Pada suatu hari, seorang Bapak datang ke rumah. Sudah sepuh, usia di atas enam puluhan. Meskipun begitu ia masih enerjik, berprofesi sebagai pengojek online. Kami sudah saling mengenal, setelah bercakap sekian lama mulai terbaca arah pembicaraannya. Menawarkan MLM berkedok periklanan yang diklaim bekerjasama dengan Google, tapi bohong. Dan beberapa waktu lalu, sindikatnya digulung pihak berwajib.
Seperti sudah menjadi SOP para pegiat MLM, ada silaturahmi dengan membawa agenda tersembunyi. Itu bukan kedatangan terakhir, karena setelahnya ia beberapa kali datang. Masih dengan agenda yang sama. Sudah saya coba menerangkan dan menjelaskan tentang potensi penipuan yang ada di MLM itu, ia ngotot, apa yang diikuti bukan MLM melainkan investasi periklanan!
Bahkan semakin hari, ia semakin bersemangat, semula hanya invest beberapa ratus ribu untuk satu kilogram emas, kemudian beberapa ratus ribu untuk motor, dan gilanya, invest beberapa juta untuk mendapatkan mobil Mazda! Konon dalam beberapa bulan ke depan ia akan mendapatkan semua barang impian itu. Pikir saya, ini orang benar-benar terhipnotis. Maka link pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang daftar investasi bodong yang saya tunjukkan pun dianggap lalu.
Dibalas dengan pesan Whatsapp, semacam bantahan dari pihak perusahaan yang memang sudah disiapkan, mungkin oleh petinggi mereka. Dan ketika kasus investasi tersebut njeblug, pertama kali di Jawa Timur, ia pun menghilang beberapa waktu. Ketika bertemu di kemudian bulan, tak lagi cerita tentang mimpi-mimpinya.
Banyak orang sukses di MLM, jangan tanya jumlah yang gagal
Pernah bergabung dengan MLM dan merasa tertipu? Karena massifnya promosi Mulit Level Makerting atau MLM, banyak orang yang sadar atau tidak telah masuk ke jenis pemasaran berjenjang ini. Bentuk dan produknya sangat beragam dan terus berkembang, sehingga orang kadang tidak paham bahwa mereka ikut MLM.
Uniknya para petinggi MLM itu-itu saja! Tidak banyak berubah. Jangan heran. Karena para pemilik MLM memang kadang berganti nama dan produk ketika sistem pada MLM lama tidak lagi berkembang, alias sudah menthok. Sekarang jualan pulsa, besok jualan obat kuat. Lusa, bisa jadi berganti jualan oli. Sangat dinamis.
Orang kadang merasa tertipu saat bergabung dengan MLM karena tidak sesuai dengan janji yang diucapkan para upline atau mentor. Janjinya bekerja dengan mudah dan cepat mendatangkan keuntungan berlipat. Memang kadang dimudah-mudahkan, padahal susah juga. Dari namanya jelas, Multi Level Marketing, artinya sistem penjualan berjenjang. Namanya jualan, ya harus siap menjadi pedagang, menjual, menawarkan barang/jasa. Sehingga patut dipertanyakan jika masuk MLM dan dibilang tidak perlu jualan. Ini cukup aneh. Jika dibuat survey, pasti, ada banyak orang sukses di MLM, tapi lebih banyak lagi orang yang gagal.
Menjual janji tanpa produk
Biasanya ada dua keuntungan dari MLM. Pertama keuntungan dari penjualan produk dan kedua keuntungan dari peringkat atau poin dalam sistem MLM yang didapat. Jual barang dapat uang. Rekrut orang dapat uang. Praktiknya, banyak yang lebih tertarik untuk merekrut orang ketimbang jualan barang. Tidak sedikit, mereka jualan barang MLM-nya, tetapi ia sendiri tidak memakai barang yang ia jual. Tidak keliru memang, cuma aneh. Kebayang, seorang Sales Honda, ke mana-mana pakai Yamaha?
