Menggugat Penggunaan Ngawur Kalimat: Lahir Miskin Adalah Nasib, Mati Miskin Itu Pilihan

Menggugat Penggunaan Ngawur Motivator dalam Kalimat_ Lahir Miskin Adalah Nasib, Mati Miskin Itu Pilihan terminal mojok

Kenapa ada orang-orang yang sok jadi motivator hobi banget bilang, “Lahir miskin adalah nasib, mati miskin itu pilihan” tanpa peduli persoalan sebenarnya di belakang kemiskinan seseorang?

Tidak ada orang yang mau miskin. Itu adalah ungkapan yang tepat, meski kemiskinan adalah hal relatif tergantung bagaimana seseorang memandangnya. Namun, miskin yang saya maksud di sini adalah kemiskinan finansial, harta, ekonomi, dan semacam itu.

Miskin adalah suatu keadaan yang tidak mengenakkan. Berjuang untuk keluar dari kemiskinan sudah pasti dilakukan banyak orang miskin. Motivasi mereka untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan banyak dan beragam. Yang jelas, selain motivasi dari dalam diri, selalu ada motivator dari luar yang siap bersuara perihal ini. Dan kalimat motivasi soal kemiskinan yang sering saya dengar adalah, “Lahir miskin adalah nasib, mati miskin itu pilihan.”

Saya hanya bisa mengelus dada tiap mendengar kalimat itu. Apalagi banyak orang yang ngomong begini, namun tak sadar jika ada ketimpangan privilese dan segala faktor penunjang lain. Kita tak bisa memukul rata kondisi semua orang.

Manusia memang harus berusaha, tapi kemiskinan tak sesederhana itu. Kemiskinan juga tak bisa hanya dilawan dengan kerja keras tanpa kenal waktu. Intinya, kalimat motivasi semacam ini perlu ditinjau ulang penggunaannya lantaran banyak yang menggunakan kalimat ini dengan sembrono.

Banyak orang yang tetap miskin hingga ajal menjemput. Faktornya banyak dan permasalahannya sangat pelik. Herannya, masih saja ada orang yang menggunakan kalimat “lahir miskin adalah nasib, mati miskin itu pilihan” untuk menyalahkan orang yang tetap miskin. Orang-orang semacam ini tidak sadar bahwa ada faktor dari luar orang miskin itu sendiri. Faktor yang menyebabkan banyak orang tak bisa bekerja, digaji seenaknya, terlilit utang, sampai kehilangan hak hidupnya di suatu wilayah. Nyatanya, memang masih banyak yang hobi menganggap kemiskinan itu borok, kegagalan hidup, aib, dan kesalahan yang disebabkan oleh orang miskin itu sendiri.

Padahal ketimbang menyalahkan si miskin, alangkah baiknya turut mencari akar, sumber, penyebab, hingga pelaku pelanggengan kesenjangan ini. Ini yang jarang dibahas oleh para motivator tersebut. Yang ada di kepala mereka orang miskin itu salah dan gagal. Kalau ada yang salah dalam mengambil langkah dan pola pikir yang agak absurd, tak serta merta itu kebodohan. Mungkin para motivator itu tak sadar bahwa mereka punya privilese untuk memperoleh kesempatan dan pendidikan yang mumpuni. Mereka tak bisa main pukul rata, tidak semua orang punya sangu atau titik start yang sama.

Sudah gitu, tipikal orang seperti ini masih mengagungkan jam kerja yang berlebihan (overwork) dan menyepelekan pekerjaan orang lain, apalagi yang punya jam kerja lebih sedikit darinya. Memangnya yang kerja keras hanya dirinya saja?

Saya masih sering menjumpai pekerja sepuh yang memikul kursi kayunya puluhan kilometer setiap hari. Para buruh tani berupah kecil yang kerja dari pagi buta hingga petang. Para tukang parkir yang kerja 24/7 bertahun-tahun. Banyak dari mereka yang mati dalam keadaan tetap miskin. Rasanya tak elok jika menyematkan rumus miskin adalah hasil kemalasan pada orang-orang ini.

Orang yang tetap miskin sampai ajal menjemput ada banyak jumlahnya. Mereka bukan tidak berusaha, mereka tidak memilih tetap miskin. Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mau miskin. Namun, namanya juga hidup di dunia yang absurd, kemiskinan tak sesederhana kehidupan sinetron. Orang miskin, alim, rajin berdoa, lalu dibantu orang, atau ternyata usahanya lancar, rasanya tak semudah itu. Ada yang bekerja setiap hari, namun tak digaji layak. Jangankan bikin usaha dan dikit-dikit diimingi passive income, mau nabung saja tidak bisa. Daripada menyuruh mereka untuk keluar dari zona nyaman atau memilih tidak mati miskin, bagaimana kalau pahami akar masalah dari kemiskinan mereka dahulu. Kenapa tidak menggugat pihak yang menggaji mereka?

Marilah memahami masalah yang struktural ini. Tidak semua orang punya backing-an atau modal sosial yang cukup. Seperti yang Jojo dan Jejen nyanyikan sembari bekerja di jalanan setiap hari, “Ayah miskin, ibu miskin, teman-teman juga miskin”. Lalu muncul para motivator *** yang tanya, “Kerja apa dikerjain?”, dengan senyum tersungging tanpa perasaan bersalah.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version