Menelusuri Asal Usul Nama Malioboro, Ikon Kota Jogja

Nggak Usah Sok Ngomong Bahasa Jawa Saat Belanja di Malioboro, Nggak Semua Pedagangnya Orang Jawa Kok!

Malioboro adalah ikon Yogyakarta. Awal-awal merebak wabah Covid-19, suasana tempat tersebut tak seperti biasanya. Orang yang jalan-jalan bisa dihitung dengan jari. Tak ada geliat wisatawan. Kini, seiring new normal, protokol kesehatan yang ketat di kawasan itu diterapkan, baik secara teknologi maupun non teknologi. Banyak orang mulai memenuhi tempat itu

Malioboro adalah tempat interaksi berbagai orang. Sejak lama, kepadatannya tiada tertandingi. Tempat ini selalu memikat banyak orang untuk cuci mata, olah tubuh, atau memanjakan selera. Tak hanya warga Yogyakarta, tetapi juga luar daerah.

Berbicara Malioboro, ada baiknya kita berkontemplasi sejenak. Hal ini demi menemukan ruh Malioboro. Menengok masa lalu, sebelum abad ke-20, jalan Malioboro tak semegah sekarang. Toko-toko belum berjamuran, apalagi listrik penerangan. Bagi generasi mileneal, Malioboro terlalu akrab dengan turis. Bahkan, namanya dianggap berbau kebarat-baratan.

Banyak buku menerangkan nama itu dari Marlborough, seorang tentara Inggris, dan diterima mentah-mentah. Ketika Pangeran Mangkubumi membabat alas untuk mendirikan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, jalan yang kemudian disebut Malioboro itu tak alpa menjadi perhatian. Jalan lurus ini menghubungkan pusat kerajaan ke arah utara, bertemu dengan Tugu. Artinya, menghubungkan dua sumbu filosofis.

Dalam sejarah, Hindia Belanda memang pernah di bawah kekuasaan Inggris (1811-1816). Saat itu pernah terjadi tragedi Geger Sepehi. Sekitar Juni 1812, pasukan Inggris yang tidak tahu adat membombardir keraton, menggondol pusaka dan harta berharga keraton lainnya. Sebagian referensi dari buku Histrory of Java karya Thomas Stanford Raflles tak dimungkiri berasal arsip dan karya sastra keraton.

Kendati tidak menyaksikan secara kasat mata, Pangeran Mangkubumi (1717-1792) tentu tak terima kalau nama kawasan tersebut diidentikan dengan seorang serdadu Inggris. “Turis-turis” Inggris itu telah mempermalukan anak keturunannya dan merendahkan kerajaan yang didirikannya.

Asal Nama Malioboro

Dalam buku Yogyakarta City of Philosophy disebutkan bahwa nama Malioboro dari dua kata. Malia, artinya jadilah wali. Bara dari kata ngumbara (mengembara). Secara etimologis, maknanya adalah jadilah wali yang mengembara.

Namun, menurut Peter Carey nama Malioboro berasal dari bahasa Sanskerta, “malyabhara”. Artinya, berhiaskan untaian bunga. Istilah Sanskerta “malya”, “malyakrama”, dan “malyabharin” dapat dilacak dalam Ramayana berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada pertengahan abad ke-9. Dapat pula ditemukan dalam Adiparwa dan Wirathaparwa yang dianggit pada akhir abad ke-10.

Menurut sejarawan asal Inggris itu, nama kawasan tersebut dari gabungan kata “malya” dan “bhara” pernah diintrodusir Profesor C.C. Berg dalam kuliahnya di Leiden University pada dekade 1950-an dan 1960-an. Hal tersebut tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kesimpulan bahwa jalan tersebut merupakan jalan kerajaan (rajamarga) lebih mendekati kebenaran.

Penelusuran asal mula kata Malioboro tidaklah mudah. Masing-masing memberi tafsir dan merangkai makna. Tetapi, inisiatif Sri Sultan Hamengku Buwono X merubah nama-nama jalan dari perempatan Tugu sampai Keraton telah menegaskan makna. Margo Utomo, jalan keutamaan. Margo Mulyo, jalan kemuliaan. Inilah jalan yang mesti ditempuh manusia mencapai insan kamil.

Dari Tugu sampai Titik Nol Yogyakarta disimbolkan penuh godaan duniawi. Diakui atau tidak, perputaran ekonomi di kawasan itu begitu besar. Dibandingkan kawasan lainnya, Malioboro menghadirkan pendapatan ekonomi yang ditinggi. Kekayaan, pangkat, derajat, dan jabatan sering membuat lupa.

Malioboro memberi pesan agar manusia menemukan makna hidup, menyatukan diri dengan Tuhan untuk kemudian menebar kemaslahatan bagi kehidupan. Manusia tak kehilangan jati diri dan tak tercerabut dari budaya adiluhung. Malioboro tetaplah Malioboro; jalan berhiaskan bunga. Sebagaimana termaktub, Malioboro adalah jalan meraih kehidupan cerah. Jalan di antara jalan keutamaan dan jalan kemuliaan. Wallahu a’lam.

BACA JUGA Nggak Usahlah Ndakik-Ndakik Bicarain Romantisasi Jogja.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version