Menghindari Matematika, Alasan Terkonyol yang Pernah Aku Ucapkan Saat Memilih Jurusan KPI

Menghindari Matematika, Alasan Terkonyol yang Pernah Aku Ucapkan Saat Memilih Jurusan KPI

Menghindari Matematika, Alasan Terkonyol yang Pernah Aku Ucapkan Saat Memilih Jurusan KPI

Jurusan KPI jelas bukan jurusan yang bisa menyelamatkanmu dari matematika. Jurusan ini justru merangkul matematika dengan mesra

Di Indonesia, memilih jurusan kuliah sering kali lebih mirip drama sinetron daripada keputusan akademis. Ada yang milih karena ikut-ikutan teman, ada yang katanya karena “output-nya bagus”, ada juga yang karena tekanan keluarga, gengsi sosial, atau cuma iseng: “Ah, jalanin aja dulu, paling stres dikit” atau “jalani aja dulu, kalau ga cocok, paling pindah”. Tapi dari sekian banyak alasan absurd, yang paling sering bikin tepok jidat adalah ini:

“Aku ambil KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam) karena nggak ada matematikanya.”

Alasan ini konyol tapi legendaris. Seolah matematika adalah virus yang wajib dihindari, dan jurusan KPI adalah bunker paling aman untuk berlindung dari trauma masa SMA. Padahal, spoiler alert: matematika itu kayak mantan, kamu pikir udah lepas, eh nongol lagi di tempat yang nggak disangka.

Trauma kolektif bernama matematika

Kita semua tahu penderitaannya: bertahun-tahun dikejar integral tak tentu, disiksa grafik fungsi yang bentuknya lebih absurd dari hubungan tanpa status. Jadi wajar kalau banyak yang bersumpah, “Pokoknya kuliah nanti harus bebas dari angka!” Ironinya, giliran angkanya muncul di lembar bergambar pahlawan, malah disikat tanpa perlawanan.

Sayangnya, hidup nggak sesederhana itu. Mau jadi dosen, selebgram, bahkan penjual skincare, semua tetap butuh hitung-hitungan: engagement rate, omzet, dan sisa saldo akhir bulan. Jadi kalau masuk KPI karena mau kabur dari angka, ya selamat. Kamu hanya pindah kandang, bukan keluar dari jerat.

KPI dan Dunia Angka yang Tersembunyi

Mari kita luruskan. Jurusan KPI bukan cuma belajar public speaking sambil pegang mic, atau latihan khutbah biar suara lantang. Ada penelitian, survei, dan tentu saja, skripsi. Dan setiap penelitian butuh data. Data, tentu saja dan seringnya, berupa angka.

Mau bikin penelitian “efektivitas dakwah via WhatsApp”? Siap-siap hitung jumlah kontak, yang nonton story, dan yang rela isi kuesioner.

Belum lagi bikin RAB (Rencana Anggaran Biaya) waktu mau ngadain seminar. Dari sewa gedung, konsumsi, sampai honor narasumber, semua ada angka. Jadi kalau niat awalnya “biar nggak ketemu matematika”, kamu salah alamat, Sayang. Jurusan KPI bukan pelarian, tapi ujian kesabaran dalam bentuk statistik.

Semua jurusan punya matematikanya sendiri, bahkan jurusan KPI sekalipun

Yang lucu, fenomena ini nggak cuma di KPI. Mahasiswa sastra masuk karena “cuma baca novel dan review buku”, eh ketemu teori semiotika dan hermeneutika yang bikin kepala berasap. Anak hukum mikir bakal tampil gagah di pengadilan, malah tiap hari ngafal pasal. Anak Bimbingan Konseling Islam (BKI) masuk karena katanya bisa sekalian “terapi diri”, malah stres duluan sebelum lulus. Bahkan yang masuk Ekonomi Syariah karena “nggak ada bunga bank” dengan dalih kata “syariah”, tetap ketemu rumus akuntansi.

Artinya: semua jurusan punya “matematikanya” sendiri, bahkan jurusan KPI dan sastra yang terlihat tak punya urusan dengan angka. Kadang bentuknya angka, kadang logika, kadang teori. Jadi, pikir lagi deh kalau mau lari dari matematika, karena itu kayak lari dari bayangan sendiri, makin lari malah makin nempel.

Matematika: Fobia Nasional yang Tak Pernah Diakui

Kenapa bangsa ini begitu alergi sama matematika? Mungkin karena sejak SD kita dicekokin ide bahwa nilai matematika menentukan masa depan. Salah satu angka aja bisa bikin hidup berantakan. Stigma yang paling parah “pinter matematika aja udah dianggap paling pinter semua mata pelajaran”.

Selain itu orang tua pun ikut menyiram bensin di api: “Tuh, si Budi dapet 9, kamu kok 6?” Pelan-pelan, matematika berubah dari ilmu jadi trauma kolektif. Jadi ya wajar, kalau matematika dianggap sebagai fobia nasional yg tak pernah diakui.

Walaupun demikian, bisa dibilang hampir tiap hari kita berurusan dengan matematika: ngatur uang jajan, hitung diskon 50% + cashback 10%, ngitung tanggal gajian yang makin jauh. Tapi karena dikemas dalam bentuk soal pilihan ganda yang bisa menghancurkan harga diri, kita akhirnya belajar bukan logika, tapi takut salah.

Jurusan KPI bukan tempat sembunyi

Jadi kalau ada yang masuk jurusan KPI karena mau kabur dari matematika, jawabannya sederhana: aneh. Jurusan bukan tempat bersembunyi dari trauma, tapi ruang untuk berdamai dengan cara berpikir yang pernah menakutkan kita.

Lagian, hidup ini isinya angka semua, dari umur, gaji, sampai tanggal jadian. Jadi daripada terus lari, mungkin lebih bijak kalau kita belajar berdamai. Karena pada akhirnya, alasan paling konyol memilih jurusan bukanlah karena cinta atau cita-cita, tapi karena takut sama matematika.

Dan kalau cuma mau kabur dari angka, ya, silakan aja jadi penyair. Eh belum tentu deng, karena syair puisi tetap harus dihitung per bait.

Penulis: Dini Anggraini
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Pengalaman Kuliah Jurusan Matematika Murni, Jurusan yang Lebih Banyak Tanya ”Mengapa” daripada ”Berapa”

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version