Belakangan ini santer banget berita tentang Master Deddy Corbuzier yang telah menjadi mualaf dan memeluk agama Islam. Menurut kabar yang beredar, dia mengucapkan kalimat syahadat di depan Gus Miftah di kota Yogyakarta. Netizen Indonesia menyambut ramai peristiwa ini. Ada yang menyambut gembira dan tidak sedikit juga yang nyinyir.
Mereka yang nyinyir menuduh Master Deddy masuk Islam karena tunangannya adalah muslimah. Namun segera komentar itu ditepis oleh Master Deddy sendiri. Sebab dia bertunangan baru 3 bulan, sedangkan belajar Islam sudah 1 tahun. Sebelumnya Deddy, sebenarnya ada juga artis bernama Roger Danuarta yang terketuk hatinya untuk memeluk ajaran Agama Islam.
Sebaliknya, banyak juga kabar mengejutkan dari berbagai selebritis terkenal yang murtad atau keluar dari Islam. Misalnya Asmirandah dan aktor kenamaan yang membintangi Film “Sang Pencerah” Lukman Sardi. Sempat juga ada berita heboh, istri baru Ahok murtad demi mantan Gubernur DKI itu.
Menghadapi mualaf sepertinya sudah biasa, yang tidak biasa di negeri ini adalah ketika mendengar ada orang yang murtad. Kebanyakan dari kita tersulut emosinya. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap kepada mereka yang non-muslim?
Saya mau menyajikan kisah menarik. Di sebuah masjid di kota Madinah, Rasulullah Saw sedang berdakwah kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar dan berbicara berbagai persoalan agama dan kehidupan. terkadang ada sesi tanya jawab antara nabi dan para sahabatnya.
Sementara di luar Masjid terlihat ada iring-iringan mengantar jenazah. Rasulullah Saw menyadari itu dan langsung keluar meninggalkan mimbar. Beliau SAW kemudian berdiri seperti mengheningkan cipta tepat di depan pintu masjid untuk menghormati jenazah itu.
Sontak saja para sahabat dibuat heran dengan sikap Rasulullah SAW tersebut. Lebih mengejutkan lagi orang yang wafat itu adalah orang Yahudi. Bukan dari golongan muslim. Lantas salah satu sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau lakukan? Apakah engkau tahu bahwa mereka itu adalah dari kaum Yahudi? Mereka tidak memeluk agama Islam seperti kita.
Rasulullah SAW lalu menjawab dengan tenang, penuh wibawa.
“Benar bahwa mereka adalah kaum Yahudi dan bukan pengikutku. Tapi, bukankah mereka juga sama-sama manusia seperti kita?” Rasulullah saw tersenyum kepada para sahabatnya.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita semua tentang toleransi keberagamaan. Boleh kita berbeda kepercayaan dan keyakinan dalam beragama, namun kita tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya kita harus bisa hidup dengan aman dan damai dengan mereka.
Sebab ketentraman dan ketenangan dalam hidup juga merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Tidak ada orang yang menginginkan hidupnya gelisah dan terancam bukan?
Menurut saya, tidak perlu ada istilah mayoritas dan minoritas dalam komunikasi sosial kita. Bila kita masih peduli pada rasa kemanusiaan, seharusnya dikotomi seperti itu dihilangkan. Justru yang perlu ditumbuhkan dalam kehidupan bermasyarakat adalah rasa persaudaraan dan solidaritas yang kukuh.
Menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia. Hemat saya, inilah ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Bukan saling membenci dan mendiskreditkan satu sama lain.
Sebagaimana apabila di jalan, kita melihat ada orang yang kecelakaan tertabrak kendaraan, kita tidak penting untuk bertanya apa agamanya kepada korban itu, bukan?
Begitupun sebaliknya, saat kita menjadi korban kecelakaan, kita butuh bantuan bukan hanya kepada orang yang satu keyakinan dengan kita, kan? Yang terpenting saat itu adalah bagaimana kita bisa selamat dan berusaha membuat keadaan lebih baik.
Itulah pentingnya kesadaran kemanusiaan. Menghargai dan menghormati kepercayaan orang lain merupakan salah satu sunnah nabi. Kita semua sudah paham bahwa akhlak nabi adalah teladan abadi umat manusia. Bukan hanya bagi umat Islam. Bahkan rahmat bagi alam semesta. Bukankah Rasulullah Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak?
Maka seyogyanya kita yang mengaku sebagai umatnya juga bisa mengikuti jejak beliau SAWsemoga.
Pesan toleransi beragam ini ditegaskan dalam surat Al-Baqarah ayat ke- 62 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati”.
Jadi, apapun agamanya yang penting ada iman kepada Tuhan, hari akhir, melakukan kebaikan, mereka akan mendapat balasan dari Tuhan. Agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Mungkin kita juga perlu ingat bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Begitu pesan dalam surat Al-Kaafirun yeng mengandung nilai toleransi tinggi.
Jadi, agama berbeda-beda itu tidak masalah, itu persoalan keyakinan dan kepercayaan individu. Sebuah pilihan yang harus kita hormati. Agama adalah hak pribadi masing-masing. Adapun yang wajib kita bina antar umat yang berbeda agama adalah kerukunan dan keharmonisan agar tercipta kehidupan yang baik dalam berbangsa dan bernegara. Merdeka!