Alasan tidak menjual produk pun beragam, dari yang kegunaannya tidak begitu penting karena tidak banyak dibutuhkan masyarakat. Hingga harganya yang tinggi melangit, jauh di atas rata-rata harga barang sejenis di pasaran. Lazimnya, seperti sudah menjadi SOP para pegiat MLM, mereka kerap kali melebih-lebihkan khasiat dari produk yang mereka jual. Kadang mengutip testimoni para ahli kesehatan, pejabat, artis hingga ustaz pun dibawa-bawa.
Mungkin agar orang yakin, tapi justru menunjukkan mungkin produk itu berkualitas, tapi rendah sehingga butuh dukungan testimoni orang-orang yang dianggap ‘tinggi’. Bagi mereka yang mengejar bonus besar, dan punya duit. Jalan yang ditempuh adalah menimbun produk. Beli untuk nutup poin, barang disimpan digudang. Bisa dibayangkan seperti apa akhir dari model marketing seperti ini.
Orangnya itu-itu saja
Ada yang kehilangan teman gara-gara MLM, ada juga yang hubungan saudara terganggu gara-gara MLM. Begitu dahsyatnya MLM. Mereka yang masuk ke dalamnya seperti mengalami cuci otak. Sehingga gampang menyepelekan profesi lain. Seolah yang bukan MLM, bukan profesi layak.
Ini benar-benar menyebalkan, mirip dengan seminar wirausaha. Jangan jadi pegawai, berhenti jadi karyawan! Untuk apa menjadi buruh! Seolah semua orang harus mejadi juragan. Akibat cuci otak semacam itu, para pegiat MLM menjadi berpikiran sempit. MLM adalah satu-satunya jalan kemakmuran, mungkin begitu dalam mindset mereka.
Tidak heran jika mereka gagal dalam satu MLM, keceburnya juga ke MLM lain. Alias hanya menjadi kutu loncat dalam dunia yang sama. Dari hampir sepuluh MLM yang saya ikut, saya korek informasi dari para upline, umumnya mereka adalah pindahan dari MLM lain. Maka tema orasinya pun, “MLM ini lebih baik dari MLM itu, yang pernah saya ikuti…”
Di mana titik kritis MLM?
Saya pribadi berpandangan sebetulnya MLM memiliki beberapa sisi baik. Karena dalam model ini memberi kesempatan kepada orang yang gigih untuk sukses. Mereka yang tidak punya modal berlimpah bisa sukses. Meskipun jumlahnya kecil. Karena potensi kesuksesan terbesar tetap pada para petinggi dan kroninya. Orang-orang di level atas mendapatkan banyak keuntungan.
Titik kritis MLM adalah ketika sistem utamanya dilupakan. MLM yang resmi tergabung dalam Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) dan memiliki Surat Izin Usaha Pejualan Langsung (SIUPL).Syarat utama tentu ada produk atau jasa yang dijual. Pegiatnya harusnya memberikan pemahaman ke anggota untuk jualan, tidak sekadar merekrut anggota. Tapi ini sedikit sekali diajarkan.
Alih-alih mendapat obral produk, anggota kerap kali dijejali dengan obralan impian. Mobil mewah, rumah, perjalanan wisata hingga kapal pesiar. Di sisi lain, mereka kebingungan bagaimana harus menjual barang yang sudah mereka beli padahal tidak diperlukan. Sebagai sebuah fenomena, dunia per-MLM-an akan terus ada selama ada sekelompok orang yang tertarik dengan mimpi besar dengan usaha kecil. Hingga riilnya, seperti sebuah adagium, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian diplesetkan menjadi bersakit-sakit dahulu, malah tertipu kemudian.
BACA JUGA Pengalaman Ikut MLM: Dapat Uang Sih, Tapi Sisanya Ketersiksaan dan tulisan Eko Triyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.