun 2020 tentang Kelompok Sadar Wisata dan Desa/Kampung Wisata.

Tidak sekadar melibatkan warga. Warga desa adalah motor desa wisata

Hal lain yang saya kritik dan cukup mengganggu ada dalam bagian akhir tulisan di sub judul, Kurangnya keterlibatan warga lokal. Penulis menyebutkan jika Desa Wisata Penglipuran Bali sebagai contoh baik pengelolaan desa wisata karena warga lokal dilibatkan. Sedikit meluruskan, bukan warga lokal dilibatkan, tapi memang pengelolanya adalah warga lokal, sesuai konsep dari desa wisata itu sendiri.

Nah, hal lain yang saya kritik adalah kalimat, tidak seperti banyak desa wisata lain yang diurus oleh pihak swasta. Syukur-syukur kalau pihak swasta bisa mengelolanya dengan baik dan melibatkan warga. Persoalannya, tidak sedikit juga swasta yang asal dan ugal-ugalan dalam mengelola wisata. Akibatnya, warga lokal justru terganggu dengan konsep desa wisata di desanya.

Maksud penulis desa wisata akan lebih baik kalau dikelola swasta? Atau desa wisata di Indonesia banyak yang pengelolaannya swasta? Padahal kan di awal penulis sudah menyampaikan bahwa esensi penting dalam konsep desa wisata adalah bergerak atas dasar komunitas yang mana merupakan penduduk desa atau dalam pengelolaannya berdasarkan community based tourism (CBT). Jadi apa sebenarnya pengertian desa wisata?

Mengulik arti desa wisata

Menjawab pertanyaan di atas, mari kita kulik dari arti desa wisata terlebih dahulu. Desa, kampung atau ada juga yang menyebut Gampong (biasanya di daerah Aceh) wisata merupakan sebuah kawasan dengan beragam potensi keunikan. Ini bisa dilihat dari sumber daya alam ataupun kearifan lokal yang dapat dikembangkan menjadi sebuah daya tarik wisata. Desa Wisata juga biasanya diinisiasi atau dikembangkan oleh komunitas/masyarakat setempat.

Saya sendiri lebih suka memaknai bahwa desa wisata merupakan sebuah konsep pengembangan pariwisata yang sifatnya holistik (membentuk ekosistem), dikelola oleh komunitas masyarakat tentunya dengan kesamaan visi misi dan biasanya menawarkan pengalaman dalam bentuk paket wisata. Apa sih yang dimaksud dengan holistik? atau apa sih ciri-ciri atau indikator sebuah wisata disebut dengan desa wisata?

#1 Desa wisata dikelola oleh komunitas setempat/berdekatan dengan lokasi

Pengembangan sebuah kawasan wisata tentu tidak terlepas dari adanya pengelola yang sebaiknya sudah terlembaga. Desa Wisata bisa dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dikukuhkan oleh Dinas Pariwisata setempat, boleh jadi dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan mungkin juga dikelola oleh Koperasi dikukuhkan oleh Dinas Koperasi setempat. Ketiga, bentuk lembaga pengelola desa wisata tentu saja atas sepengetahuan dari orang nomor 1 di desa, siapa lagi kalau bukan kepala desa.

#2 Penetapan pengelola dan penetapan sebagai desa wisata tidak instan

Tidak seperti Proyek Roro Djonggrang yang harus membangun seribu candi dalam satu malam, pembentukan dan penetapan pengelola desa wisata tidak bisa satu-dua hari. Butuh proses yang panjang untuk bisa memilih dan menentukan. Saya rasa, pondasi paling awal yang harus dibangun secara kokoh dalam mengembangkan desa wisata adalah kelembagaannya.

Saat masih mahasiswa (sekitar 2016-2017), saya berkesempatan melihat dan mengulik dinamika dari pembentukan desa wisata di beberapa desa wisata yang ada di DIY. Sebut saja Desa Pentingsari, Desa Nglanggeran, dan Desa Jelok. Peranan dari aktor penggerak atau saya lebih suka menyebut sebagai local hero menjadi kunci penting dari pengembangan desa wisata.

