Sewaktu kecil selama kurang lebih lima tahun, saya tinggal di suatu desa di kawasan Bogor. Dua puluh tahun lalu, desa tersebut masih asri dicirikan dengan adanya lahan sawah yang luas dan banyaknya pepohonan. Saya merasa beruntung karena pada masanya, saya masih bisa melihat secara langsung bagaimana para petani membajak sawah dengan bantuan tenaga kerbau.
Pemandangan yang saat ini terbilang langka dan sulit ditemui, apalagi di kawasan perkotaan sebagian besar wilayahnya sudah dikelilingi oleh gedung, ruko, paling tidak perumahan yang dibangun oleh para investor. Sehingga sawah, ladang, atau pepohonan pun semakin sulit ditemui.
Saya dan orang tua hidup dengan penduduk yang beraneka ragam suku, budaya, agama, juga profesi. Namun, pada masanya, perbedaan dalam hal apa pun tidak pernah dipermasalahkan secara masif seperti saat ini—apalagi soal agama. Semua hidup rukun dalam satu kesatuan juga bertetangga. Dari mana pun tetangga berasal, jika ada yang sedang membutuhkan bantuan, langsung diberi pertolongan bersama-sama tanpa memikirkan latar belakang yang bersangkutan.
Bahkan di salah satu kontrakan tidak jauh dari tempat tinggal kami, ada beberapa waria yang tinggal bersama. Agar tidak terjadi kesalahpahaman makna, sedikit penjabaran dari KBBI, waria merupakan akronim dari wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita. Selama bertetangga, kami hidup rukun dan saling menghargai satu sama lain. Kami dan juga tetangga yang lain pun memperlakukan mereka sebagaimana manusia biasa. Namun, yang pilu adalah terkadang justru mereka mendapat perlakuan diskriminatif saat berada di luar lingkungannya.
Dalam suatu obrolan dengan orang tua saya, mereka bercerita lebih banyak berprofesi sebagai pengamen jalanan yang biasanya keluar rumah untuk bekerja sekira pukul 16.00 atau setelah maghrib hingga malam hari, tak jarang bahkan hingga dini hari. Memang, saat bekerja gaya mereka terbilang nyentrik; mengenakan wig (yang sering kali memiliki warna terang), memakai dress, high heels, belum lagi dandanan yang menor, dengan alat musik seadanya seperti bass betot, kicrikan, atau radio tape yang dibawa sambil bernyanyi menggunakan mic. Oleh sebab itu, tidak heran jika mereka hampir selalu menjadi pusat perhatian orang di sekitar.
Ada yang biasa saja sambil mengajak berbincang, ada yang melontarkan candaan menggelitik lalu mengundang tawa, sering kali para waria pula yang lebih dulu menggoda sambil bercanda. Semuanya terlihat menghibur bagi saya, terlebih saat mengamen biasanya mereka hanya menagih gope (lima ratus rupiah). “Om, gope dong, Om. Buat nabung beli kosmetik, Om”, begitu kalimat yang pernah saya dengar ketika mereka mengamen, dengan gaya yang mengundang tawa. Ada beberapa orang yang bermurah hati memberi mereka hingga 2000 rupiah, setelah itu, biasanya mereka akan kegirangan sambil mengucap terima kasih—terkadang sambil mencubit manja dengan gaya jenaka.
Itu hanya gambaran kecil tentang bagaimana mereka bertahan hidup dan menjalani kehidupannya di lingkungan sekitar kita. Namun, di antara sekian banyak orang yang menghargai keberadaan mereka—meski terlihat berbeda—selalu saja ada yang berperilaku diskriminatif, biasanya dilakukan dengan cara verbal bullying, mengejek mereka sampai membuat mental down. Maksud mereka mungkin baik, mengingatkan dari sisi agama, tapi yang sangat disayangkan adalah tidak semua orang bisa menyampaikan dengan cara yang baik juga bijaksana. Niatnya “menyadarkan”, tapi malah bikin orang jadi sungkan.
Padahal, para waria hanya ingin hidup layak sebagaimana mestinya. Dan salah satu usaha yang ditempuh adalah bertahan hidup dengan cara menjadi pengamen. Mereka pun memiliki perasaan yang jika dilecehkan atau tersakiti, bisa marah dan sakit hati. Lagipula, mereka sering kali menghibur dengan gayanya yang gemulai, tapi malah sengaja mengeluarkan sisi laki-lakinya. Berbicara dengan menggunakan suara laki-laki, misalnya. Itu kenapa, sangat disayangkan jika waria diperlakukan diskriminatif.
Di sisi yang lain, saya memiliki teman yang selalu merasa takut jika berpapasan langsung dengan waria—ia biasanya bertemu saat sedang makan di suatu warteg. Meskipun begitu, teman saya tidak melakukan tindak kasar baik verbal apalagi fisik, hanya berlindung di balik badan saya karena takut dengan godaannya. Hehehe. Ya, selama tidak merugikan orang di sekitarnya, baiknya kita tetap menghargai sesama—termasuk para waria.
BACA JUGA Mengajar Ngaji dan Santrimu Waria Semua atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.