Menghindari Riba: Membatalkan Kontrak dengan BPR Meski Dianggap Gila

Menghindari Riba Membatalkan Kontrak dengan BPR Meski Dianggap Gila MOJOK.CO

Menghindari Riba Membatalkan Kontrak dengan BPR Meski Dianggap Gila MOJOK.CO

Saya baru saja membuat keputusan yang gila. Saya baru saja membatalkan kontrak dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Biar saja dianggap gila, saya hanya berusaha menghindari riba.

Awal mula kisah ini adalah sekitar dua bulan lalu, saya memasarkan rumah toko (ruko) milik keluarga saya untuk disewakan. Salah satu satu bank tertarik untuk menyewanya sebagai kantor.

Sejak pertemuan pertama, sebenarnya hati saya sudah merasa ragu mengenai kehalalan uang yang akan saya terima. Apakah uang yang akan saya dapat itu benar-benar halal adanya tanpa riba? Namun, sepanjang saya belum mencapai keyakinan yang mantab, saya pun mengikuti alur dari proses sewa-menyewa itu. 

Harga sewa saya buka di Rp23 juta per tahun. Pihak bank setuju. Bahkan mereka berencana untuk menyewanya selama 10 tahun. Namun, mereka menginginkan pencatatan masa sewa ruko itu dihitung sejak 1 Januari 2021 nanti, atau sehabis masa sewa ruko mereka yang lama. Ini berarti, ruko saya hakikatnya “menganggur” tanpa penghasilan selama 6 bulan. 

Ruko yang menganggur selama enam bulan tentu kerugian. Saya mengajukan perhitungan sewanya terhitung sejak 1 September 2020, agar nilai kerugian saya tidak sebesar ketika dihitung sejak tanggal Januari 2021.

Pihak pimpinan cabang setuju. Namun, ia harus mendapatkan persetujuan dari direktur cabang dan dewan komisaris perusahaan. Di tengah-tengah proses negosiasi pimpinan cabang dengan atasannya, keraguan saya seakan mulai terjawab.

Ketika membuka-buka kitab tadzhib yang merupakan cabang dari kitab ilmu fiqih. Waktubitu, saya membaca bab mu’amalah yang menjelaskan tentang riba. 

Dalam kitab itu, saya menemukan keterangan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh imam Muslim, yang isinya kurang lebih adalah, Rasul telah melaknat empat orang yang “bersentuhan” dengan riba, yakni: orang memakan harta riba, orang yang mewakili transaksi riba, pencatat transaksi riba, dan orang yang menyaksikannya. 

Setelah membaca hadis ini, saya merenung dengan jiwa yang terguncang, penuh khawatir dan takut dosa. Saya berkontemplasi, apakah saya dan keluarga saya akan masuk dalam salah satu golongan ini?

Jika memang tidak riba, berarti kontrak sewa dengan pihak bank tidak ada masalah. Namun, jika ternyata sebaliknya, saya harus menyiapkan langkah bijak.

Lama sekali saya merenung. Akhirnya, saya yakin, kalau transaksi diteruskan, saya termasuk dari salah satu pelaku riba, yakni sebagai fasilitatornya. 

Proses berpikir saya yang pertama adalah saya menyelami keyakinan, apakah transaksi yang ada pada BPR ini mengandung unsur riba? Dan dengan hanya melihat namanya pun saya sudah mulai menemukan titik terang, yakni fokus usaha ini adalah di bidang perkreditan, utang-piutang. 

Siapa pun pasti tahu bahwa dalam perkreditan ini pasti terdapat unsur bunga yang dibebankan pada nasabahnya. Bunga ini jelas riba. Dan konon, nilai bunga di BPR ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tarif bunga pinjaman pada bank-bank swasta. Maka dari sini saya menemukan potensi ribawi mereka yang semakin kental. 

Pikiran saya yang berikutnya adalah, apakah dengan menyewakan ruko ini berarti saya ikut bertransaksi di dalamnya? Benar, memang saya tidak secara langsung terlibat di dalamnya, namun dengan menyewakan ruko ini, berarti saya secara tidak langsung telah mendukung perkembangan transaksi riba mereka. Saya telah memfasilitasi sebuah tempat untuk terjadinya transaksi itu. 

Ini sama halnya dengan saya yang menolak pelacuran tapi menyediakan kamar-kamarnya, mengutuk pembunuhan tapi menjual pisau untuk orang yang terang-terangan akan menggunakannya untuk menghabisi orang lain. Berdasarkan asumsi ini, saya menjadi lebih mudah membatalkan kontrak yang, untungnya, belum saya tandatangani dan belum saya terima sepeser pun uang sewa itu. 

Keputusan saya ini tentu sulit diterima keluarga, khususnya isteri. Karena itulah, ia sempat memberikan beberapa pertanyaan untuk menguji keyakinan saya. Seperti, bagaimana jika kasusnya pada orang yang menabung di bank untuk persiapan haji, atau masyarakat yang menggunakan uang yang notabenenya adalah produk dari bank, bukankah mereka juga akan bersentuhan dengan riba? 

Argumentasi saya, berkaca dari kondisi kita, jika hendak menghindari riba secara 100 persen, tentu sulit. Tidak ada satu pun transaksi yang dapat lepas dari lembaga bank. Sebab mereka yang memproduksi uang untuk transaksi kita sehari-hari itu. 

Saya menganggap hal itu sebagai riba yang sifatnya sistemik, karena sistem yang berlaku di daerah kita, pada akhirnya kita pun tidak dapat menghindarinya. Misalnya saja, sebelum berangkat haji, prosedurnya kita harus menabung dulu di bank, ketika bertransaksi jual-beli harus menggunakan uang dari bank. Dan dalam konteks yang lebih luas lagi, negara kita pun meminjam uang dari lembaga keuangan dunia yang pastinya mensyaratkan bunga. Itulah sistem bunga dan riba yang sangat sulit untuk dihindarkan. 

Dan kasus tersebut tidak bisa diserupakan dengan keadaan saya yang hendak menyewakan ruko kepada BPR. Saya masih bisa memilih untuk menyewakan ruko kepada pihak mana saja selain BPR.

Keberadaan opsi lain ini yang membuat saya mantab untuk tidak menjadi fasilitator (tempat) atas BPR. Untung, isteri saya dulu sempat mengikuti kelompok kajian ekonomi syariah ketika kuliah, dan saat ini pun ia masih rajin menyimak pengajian, meskipun itu via YouTube. Dan berkat pemahaman dari Allah atas kami itu, maka kami pun dengan mudah menerima keputusan untuk menolak melanjutkan kontrak sewa ini. 

Dalam prinsip kami, buat apa memiliki uang melimpah yang diperoleh secara sembrono jika kemudian justru akan nyrimpeti (menjerat) kami di kemudian hari. Dan selain itu, kami pun sangat meyakini bahwa Gusti Allah adalah Dzat Yang Maha Kaya yang senantiasa menjamin setiap rezeki untuk para hamba-Nya.

Semoga saja keputusan gila yang dilandasi oleh rasa tergila-gila pada-Nya dan pada kekasih-Nya ini tidak akan dianggap sebagai kegilaan dalam pandangan-Nya. 

BACA JUGA Begini Cara Toko Emas Menghitung Harga dan Ongkos dalam Jual Beli Perhiasan Emas dan tulisan Muhammad Adib Mawardi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version