Mengidentifikasi Orang Berdasarkan Gaya Duduknya

gaya duduk

gaya duduk

Kita punya banyak kosakata yang berhubungan dengan duduk dan cara duduk. Di antara yang saya tahu adalah bersila, bersimpuh, bertimpuh, bertinggung, berjuntai, dll. Gaya-gaya duduk ini pun bergantung kepada orang dan situasinya. Adanya berbagai macam kosakata yang mengacu kepada duduk dan gaya-gayanya ini—sedikitnya—menunjukkan betapa santainya orang Indonesia.

Di Barat, ada istilah “Coffee to Go”, kedai kopi yang menjual kopi tapi tidak menyediakan bangku (kecuali hanya beberapa) karena pembelinya adalah orang-orang yang melintas, beli, lalu kopinya dibawa pergi. Di Jogja, di kafe-kafe kelas mahasiswa, orang membeli kopi lima ribuan secangkir tapi durasi duduknya masya Allah lamanya. Mengapa bisa begitu? Karena mereka pernah mendengar hadis kalau minum itu harus duduk, sementara di Barat yang begitu itu tidak terlalu laku. Yang ini cuma mungkin, lho, mungkin begitu.

Duduk punya aturan tersendiri di dalam budaya Nusantara, begitu juga di dalam Islam. Ruang tamu kiai di pesantren (juga di Madura) banyak yang tanpa sice, tanpa meja-kursi, sehingga tamu harus duduk di bawah, di atas tikar, atau karpet, atau ambal. Orang yang jarang bersila—seperti bule—akan berat menjalaninya. Mereka akan duduk bercangkung. Sebab itu, tuan rumah mesti mafhum: duduk bercangkung adalah pelajaran bersila bagi pemula.

Duduk menjadi tidak santai lagi, bahkan krusial, jika kursinya mengandung unsur kekuasaan. Duduk di kursi dewan, kursi rektorat, kursi presiden direktur, adalah sedikit contohnya. Duduk yang paling berbahaya adalah duduk di pangkuan orang lain atau orang asing. Adapun duduk yang ditakuti adalah duduk di kursi listrik.

Adakalanya, memilih tempat duduk pun dapat menyebabkan munculnya sifat sombong. Ah, masa? Iya, kok. Habib Umar bin Hafizh berpesan (di dalam “Taujih an-Nabih li Mardhah Barih” [diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Habib Umar bin Hafizh Menjawab”]) lewat sebuah ilustrasi, bahwa “jika sifat sombong menginginkan duduk di deretan paling depan suatu majelis, maka hendaklah kita mencari tempat di tengah”. Apabila kita memang berhak duduk di depan tapi rela memilih posisi di tengah atau belakang, maka yang demikian itu (menurut Sayyid Abdullah Alawi al-Haddad di dalam kitab “Hikam”-nya) merupakan tanda-tanda tawaduk.

Cuman, yang perlu dicatat, posisi duduk yang dimaksud adalah duduk di majelis (ilmu atau zikir), bukan di atas becak. Jika Anda melihat orang naik becak dan dia maksa duduk di tengah padahal tukang becaknya sudah mempersilakannya duduk di depan, maka itu tanda-tanda dia khilaf. Jika justru dia yang mengayuh (duduk di belakang) sementara si abang becaknya yang jadi penumpang, maka kemungkinan besar dia adalah seseorang yang sedang menjalani laku Mulamatiyyah. Inilah tambahan beberapa cara mengidentifikasi orang berdasarkan gaya duduknya.

Oh, ya, sementara itu, selain di majelis yang digambarkan di atas, belajar menahan diri dari sifat sombong itu juga bisa dimulai latihannya dari dalam bis dan/atau angkutan umum lainnya. Saran saya, jika Anda kebetulan naik bis umum atau kereta komuter dan Anda kebagian tempat duduk sehingga bebas main game di ponsel sementara ada seorang ibu yang menggendong balitanya berdiri di dekat Anda karena tidak kebagian kursi, sikap Anda ada dua:

  1. Anda tetap duduk karena Anda berhak mendapatkan fasilitas atas nama penumpang yang sah;
  2. Anda memilih berdiri saja dan mempersilakan si ibu untuk duduk atas nama kemanusiaan.

Maka, sungguh benarlah kata pepatah: “Duduk sama rendah, berdiri sama pengamen”. (*)

BACA JUGA Misuh dan Pergaulan Anak Muda atau tulisan M Faizi lainnya. Follow Facebook M Faizi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version