Pun penetapan sebagai Desa Wisata juga harus menempuh banyak proses. Pengusulan penetapan desa wisata dilakukan oleh kelompok masyarakat kepada pemerintah desa yang disetujui melalui musyawarah. Setelah musyawarah, keputusan kepala desa disampaikan kepada pengembangan desa wisata kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menangani urusan pariwisata. Tidak berhenti disitu saja, desa akan diverifikasi terlebih dahulu oleh OPD apakah sudah sesuai dengan persyaratan ditetapkan dengan keputusan bupati/ walikota. Proses yang lumayan panjang, bukan?

#3 Memiliki 3 (tiga) A yaitu Atraksi, Amenitas, dan Aksesibilitas

Pengembangan desa menjadi desa wisata harus mempertimbangkan aspek 3 (tiga) A yaitu Atraksi, Amenitas, dan Aksesibilitas. Atraksi adalah daya tarik wisata yang mampu memberikan pengalaman bagi pengunjung. Daya tarik bisa saja dari keindahan alamnya, keeksotisan budaya lokal, kreativitas yang unik, atau bisa perpaduan dari ketiganya. Amenitas sebagai fasilitas penunjang yang menjadi kebutuhan dari wisatawan seperti toilet, tempat parkir, tempat ibadah, kantin, homestay,dll.

Sementara sisi aksesibilitas, desa wisata juga harus mempertimbangkan kemudahan akses bagi wisatawan untuk sampai ke lokasi dan juga selama di desa. Beberapa desa wisata bahkan juga sudah seharusnya memperhatikan akses yang ramah difabel. Apakah sudah ada desa wisata yang ramah difabel? Hmm…penulis sepertinya perlu sering-sering dolan biar bisa menjawab pertanyaan ini.

#4 Uangnya darimana?

Anggaran pengembangan desa wisata bisa berasal dari beberapa sumber. Namanya saja desa wisata, pengelolanya komunitas setempat, diketahui oleh Kepala Desa tentu salah satu sumber dana bisa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Ada juga Dana Desa yang sah-sah saja untuk membiayai pengembangan desa wisata. Tentunya untuk penggunaan APBDes dan Dana Desa perlu musyawarah yang tak kalah panjang. Tapi bukannya semua itu perlu proses untuk berhasil?Ingat tidak ada yang instan. Kopi instan pun tetep perlu proses. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pengembangan yang holistik juga akan mendorong pengembangan desa wisata supaya lebih baik lagi. Holistik dengan mengedepankan asas pentahelix, pelibatan multi stakeholder dalam pengembangan desa wisata. Tak jarang, desa wisata yang sudah berkembang bisa mendapatkan pendanaan lain dari Corporate Social Responsibility perusahaan, dana hibah, dan lembaga lain. Tentu saja sumber pendanaan lain juga harus diketahui desa ya.

Nah, itu dia beberapa hal yang mungkin bisa mempermudah untuk membedakan desa wisata dan wisata desa. Tidak semua wisata di desa itu bisa secara mudah disebut sebagai desa wisata Jogja. Lebih sederhananya lagi, kalau membedakan desa wisata dan wisata desa bisa cek di website Jadesta milik Kemenparekraf karena seluruh Desa Wisata terdaftar di sana. Gampang bukan? Oiya, kita patut berbangga Desa Wisata Wukirsari Bantul berhasil meraih penghargaan desa terbaik dunia atau The Best Tourism Village 2024 dari organisasi pariwisata dunia Perserikatan Bangsa-bangsa atau United Nation World Tourism Organization (UNWTO). Selamat!

Penulis: Mozara Kartika Putri
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA 6 Desa Wisata Terbaik Tahun 2022 di Jogja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version