Mengintip Keseharian Seorang Musisi Yang Ada-Ada Saja!

musisi

musisi

Tahun ini adalah tahun keempat saya memutuskan untuk menjadi musisi profesional. Sebagaimana kata “profesional” itu saya sematkan, hal ini mengartikan bahwa penghasilan utama saya ya berasal dari ranah ini. Adakah yang penasaran bagaimana rasanya menjadi musisi muda yang merintis karir? Tulisan ini mungkin bisa jadi pertimbangan apakah kalian benar-benar mau terjun ke lautan penuh ketidakpastian ini.

Selama tahun-tahun tersebut, berbagai “dunia” musik saya terjuni: mulai menjadi pengamen di café, nikahan orang, membuat band, sampai tur beberapa kota. Dari kegiatan-kegiatan tersebut, izinkan saya menceritakan beberapa hal ada-ada saja yang terjadi. Siapa tahu dari pembaca ada yang tertarik jadi musisi atau istri musisi.

Bertemu Calon Murid-Murid-an

Saya pernah mendadak dihubungi oleh seseorang yang mengaku calon murid. Dia menanyakan apakah saya membuka jasa mengajar gitar untuk pemula. Dia menjelaskan bahwa dia benar-benar belum pernah belajar sebelumnya dan langsung tertarik belajar ketika menonton salah satu penampilan langsung saya. Saya berhak ge-er dong. Ehm, dan ya, dia seorang perempuan. Saya tidak mau mengatakannya, tapi saya kira “perasaan” sedang terlibat di sini.

Saya jawab semua tergantung waktu dan tujuannya belajar gitar. Saya juga katakan bahwa saya tidak belajar musik secara akademis sehingga mungkin pendekatan mengajarnya akan berbeda. Ia mengiyakan dan percaya kepada cara saya. Mendengar ini, saya semakin yakin perasaan memang terlibat di sini. Duh, susah sekali jadi berbakat dan ganteng sekaligus.

Kemudian, Dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki gitar. Saya lalu kaget, gimana mau belajar gitar kalau tidak punya gitar? Dia menjawab kurang lebih begini,” Sementara aku pinjem gitar Mas dulu buat belajar. Nanti kalau butuh belajar aku tinggal hubungi Mas buat ketemu.” Anjir, udah aku-kamu aja.

Untung saya orangnya gak nafsuan setia kepada pasangan.

Kalah Dengan MP3

Kejadian ini terjadi ketika saya menjadi band penghibur di nikahannya orang kaya asal Ternate. Berlokasi di Ballroom Hotel bintang lima, saya perkirakan biaya pernikahannya bisa digunakan untuk memanggil Blackpink manggung di malam tirakatan komplek perumahan saya.

Wedding band biasanya bermain selama dua jam penuh. Namun, setelah lagu keempat (baru sekitar 20 menit di atas panggung), pihak keluarga tiba-tiba meminta kami untuk memainkan lagu-lagu daerah Ternate saja sebagai pengiring flashmob. Kami menolak karena mentok kami hanya tahu lagu “Maumere” dan “Poco-Poco”, itu pun saya tidak tahu berasal dari Ternate atau bukan.

Alhasil, salah satu keluarga mempelai menyuruh kami berhenti bermain. Alhasil, kami turun panggung. Mereka lantas memainkan lagu-lagu tradisional lewat YouTube selama tiga jam penuh, membuat kami memakan gaji buta sekaligus hati kami sendiri. Jancuk lah.

Mengiringi Tawuran

Suatu saat saya dan band manggung di acara kesenian salah satu SMA di Jogja. Awalnya, semua berjalan biasa saja: kami jingkrak sana-sini dan (merasa) menghibur penonton yang hadir. Sampai akhirnya, penonton di depan kami mulai rusuh.

Ternyata, ada sekelompok siswa dari SMA “saingan” yang datang dan membuat keributan di depan panggung. SMA yang membuat acara tentu tidak terima sehingga balas membalas pukulan terjadi. Iya, semua itu terjadi di saat kami sedang manggung. Bayangkan, Anda bermusik di depan orang yang sedang tawuran!

Kami berhenti main, berdiri terpaku, saling melirik satu sama lain, dan pasrah. Ya Tuhan, apakah ini pertanda bahwa musik memang haram?

Dipaksa Berhenti

Ini kejadian sekitar tahun 2013 ketika saya manggung di salah satu festival musik tahunan di Jogja. Saya mengiringi seorang penyanyi membawakan sekitar enam buah lagu. Di lagu terakhir, saya diberikan kesempatan untuk melakukan solo gitar. Saya sumringah. Sebagai banci tampil, solo gitar akan membuat perhatian penonton beberapa saat akan menjadi milik saya sepenuhnya, dan saya suka itu. Saya memang anaknya haus perhatian.

Ketika lagu keenam dimulai, saya sudah siap untuk menghentak semua penonton di depan panggung. Persis ketika bagian saya bersinar mau dimulai, tiba-tiba listriknya mati. LISTRIKNYA MATI YA ALLAH. Panggung langsung senyap. Saya menangis dalam hati melihat penonton langsung membubarkan diri tanpa melihat saya pamer kemampuan. Apakah ini azab dari kesombongan saya? Pertanyaan ini saya panjatkan setiap salat malam.

Sejak saat itu saya tersadar dan tidak pernah sombong lagi. Saya bersyukur, selain ganteng dan berbakat, ternyata saya juga taat ajaran agama.

Exit mobile version